Senin, 20 April 2020

Hukum Perikatan (Verbintenissenrecht)

(getty images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang membahas mengenai Hukum Harta Kekayaan telah dibahas mengenai Hukum Benda, dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Hukum Perikatan (Verbintenissenrecht).

Dalam mencapai kebutuhan hidupnya, manusia memerlukan kerja sama. Manusia saling mengikatkan diri untuk memenuhi sesuatu prestasi, sehingga timbullah hukum perikatan, yaitu suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang menyebabkan pihak yang satu berhak atas sesuatu, dan pihak yang lain mempunyai kewajiban untuk melakukan atau memberikan sesuatu. Pihak yang berkewajiban memenuhi perikatan disebut debitur, dan pihak yang berhak atas pemenuhan sesuatu perikatan disebut kreditur.[1]

Di dalam sebuah perikatan, yang menjadi objek perikatan adalah prestasi, yaitu hal pemenuhan perikatan. Adapun macam-macam perikatan adalah sebagai berikut:[2]
  1. Memberikan sesuatu, seperti membayar harga, menyerahkan barang dan sebagainya;
  2. Berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membongkar bangunan, kesemuanya karena Putusan Pengadilan dan sebagainya;
  3. Tidak berbuat sesuatu, misalnya untuk tidak mendirikan sesuatu bangunan, untuk tidak menggunakan merk dagang tertentu, kesemuanya karena ditetapkan oleh Putusan Pengadilan.
Dalam hal debitur tidak memenuhi atau tidak menepati perikatan di sebut cidera janji (wanprestasi). Sebelum dinyatakan cidera janji, terlebih dahulu harus dilakukan somasi (ingebrekestelling), yaitu suatu peringatan kepada debitur agar memenuhi kewajibannya. Dan dalam hal seseorang terdapat keadaan-keadaan tertentu beranggapan bahwa perbuatan debiturnya akan merugikan, maka ia dapat meminta pembatalan perikatan.[3]
____________________
1.“Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 246.
2.  Ibid. Hal.: 247.
3.  Ibid. Hal.: 247.

Minggu, 19 April 2020

Memperbaiki Gugatan Error In Persona

(gettyimages)

Oleh:
Tim Hukumindo

Artikel sebelumnya yang berjudul: "2 Akibat Hukum Gugatan Error In Persona" telah redaksi Hukumindo posting, dan masih terkait dengan topik yang sama, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai cara memperbaiki gugatan error in persona.


Sebagaimana telah diketahui, konsekuensi putusan gugatan perdata yang dikualifikasi sebagai error in persona adalah nietontvankelijke verklaard/N.O. atau putusan tidak dapat diterima. Mengutip Yahya Harahap, S.H., tindakan yang dianggap tepat dilakukan penggugat menghadapi putusan yang menyatakan mengandung cacat error in persona adalah:[1]
  • Memperbaiki atau menyempurnakan pihak yang dinyatakan cacat oleh Pengadilan;
  • Jika cacat yang terkandung dalam gugatan itu diskualifikasi, perbaikan dilakukan dengan menempatkan orang yang tepat. Begitu juga apabila pihak yang ditarik sebagai tergugat keliru orangnya diperbaiki dengan menarik orang yang tepat sebagai tergugat. Jika putusan menyatakan gugatan kurang pihak, gugatan harus diperbaiki dan disempurnakan dengan memasukkan orang bersangkutan sebagai pihak penggugat atau tergugat.
Dengan perbaikan atau penyempurnaan itu, penggugat dapat mengajukan kembali gugatan sebagai perkara baru. Cara ini yang dianggap paling efektif dan efisien. Oleh karena itu, seandainya Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan menyatakan gugatan mengandung error in persona:[2]
  • Kurang efektif dan efisien mengajukan upaya hukum banding atau Kasasi;
  • Lebih tepat langsung melakukan perbaikan yang dilanjutkan dengan pengajuan kembali sebagai perkara baru.
Sebab kalau diajukan banding maupun kasasi, dan ternyata putusan itu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi pada tingkat Banding dan MA pada tingkat Kasasi, dengan sendirinya hal itu memperpanjang proses penyelesaian perkara.
_________________
1. M. Yahya Harahap, "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan kesembilan, 2009, Hal.: 113-114.

2. Ibid. Hal.: 114.

Sabtu, 18 April 2020

Hukum Benda (Zakenrecht)

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: “Hukum Harta Kekayaan” telah dibahas mengenai uang dan yang dapat dinilai dengan uang dari perspektif hukum. Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Hukum Benda. Sebagai prolog, manusia di dalam pergaulan hidupnya memerlukan benda-benda baik untuk dipergunakan langsung ataupun sekedar sebagai alat untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.[1]


Benda dalam arti Ilmu Pengetahuan Hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi objek hukum, sedangkan menurut Pasal 499 KUHPerdata, benda ialah segala barang dan hak yang dapat menjadi milik orang (obyek hak milik). Benda-benda tersebut dapat dibedakan menjadi:[2]

  1. Benda tetap, ialah benda-benda yang karena sifatnya, tujuannya atau penetapan undang-undang dinyatakan sebagai benda tak bergerak, misalnya bangunan-bangunan, tanah tanam-tanaman (karena sifatnya), hak opstal, hak erfpah, hak hipotik (karena penentuan undang-undang) dan sebagainya.
  2. Benda bergerak, ialah benda-benda yang karena sifatnya  atau karena penentuan undang-undang dianggap benda bergerak, misalnya alat-alat perkakas, kendaraan, binatang (karena sifatnya), hak-hak terhadap surat-surat berharga (karena undang-undang) dan sebagainya.

Benda-benda itu juga dapat dibedakan lagi menjadi: (a). Benda-benda berwujud (= barang-barang) dan; (b). Benda-benda tak berwujud (= bermacam-macam hak). Benda-benda ini dapat dimiliki dan dikuasai oleh manusia dan karena itu diperlukan peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan manusia dengan benda-benda tersebut. Timbullah peraturan-peraturan tentang hukum kebendaan (zakelijke rechten) yang bersifat mutlak (absoluut recht), artinya dapat berlaku dan harus dihormati oleh setiap orang.[3]

Hak mutlak dalam lapangan keperdataan, dapat meliputi:[4]
  1. Benda-benda berwujud, misalnya hak eigendom, hak opstal, hak erfpah, hak gadai, hak hipotik dan sebagainya;
  2. Benda tidak berwujud, seperti hak panenan, hak pengarang (hak cipta), hak oktroi (paten), hak merk, dan sebagainya.

Di dalam KUHPerdata (BW) diatur beberapa hak kebendaan, antara lain:[5]
  1. Hak Eigendom (Hak milik Barat), pada Pasal 570 dan seterusnya, ialah hak untuk menikmati dengan bebas dan menguasai mutlak suatu benda, asal tidak dipergunakan yang bertentangan dengan undang-undang, peraturan-peraturan lain dan tidak mengganggu kepentingan orang lain; kesemuanya itu sekedar tidak diadakan pencabutan hak milik oleh Negara untuk kepentingan umum.
  2. Hak Pekarangan (Servituut), Pasal 674 dan seterusnya, ialah kewajiban bagi pemilik pekarangan yang berdekatan dengan kepunyaan orang lain untuk mengizinkan memakai atau menggunakan pekarangan tersebut.
  3. Hak Opstal, Pasal 711 dan seterusnya, ialah hak untuk mempunyai atau mendirikan bangunan-bangunan atau tanaman di atas milik orang lain. Untuk mendirikan bangunan atau menanami tanah itu, diperlukan izin pemiliknya, sedangkan orang itu tidak perlu memiliki tanah sendiri.
  4. Hak Erfpah, Pasal 70 dan seterusnya, ialah suatu hak untuk mempergunakan benda tetap kepunyaan orang lain dengan kemerdekaan penuh, seolah-olah menjadi miliknya sendiri, dengan pembayaran uang canon (pacht) pada tiap-tiap tahun, baik berupa uang ataupun benda lain atau buah-buahan.
  5. Hak Pemakaian Hasil (Vruchtgebruik), Pasal 756 dan seterusnya, ialah hak atas benda tetap atau benda bergerak, untuk menggunakan seluruhnya serta memungut hasil dan buahnya sedang sifat benda tersebut tidak boleh berubah ataupun berkurang nilainya; sebab itu undang-undang mengharuskan ada jaminan gadai, hipotik atau tanggungan orang.
  6. Hak Gadai (Pand), Pasal 1150 dan seterusnya, adalah hak seseorang kreditur (penagih) atas sesuatu benda bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya sebagai jaminan hutangnya dengan ketentuan bahwa kreditur tersebut harus dibayar lebih dahulu dari kreditur-kreditur lainnya dengan jalan melelang benda tersebut di muka umum.
  7. Hak Hipotik, Pasal 1162 dan seterusnya, ialah hak tanggungan seperti gadai; akan tetapi benda yang dijadikan jaminan berupa benda tetap (rumah, tanah dan sebagainya). Kapal yang muatannya 20 M3 ke atas, segala hak-hak kebendaan seperti hak opstal, erfpah, pemakaian hasil dan lain-lain dapat dibebani hipotik.

Pada tahun 1960, telah ditetapkan penghapusan hak-hak berkenaan dengan tanah sebagaimana dimaksud di atas. Hal ini diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria (Undang-undang Nomor: 5 Tahun 1960). Undang-undang ini bermaksud untuk mengadakan hukum agraria nasional yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah. Dengan lahirnya undang-undang ini maka tercapailah suatu keseragaman mengenai hukum tanah, sehingga tidak lagi ada hak-hak atas tanah menurut hukum Barat.[6]

Dengan undang-undang ini telah dicabut Buku II KUHPerdata (BW) sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik yang masih berlaku pada mulai berlakunya undang-undang ini.[7] Sebagai informasi tambahan, pasal-pasal yang di dalam KUHPerdata (BW) yang mengatur tentang Hipotik, dengan berlakunya Undang-undang Nomor: 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, menjadikannya tidak berlaku lagi.

Dengan telah dicabutnya Buku II KUHPerdata ini, maka oleh Undang-undang Nomor: 5 Tahun 1960 ini telah diciptakan hak-hak berikut atas tanah, yaitu:[8]

1.   Hak Milik, adalah hak turun-temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat bahwa semua hak atas tanah itu mempunyai fungsi sosial;
2.   Hak Guna Usaha, adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh Negara, dalam jangka waktu paling lama 25 tahun (untuk perusahaan yang memerlukan waktu lebih lama dapat diberikan untuk waktu 35 tahun), waktu mana dapat diperpanjang;
3. Hak Guna Bangunan, adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun, waktu mana dapat diperpanjang;
4.  Hak Pakai, adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah;
5.   Hak Sewa, adalah seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sewa.
____________________
1.  “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 244.
2.  Ibid. Hal.: 244.
3.  Ibid. Hal.: 244.
4.  Ibid. Hal.: 244.
5.  Ibid. Hal.: 244-245.
6.  Ibid. Hal.: 245-246.
7.  Ibid. Hal.: 246.
8.  Ibid. Hal.: 246.

Jumat, 17 April 2020

2 Akibat Hukum Gugatan Error In Persona

(young lawyer)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada artikel sebelumnya, redaksi Hukumindo.com telah membahas secara linier mengenai "3 Bentuk Gugatan Error In Persona", dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai akibat hukum dari sebuah gugatan yang dikualifikasi sebagai error in persona.


Seperti yang dijelaskan terdahulu, kekeliruan pihak mengakibatkan gugatan cacat error in persona (kekeliruan mengenai orang). Cacat yang ditimbulkan kekeliruan itu, berbentuk diskualifikasi (salah orang yang bertindak sebagai penggugat). Dapat juga berbentuk, salah pihak yang ditarik sebagai tergugat (gemis aanhoedarmigheid) atau mungkin juga berbentuk plurium litis consortium (kurang pihak dalam gugatan).[1]

Sebagaimana pendapat dari Yahya Harahap, S.H., gugatan error in persona mengakibatkan dua akibat hukum, yaitu:[2]
  1. Gugatan dianggap tidak memenuhi syarat formil, oleh karena itu gugatan dikualifikasi mengandung cacat formil;
  2. Akibat lebih lanjut, Gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima (nietontvankelijke verklaard/N.O.).
Dengan demikian, kecermatan dalam menganalisis sebuah peristiwa hukum adalah sangat diperlukan dalam menyusun sebuah surat gugatan, agar dikemudian hari tidak dikategorikan tidak memenuhi syarat formil yang mengakibatkan diputus N.O.

_________________

1. M. Yahya Harahap, "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan kesembilan, 2009, Hal.: 113.
2. Ibid. Hal.: 113.

Kamis, 16 April 2020

Hukum Harta Kekayaan

(ayutiapuspasari)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya telah dibahas mengenai "hukum perorangan" dan "hukum keluarga" pada artikel masing-masing. Masih dalam bahasan "sistematika hukum perdata", pada bagian ini akan dibahas mengenai hukum harta kekayaan.


Apa yang dimaksud dengan Hukum Harta Kekayaan? C.S.T. Kansil menjawab pertanyaan ini, sebagai peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban manusia yang bernilai uang.[1] Dengan kata lain, hukum harta kekayaan ini adalah himpunan peraturan yang melingkupi manusia terkait uang atau perihal yang dapat dinilai dengan uang.

Adapun ruang lingkup hukum harta kekayaan ini cukup luas, akan tetapi, apabila dilakukan penyederhanaan, tergolong ke dalam dua lapangan, yaitu:[2]
  1. Hukum Benda, yaitu peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak kebendaan yang bersifat mutlak, artinya hak terhadap benda yang oleh setiap orang wajib diakui dan dihormati;
  2. Hukum Perikatan, ialah peraturan-peraturan yang mengatur perhubungan yang bersifat kehartaan antara dua orang atau lebih dimana pihak pertama berhak atas sesuatu prestasi (pemenuhan sesuatu) dan pihak yang lain wajib memenuhi suatu prestasi. 

_______________________
1. “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 243.
2.  Ibid. Hal.: 243-244.

Rabu, 15 April 2020

3 Bentuk Gugatan Error in Persona

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Kesempatan sebelumnya, redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Kekuatan Pembuktian Photocopy Surat", dan kini akan membahas mengenai bentuk-bentuk gugatan yang dapat dikualifikasi sebagai error in persona.

Dalam sebuah gugatan perdata, terlibat dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat. Pada kondisi demikian, yang bertindak sebagai Penggugat, harus orang yang benar-benar memiliki kedudukan dan kapasitas yang tepat menurut hukum. Sebaliknya, pihak yang ditarik sebagai tergugat, harus orang yang tepat memiliki kedudukan dan kapasitas. Keliru dan salah bertindak sebagai Penggugat mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil. Demikian juga sebaliknya, apabila orang yang ditarik sebagai tergugat keliru dan salah, mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil.[1] Dengan kata lain, ketika para pihak berperkara di pengadilan, baik Penggugat maupun Tergugat mempunyai potensi untuk melakukan kesalahan berupa salah menarik pihak atau tidak mempunyai kedudukan dan kapasitas hukum, akibatnya adalah gugatan menjadi cacat formil.


Pada kesempatan ini, akan dibahas mengenai tiga bentuk gugatan error in persona yang mengakibatkan sebuah gugatan cacat formil, yaitu:[2]

  1. Diskualifikasi in Person, hal ini terjadi apabila yang bertindak sebagai Penggugat adalah orang yang tidak memenuhi syarat (diskualifikasi), disebabkan Penggugat dalam kondisi sebagai berikut: a). Tidak mempunyai Hak untuk Menggugat Perkara yang disengketakan. Misalnya, orang yang tidak ikut dalam perjanjian bertindak sebagai Penggugat menuntut dibatalkannya perjanjian; b). Tidak cakap melakukan Tindakan Hukum. Misalnya, orang yang berada di bawah umur atau perwalian.
  2. Salah Sasaran Pihak Yang Digugat, adalah bentuk lain dari error in persona yang mungkin terjadi, yaitu ketika orang yang ditarik sebagai Tergugat keliru (gemis aanhoeda nigheid). Misalnya, yang meminjam uang adalah A, tetapi yang ditarik sebagai Tergugat untuk melunasi pembayaran adalah B, sebagai Tergugat. Dengan kata lain, yang dijadikan Tergugat tidak mempunyai status legal persona standi in judicio (yang sah mempunyai wewenang bertindak di Pengadilan).
  3. Gugatan Kurang Pihak (Plurium Litis Consortium), yaitu keadaan dimana pihak yang bertindak sebagai Penggugat atau yang ditarik sebagai Tergugat adalah tidak lengkap, masih ada orang lain yang mesti ikut bertindak sebagai Penggugat atau ditarik sebagai Tergugat. Contoh: Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1125 K/Pdt/1984 menyatakan: "Judex facti salah menerapkan tata tertib beracara. Semestinya pihak ketiga yang bernama Oji sebagai sumber perolehan hak Tergugat I, yang kemudian dipindahkan Tergugat I kepada Tergugat II, harus ikut digugat sebagai Tergugat. Alasannya, dalam kasus ini, Oji mempunyai urgensi untuk membuktikan hak kepemilikannya maupun asal usul tanah sengketa serta dsar hukum Oji menghibahkan kepada Terguggat I"
Setelah membaca penjelasan di atas, sebagai sebuah kesimpulan, yang harus diingat ketika menyusun suatu surat gugatan perkara perdata agar tidak dikualifikasi sebagai error in persona agaknya menjadi terang, yaitu baik Penggugat dan Tergugat harus mempunyai Hak dan Cakap secara hukum, Tergugatnya tepat dan lengkap.
_________________
1. M. Yahya Harahap, "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan kesembilan, 2009, Hal.: 111.
2. Ibid. Hal.: 111-113.

Selasa, 14 April 2020

Kekuatan Pembuktian Photocopy Surat

(gettyimages)

Oleh:
Tim Hukumindo


Pada kesempatan sebelumnya, redaksi Hukumindo.com telah beberapa kali membahas tentang hukum acara perdata, diantaranya lewat artikel berjudul: "Saksi Keluarga Dalam Perkara Perceraian", kemudian "Pernyataan dan Pengakuan Dalam Proses Mediasi Tidak Termasuk Bukti" dan artikel lain yang berjudul: "Tiga Larangan Hukum Acara Terkait Merubah Surat Gugatan".

Peraturan Perundang-undangan Terkait Photocopy Surat

Sesuai dengan judul, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Kekuatan Pembuktian menurut hukum acara dari sebuah Photocopy Surat. Mengutip Yahya Harahap, S.H., sampai saat ini belum terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan dan Yurisprudensi yang mengatur maupun membicarakan sejauh mana kesamaan dan keidentikan photocopy dengan orisinilnya.[1]


Lanjutnya, secara umum, pengakuan keabsahan identiknya photocopy dengan aslinya, yaitu apabila para pihak mampu dan dapat menunjukan aslinya di persidangan. Selama tidak dapat ditunjukan aslinya, photocopy tidak bernilai sebagai salinan pertama atau salinan keberapa, sehingga tidak sah sebagai alat bukti.[2]

Yurisprudensi Terkait Photocopy Surat Sebagai Bukti

Hal yang sama juga tercermin dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 7011 K/ Sip/1974, antara lain dikatakan: "Putusan yang didasarkan pada surat bukti photocopy-photocopy tidaklah sah karena surat bukti photocopy-photocopy tersebut dinyatakan sama dengan aslinya, sedang terdapat di antaranya perbedaan yang penting secara substansial. Dengan demikian judex facti telah memutus perkara berdasarkan bukti-bukti yang tidak sah".[3]

Pendapat yang sama ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3609 K/Pdt/1985, dikatakan: "Surat bukti photocopy yang tidak pernah diajukan atau tidak pernah ada surat aslinya, harus dikesampingkan sebagai surat bukti". Hal yang sama juga terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 112 K/Pdt/1996, yang mengatakan: "Bukti photocopy kuitansi tanpa diperlihatkan aslinya serta tidak dikuatkan oleh keterangan saksi atau alat bukti lain, tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dan harus dikesampingkan".[4]

Dapat disimpulkan secara sederhana, bahwa bukti yang diajukan berupa surat hasil photocopy yang tidak ditunjukan aslinya dan atau tidak dikuatkan oleh keterangan saksi-saksi, maka tidak mempunyai nilai pembuktian secara hukum acara.
_________________
1. M. Yahya Harahap, "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan kesembilan, 2009, Hal.: 622.
2. Ibid. Hal.: 622.
3. Ibid. Hal.: 622.
4. Ibid. Hal.: 622.

Senin, 13 April 2020

Anarko-Sindikalis, COVID-19 Dan Joker

(Tempo)

Oleh:
Tim Hukumindo

Redaksi Hukumindo sebelumnya telah menulis perihal kelompok anarko-sindikalis ini melalui artikel yang berjudul "Eksistensi Anarcho-syndicalism dalam Bingkai Hukum Positif Negara Republik Indonesia" ketika kelompok ini melancarkan aksinya di hari Buruh Internasional tahun 2019 lalu. Ternyata baru-baru ini, mereka juga melancarkan aksinya di tengah pandemi COVID-19. Beberapa titik di daerah seperti Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bandung dan Banjar menjadi sasaran aksi vandalisme kelompok ini. Bahkan aparat Kepolisian menginformasikan melalui beberapa situs berita online, mengklaim kelompok ini akan melakukan aksi vandalisme massal pada tanggal 18 April 2020.

Kelompok Anarko-Sindikalis

Secara sederhana, Anarko-Sindikalis merujuk pada sekelompok manusia yang beranggapan bahwa kehidupan manusia akan lebih baik jika tidak ada penguasa atau institusi kekuasaan—baca NegaraIstilah anarkisme berasal dari bahasa Yunani, ‘anarkos’, yang berarti tanpa penguasa. Dalam konteks yang lebih spesifik, penguasa dimaksud adalah penguasa dalam arti kelompok yang mempunyai akses atas konsentrasi modal dan penguasa dalam arti sekelompok orang yang mewakili otoritas negara.

Coretan-coretan di dinding berupa huruf "A" khas dengan lingkaran yang menjadi simbol kelompok ini kerap ditemui kala kelompok ini menjalankan aksinya. Sejak merebaknya COVID-19 di tanah air, kelompok ini sepertinya memanfaatkan momentum kondisi sosial masyarakat yang kini tengah menurun. Masyarakat pada umumnya yang lebih memilih untuk tinggal di rumah masing-masing menjadikan tempat-tempat yang dahulunya adalah simpul keramaian menjadi sepi. Keadaan ini dimanfaatkan oleh mereka untuk melakukan aksi corat-coret di beberapa tempat, tulisan seperti 'Kill The Rich', 'Sudah Krisis Saatnya Membakar', dan 'Mau Mati Konyol atau Melawan' menjadi bertebaran.


Ditengarai, motif kelompok ini melakukan vandalisme adalah dikarenakan ketidakpuasan atas kebijakan-kebijakan Negara saat ini, khususnya terkait kondisi sosial yang makin memburuk akibat penanganan pandemi COVID-19. Mereka berupaya untuk memanfaatkan momentum ini agar masyarakat mempertanyakan keadaan di sekitarnya dengan tulisan-tulisan di dinding sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Tentu saja oleh aparat yang berwenang hal ini dianggap sebagai ajakan menyesatkan yang membuat masyarakat resah dan kemudian menindaknya secara hukum. Menurut petugas, kelompok anarko-sindikalis yang tertangkap ini disangkakan Pasal 14 dan atau 16 Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Jo. Pasal 160 KUHP tentang tindakan Keonaran dengan membuat berita bohong.

Pandemi COVID-19

COVID-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh jenis coronavirus yang baru ditemukan. Dalam ilmu mikrobiologi kedokteran, virus corona diartikan sebagai kelompok virus yang dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia. Gejala-gejalanya dapat terlihat pada manusia dari batuk pilek, susah bernafas, diare dan sindrome pernapasan akut. Dikemudian hari ditemukan dapat saja seseorang terinfeksi virus ini tanpa menampakan gejala sama sekali. 

Adalah hal yang cukup sulit secara pemikiran untuk melacak hubungan antara COVID-19 dengan kelompok Anarko-Sindikalis. Bahkan secara ilmiah mungkin tidak ada kaitannya secara langsung. Akan tetapi, menurut hemat penulis, terdapat akibat-akibat dari penanganan pandemi COVID-19 yang notabene dilakukan oleh negara, khususnya Pemerintah, yang menjadikan kondisi sosial-masyarakat tidak lagi sama seperti sebelum terjadinya pandemi dimaksud.

Bagi kelompok Anarko-Sindikalis, kondisi sosial-masyarakat saat ini, ketika pandemi COVID-19 berlangsung, adalah produk langsung dari kekuasaan. Sehingga segala akibat yang ditanggung oleh masyarakat saat ini adalah sebab dari kekuasaan secara langsung. Tidak dapat dipungkiri dampak dari pandemi COVID-19 terhadap ekonomi di Indonesia memang cukup parah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati hanya memprediksi ekonomi Indonesia hanya tumbuh sekitar 2,3% saja untuk kuartal 2 dan 3 tahun ini. Tentu saja hal ini akan berpengaruh pada menurun tajamnya daya beli masyarakat. 

Masyarakat berpenghasilan rendah yang ditopang umumnya dari sektor ekonomi informal akan sangat terdampak secara ekonomi. Daya beli masyarakat akan makin lemah, singkat kata mencari makan akan sangat sulit. Belum lagi jika menghitung variabel konkrit lainnya berupa ancaman kesehatan bagi masyarakat ekonomi lemah dari adanya pandemi COVID-19 ini. Lengkap sudah, perut lapar di ancam dengan pandemi COVID-19. Secara garis besar, kondisi demikian menjadikan kondisi sosial dalam keadaan rawan.

Joker

Film Joker besutan DC Comic ini bercerita tentang sosok Arthur Fleck alias Joker musuhnya Batman, seorang yang berprofesi sebagai penghibur badut diperankan oleh aktor negeri Paman Sam, Joaquin Phoenix. Film ini rilis tahun lalu, sekitar bulan Oktober. Film Joker tergolong laris dan menjadikan Joaquin Phoenix sebagai peraih piala oscar. Film bergenre psikologis anti hero ini bercerita tentang hidup Arthur Fleck yang kacau balau. Dikisahkan Arthur menderita sakit otak yang menyebabkan ia tertawa pada moment tidak lazim.

Suatu ketika dalam perjalanan pulang menggunakan kereta bawah tanah, Arthur Fleck dianiaya oleh tiga anak muda yang bekerja pada perusahaan Wayne Enterprise, karena terdesak Arthur kemudian menembak mati ketiganya dengan pistol pinjaman dari seorang teman. Arthur tidak menyadari bahwa pembunuhan itu mejadi pemicu gerakan unjuk rasa terhadap orang kaya di kota Gotham dengan ciri khas topeng badut. Sementara itu, di kancah politik kota Gotham, seorang pengusaha kaya bernama Thomas Wayne (ayah Bruce Wayne--Batman) maju mencalonkan diri guna menjadi wali kota Gotham karena merasa resah dengan kekacauan di kota itu.

Kerusuhan dan kekacauan Kota Gotham dipicu oleh pernyataan Thomas Wayne terhadap kematian ketiga anak muda yang bekerja pada perusahaannya oleh Joker. Thomas Wayne mengatakan bahwa pelaku pembunuhan tersebut adalah orang yang iri pada golongan orang kaya dan sukses, dan melabelinya orang-orang miskin dan gagal total tersebut sebagai 'badut'. Pemberontakan Joker/Arthur Fleck atas kondisi personalnya, diantaranya: dianiaya oleh karyawan Wayne Enterprise, dirundung oleh bandit jalanan ketika menjadi badut, dipecat dari pekerjaannya, dipermalukan oleh Murray Franklin dalam acara TV favorit-nya, kegagalan karirnya dalam stand-up comedy, serta dibohongi oleh ibu angkatnya karena ternyata ia adalah anak angkat, ternyata tidak hanya dirasa oleh dirinya sendiri, tapi juga khalayak ramai dengan beragam penderitaannya masing-masing, yang kemudian terakumulasi menjadi kerusuhan sosial massif di kota Gotham. Pemberontakan demikian, oleh kaum anarkis sebagai perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas.

Jika dikaitkan antara kondisi pandemi COVID-19 yang tengah kita alami sekarang ini dengan film Joker di atas, maka ada kesamaannya, yaitu pandemi COVID-19 ini dapat saja melahirkan kondisi sosial yang rawan. Dan jika mengikuti alur berpikir kelompok anarko-sindikalis selanjutnya, maka diharapkan terjadi akumulasi perlawanan dari masyarakat atas ketidakpuasan terhadap kondisi sosial saat ini yang pecah menjadi kerusuhan sosial massif layaknya di kota Gotham sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan yang secara klise dianggap menindas.

Pertanyaannya sekarang adalah: apakah pemerintah Indonesia dengan segala perangkat negara yang dimilikinya mampu mengatasi pandemi COVID-19 ini? Penulis berasumsi pemerintah akan mampu mengatasinya. Meskipun demikian, hal ini tentu tidak mudah, dan juga, meski terdapat negara-negara yang berhasil mengatasinya, juga terdapat contoh kegagalan dari negara Lain, Turki misalnya. Baru-baru ini, menteri dalam negeri Turki (Soylu) mengundurkan diri dikarenakan dianggap bertanggung jawab atas akibat dari kebijakan lock-down yang diterapkan di negaranya, kebijakan ini memicu kekacauan hebat di seluruh penjuru negeri, reaksi masyarakat Turki menjadi panik merespond kebijakan ini dengan buru-buru memborong kebutuhan pokok dan tidak melaksanakan instruksi physical distancing. Akibatnya bisa ditebak dengan terjadinya kekacauan. 

Lalu soal aksi-aksi vandalisme kelompok anarko-sindikalis di tengah pandemi COVID-19 ini bagaimana? Penulis tidak mempunyai data akurat mengenai peta kekuatan kelompok ini, apakah mereka mempunyai akses yang sepadan terhadap sumber daya yang ada guna mendukung aksi-aksi rovolusionernya sebagaimana cita-cita ajarannya dan mungkin sebagaimana terekam dalam film Joker, hal ini bisa ditanyakan ke Badan Intelejen Negara (BIN).

Minggu, 12 April 2020

4 Pasal KUHP Bagi Pelanggar PSBB

(liputan6.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada artikel sebelumnya yang berjudul “2 Ancaman Pidana Tidak Patuh PSBB” telah dibahas mengenai ancaman pidana yang diatur di luar KUHP bagi siapa saja yang melanggar kebijakan Pemerintah berupa Pembatasan Sosial Berskala Besar atau disingkat dengan PSBB.


Sebaliknya, pada kesempatan ini, akan dibahas aturan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dapat digunakan para penegak hukum, khususnya Polisi, untuk menjerat siapa saja yang tidak patuh pada kebijakan PSBB sebagaimana dimaksud.

Di dalam KUHP, sedikitnya terdapat empat Pasal yang dapat mengancam seseorang untuk dipidana dalam hal tidak mematuhi PSBB, yaitu:
  1. Pasal 212 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut: "Melawan seseorang pejabat yang menjalankan tugas yang sah, dipidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan".
  2. Pasal 214 KUHP, yang berbunyi sebagaimana dikutip berikut ini: "Jika hal tersebut dilakukan oleh dua orang atau lebih maka ancaman pidananya maksimal 7 tahun penjara".
  3. Pasal 216 ayat (1) KUHP, yang berbunyi sebagai berikut: "Tidak menurut perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang, dipidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu".
  4. Pasal 218 KUHP, yang bunyinya adalah sebagai berikut: "Barangsiapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta dengan pidana penjara 4 bulan 2 minggu".
Pada pasal pertama, kedua, ketiga dan keempat, pada umumnya disebut sebagai Pasal melawan perintah petugas yang sah. Pasal-pasal sebagaimana dimaksud, lazimnya ketika diaplikasikan pada konteks praktik tidaklah berdiri sendiri, ia di-juncto-kan ("berhubungan dengan") pasal yang lain. Pasal lain sebagaimana telah dibahas pada artikel sebelumnya adalah Pasal 93 Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor: 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular.

Basic Requirements for Foreign Direct Investment in Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Suspect Still Underage, Murder Case in ...