Jumat, 20 September 2019

Contoh Surat Kuasa Menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Surat Kuasa

Pada hari ini, ..........., tanggal ........... (...........), bulan ..........., tahun ........... (...........), yang bertanda tangan di bawah ini:

..................., lahir di ..........., pada tanggal ........... (...........) bulan ..........., tahun ........... (...........), bertempat tinggal di kota ..........., jalan ..........., nomor: ..........., dalam hal ini bertindak selaku Direktur dari dan oleh karena itu untuk dan atas nama PT. ..........., berkedudukan di Kota ..........., yang anggaran dasarnya tercantum dalam Akta Nomor: ..........., tertanggal ........... dibuat di hadapan ..........., S.H., Notaris di Kota ..........., disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia dengan Surat keputusannya tertanggal ..........., Nomor: ..........., selanjutnya disebut Pemberi Kuasa.

Dengan ini memberikan kuasa kepada:

..........., lahir di ..........., pada tanggal ........... (...........), bulan ..........., tahun ........... (...........), beralamat di ..........., Nomor: ..........., Kota ..........., dalam hal ini bertindak selaku Manager ..........., dari PT. ..........., selanjutnya disebut Penerima Kuasa.

----------------KHUSUS-------------

Untuk mewakili Pemberi Kuasa menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT. ......................, sebagaimana dimaksud dalam pengumuman surat kabar ..........., tanggal ..........., yang akan dilaksanakan pada:

Hari/Tanggal : ...........
Waktu : ........... WIB
Tempat : ...........

Selanjutnya Penerima Kuasa berhak memasuki ruangan rapat, mengikuti jalannya rapat, memberikan usulan-usulan, dan menandatangani surat-surat, keputusan-keputusan yang diambil, menolak dan/atau menerima usulan-usulan dari peserta rapat lainnya, dengan kata lain mewakili kepentingan Pemberi Kuasa yang terbaik dalam arti seluas-luasnya dalam Rapat Umum Pemegang Saham PT. ........... tersebut.

Demikian Surat Kuasa ini dibuat pada hari dan tanggal sebagaimana tersebut di awal untuk dilaksanakan dan dipergunakan dengan penuh tanggung jawab.

Penerima Kuasa Pemberi Kuasa PT. .................

.................                     .................
                                     Direktur

Catatan: untuk dokumen dalam format word, silahkan diunduh pada link berikut ini.

Lihat juga contoh surat kuasa pendaftaran Paten pada link berikut ini.

___________________
Referensi: "Panduan Lengkap Membuat Surat-surat Kuasa", Frans Satriyo Wicaksono, S.H., Jakarta, Visimedia, 2009, Hal.: 146-147.

Rabu, 18 September 2019

Pengertian Perbuatan Pidana Dan Strafbaar Feit

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah kita lalui kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Istilah dan Perbuatan Pidana’, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Pengertian Perbuatan Pidana dan Strafbaar Feit.

Perlu dijelaskan dahulu adanya penafsiran yang sama atau yang berbeda mengenai pengertian “perbuatan pidana” dan “tindak pidana”. Selain pengertian yang diajukan oleh Jonkers, juga telah dikembangkan pengertian perbuatan pidana yang terpisah dari pertanggungjawaban pidana, sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Moeljatno.[1]

Konsekuensi dari rumusan strafbaar feit menurut pandangan Pompe, Jonkers dan Vos telah tumbuh pemikiran baru yang membuat pemisahan antara "de strafbaarheit van het feit” dan “de strafbaarheid van de dader”. Dengan perkataan lain tumbuh pemikiran baru tentang pemisahan antara “perbuatan yang dilarang dengan ancaman pidana” dan “orang yang melanggar larangan yang dapat dipidana”, di satu pihak tentang perbuatan pidana dan di lain pihak tentang kesalahan.[2]

Prof. Moeljatno, S.H., adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang telah menganut dan memperkenalkan pengajaran hukum pidana Indonesia tentang perlunya susunan pemikiran yang memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana.[3]

Dasar pemikiran adanya perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana masih dapat dilengkapi dengan masalah yang ditimbulkan karena adanya perbandingan rumusan strafbaar feit di satu pihak oleh Simons dan Jonkers, sedangkan di lain pihak oleh Van Hamel dan Pompe. Simons dan Jonkers dengan rumusannya tentang strafbaar feit telah merumuskan adanya unsur “schuld (opzet of schuld)” dan “toerekeningsvatbaar”, dimana kedua unsur itu dicantumkan bersama-sama dalam rumusan strafbaar feit. Dari rumusan Simons dan Jonkers itu kiranya tidak akan mengalami kesulitan untuk memahami dasar pemikiran tentang pemisahan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Namun di dalam rumusan strafbaar feit yang klasik dari Van Hamel dan rumusan strafbaar feit yang teoritis dari Pompe di situ dijumpai unsur “schuld” saja, sehingga dasar pemikiran yang ada harus tersusun menjadi perbuatan pidana dan kesalahan dalam hukum pidana.[4]

Doktrin pemisahan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana, maupun pemisahan antara perbuatan pidana dan kesalahan dalam hukum pidana, kiranya tidak perlu dipandang sebagai perbedaan prinsip, apabila diikuti pandangan itu bahwa toerekeningsvatbaarheid adalah dasar yang penting untuk adanya schuld, jadi hanyalah letak penekanan saja yang menitikberatkan pada toerekeningsvatbaarheid (pertanggungan jawab) ataukah pada schuld (kesalahan).[5]

Prof. Moeljatno, S.H., memberikan arti “perbuatan pidana” mengandung pengertian bahwa: pertama, adalah kelakuan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan, dan yang kedua, adalah perbuatan pidana tidak dihubungkan dengan kesalahan yang merupakan pertanggungjawaban pidana pada orang yang melakukan perbuatan pidana. Apabila disimpulkan, maka perbuatan pidana itu hanyalah menunjukan sifatnya perbuatan yang terlarang dengan diancam pidana.[6] 

_________________________________
1. “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 125.
2.  Ibid. Hal.: 127.
3.  Ibid. Hal.: 127.
4.  Ibid. Hal.: 128-129.
5.  Ibid. Hal.: 129.
6.  Ibid. Hal.: 129-130.

Jumat, 13 September 2019

Contoh Surat Kuasa Untuk Menjual Kendaraan Bermotor


(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Surat Kuasa

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ..........................
Pekerjaan : ..........................
Alamat : ..........................

Berdasarkan dan dalam kedudukannya selaku peminjam dari kendaraan bermotor yang akan di sebut di bawah ini. Untuk selanjutnya disebut Pemberi Kuasa, dengan ini memberi kuasa penuh dengan hak substitusi kepada:

PT.........................., berkedudukan di .........................., untuk selanjutnya disebut Penerima Kuasa.

Atas hak-hak Pemberi Kuasa dari Kendaraan bermotor yang tersebut di bawah ini:

Merek : ..........................
Type : ..........................
No. Chasis : ..........................
No. Mesin : ..........................
No. Polisi : ..........................
Warna : ..........................

Selanjutnya disebut Kendaraan Bermotor.

Dan hak-hak atas Kendaraan Bermotor yang dipergunakan sebagai jaminan pelunasan Utang Pemberi Kuasa kepada Penerima Kuasa berdasarkan Perjanjian Pengakuan Utang dengan Penyerahan Hak Milik secara Fiducia yang telah ditanda-tangani pada tanggal .........................., berikut perubahan-perubahan, perjanjian-perjanjian, serta penambahannya yang sudah dibuat atau akan dibuat pada kemudian hari (untuk selanjutnya disebut Perjanjian).

Kuasa-kuasa sebagaimana tertulis ini tidak dapat berakhir karena sebab-sebab yang disebut dalam Pasal 1813 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau karena sebab-sebab apapun dan dapat sewaktu-waktu dilaksanakan oleh Penerima Kuasa tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu baik secara tertulis maupun tidak tertulis.

Kuasa-kuasa yang diberikan adalah melakukan tindakan-tindakan di bawah ini, jika pemberi kuasa lalai dalam melakukan kewajiban-kewajiban sesuai dengan Perjanjian Utang dengan Penyerahan Hak Milik Secara Fiducia:

1. Untuk mengambil secara langsung barang milik PT. .......................... FINANCE yang dipakai pemberi kuasa berupa kendaraan seperti tersebut di halaman ini.
2. Memasuki ruangan tempat tinggal atau kantor pemberi kuasa atau ditempat lain dimana kendaraan tersebut berada.
3. Memberikan persetujuan untuk mengadakan pemblokiran atas STNK & BPKB, serta mengurus dan menyelesaikan balik nama kendaraan tersebut untuk kepentingan pemberi kuasa.
4. Mengambil kendaraan tersebut dari tangan pemberi kuasa atau pihak lain siapapun adanya dan membawanya ketempat yang dianggap baik oleh penerima kuasa.
5. Menjual kendaraan tersebut di atas pada pihak ketiga menurut harga yang dianggap patut oleh penerima kuasa, membayar ongkos pengambilan dan penjualan dari hasil penjualan tersebut, serta memotongkan hasil penjualan bersih dari buku utang pemberi kuasa dengan memberikan bukti pemotongan pada pemberi kuasa.

Kota/Kabupaten ..................., tanggal ................

Penerima Kuasa Pemberi Kuasa

................. .................

Catatan: untuk dokumen dalam format word, silahkan diunduh pada link berikut ini.

Lihat juga contoh surat kuasa selanjutnya untuk mengurus Visa, bisa dilihat pada link berikut.
___________________
Referensi: "Panduan Lengkap Membuat Surat-surat Kuasa", Frans Satriyo Wicaksono, S.H., Jakarta, Visimedia, 2009, Hal.: 90-92.


Selasa, 10 September 2019

Memahami Perbedaan Nota Kesepahaman (M.o.U) Dengan Perjanjian

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya yang berkaitan dengan praktik bisnis, tidak jarang dijumpai istilah ‘nota kesepahaman’ yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris Memorandum of Understanding atau sering disingkat dengan ‘M.o.U’ dengan Perjanjian atau agreement. Seringkali istilah ini dijumbuhkan, terutama ketika dibawa ke dalam ranah hukum, meskipun demikian kedua istilah ini memang saling kait mengkait dan berdekatan, sedangkan untuk membedakan dan memahami keduanya diperlukan usaha lebih serta ketelitian.

Istilah Nota Kesepahaman (M.o.U)

‘M.o.U’ adalah kepanjangan dari istilah dalam bahasa Inggris yaitu Memorandum of Understanding. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia disebut dengan ‘nota kesepahaman’. Dengan demikian istilah ini terdiri dari dua kata, yaitu: (1). Memorandum, yaitu suatu ringkasan pernyataan secara tertulis yang isinya menjelaskan mengenai syarat sebuah perjanjian atau transaksi, dan (2) Understanding, yaitu suatu pernyataan persetujuan tidak langsung atas perjanjian lainnya yang sifatnya informal atau persyaratan yang longgar.[1]

Beberapa pakar hukum memberikan pendapat sebagai berikut:[2]
  • Erman Radjagukguk: “M.o.U adalah suatu dokumen yang isinya memuat saling pengertian di antara para pihak sebelum perjanjian dibuat. Isi dari Memorandum of Understanding harus dimasuk-kan ke dalam kontrak, sehingga ia mempunyai kekuatan mengikat”.
  • Munir Fuady: “M.o.U adalah perjanjian pendahuluan, dalam arti nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara detail, karena itu, memorandum of understanding berisikan hal-hal yang pokok saja. Adapun mengenai aspek lain-lain dari M.o.U relatif sama dengan perjanjian lainnya”.
Dari kedua pendapat pakar hukum di atas, terdapat beberapa ‘key words’ atau kata kunci yang mengacu pada istilah M.o.U, diantaranya adalah ‘dokumen pra perjanjian’, ‘perjanjian pendahuluan’, ‘dijabarkan dalam perjanjian’, ‘berisikan hal-hal pokok saja’. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah M.o.U atau Nota Kesepahaman ini adalah semacam dokumen tertulis yang merupakan perjanjian pendahuluan adapun isinya adalah berupa hal-hal pokok yang kelak diperjanjikan lebih rinci.

Ketika M.o.U dimaknai sebagai perjanjian pendahuluan, maka di dalam M.o.U biasanya dicantumkan “intention to create legal relation” oleh kedua belah pihak.[3]

Ciri-ciri Nota Kesepahaman (M.o.U)

Adapun ciri-ciri dari Nota Kesepahaman (M.o.U) adalah sebagai berikut:[4]
  1. Umumnya isi M.o.U dibuat secara ringkas, bahkan seringkali hanya dibuat satu halaman saja.
  2. Isi di dalam M.o.U adalah hal-hal yang sifatnya pokok atau umum saja.
  3. M.o.U sifatnya pendahuluan, dimana akan diikuti oleh kesepakatan lain yang isinya lebih detail.
  4. M.o.U jangka memiliki jangka waktu yang cukup singkat, misalnya sebulan hingga satu tahun. Jika tidak ada tindak lanjut dengan perjanjian yang lebih rinci dari kedua belah pihak, maka nota kesepakatan tersebut batal.
  5. Umumnya nota kesepahaman (M.o.U) dibuat dalam bentuk perjanjian di bawah tangan.
  6. M.o.U digunakan sebagai dasar untuk membuat perjanjian untuk kepentingan banyak pihak, misalnya: investor, kreditor, pemegang saham, pemerintah, dan lainnya.
Perlu di pahami, dalam praktik, meskipun M.o.U dikatakan mempunyai salah satu ciri yaitu ‘ringkas’ (Catatan: untuk contoh Nota Kesepahaman (M.o.U) yang ringkas/sederhana dapat dengan mudah diperoleh contohnya di internet), akan tetapi hal ini sangat tergantung dari volume perihal yang nantinya akan diatur, adakalanya ketika isi dari perihal yang akan diatur ini juga banyak, maka M.o.U-nya juga tidak hanya satu halaman saja, namun lebih dari itu. Perhatikan contoh yang dikutip dari situs www.acehkita.com[5], terkait Nota Kesepahaman (M.o.U) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka berikut ini.

Tujuan Nota Kesepahaman (M.o.U)

Pada dasarnya M.o.U yang dibuat oleh para pihak memiliki tujuan tertentu. Menurut Munir Fuady, beberapa tujuan dari M.o.U adalah sebagai berikut:[6]
  • Memudahkan Proses Pembatalan Suatu Kesepakatan. Dalam hal untuk prospek bisnis yang belum jelas benar sehingga masih ada kemungkinan terjadi pembatalan kesepakatan. Dalam hal ini, pembuatan M.o.U karena belum ada kepastian mengenai kesepakatan kerja sama namun kedua belah pihak perlu merasa perlu menindaklanjuti kemungkinan kerjasama tersebut.
  • Sebagai Ikatan yang Sifatnya Sementara. Proses kesepakatan dan penandatanganan kontrak biasanya membutuhkan waktu dan negosiasi yang cukup alot. Maka M.o.U dibuat dan berlaku untuk sementara agar kedua belah pihak memiliki ikatan sebelum penandatanganan kontrak kerjasama.
  • Sebagai Pertimbangan dalam Kesepakatan. Tidak jarang pihak-pihak yang ingin bekerjasama masih ragu dan membutuhkan waktu untuk berpikir mengenai penandatanganan kerjasama yang akan dilakukan. Maka untuk sementara dibuatlah Nota Kesepahaman.
  • Sebagai Gambaran Besar Kesepakatan. Nota kesepahaman dibuat dan ditandatangani oleh pejabat eksekutif suatu perusahaan dimana isinya lebih umum. Sedangkan isi perjanjian yang lebih rinci akan dibuat dan dinegosiasikan oleh staf-staf yang menguasai hal-hal teknis.
Manfaat Nota Kesepahaman (M.o.U)

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Nota Kesepahaman (M.o.U) seyogyanya memiliki manfaat bagi para pihak yang ingin membuat suatu perjanjian. Terdapat dua manfaat dari M.o.U, yaitu:[7]
  1. Manfaat Yuridis. Manfaat yuridis adalah adanya kepastian hukum bagi kedua belah pihak yang membuat kesepakatan. Selain itu, M.o.U dapat berlaku sebagai Undang-Undang bagi setiap pihak yang membuatnya.
  2. Manfaat Ekonomis. Manfaat ekonomisnya adalah adanya penggerakan hak milik sumber daya yang awalnya nilai penggunaannya rendah menjadi lebih tinggi setelah adanya M.o.U.
Definisi Perjanjian & Unsur-unsurnya

Perjanjian adalah salah satu istilah hukum. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum  antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Dengan demikian, terdapat beberapa unsur dari Perjanjian. Pertama adalah unsur adanya perbuatan. Kedua adalah adanya subjek hukum, dalam hal ini bisa satu orang dengan satu orang lainnya, atau lebih. Unsur ketiga adalah timbulnya hubungan hukum berupa perikatan. Unsur terakhir atau keempat adalah adanya hak dan kewajiban para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian.

Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat-syarat sahnya sebuah perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut:

1.    Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.    Suatu hal tertentu;
4.    Suatu sebab yang halal.

Syarat pertama dan kedua dinamakan syarat subjektif, karena berkenaan dengan para subjek yang membuat perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat dinamakan syarat objektif karena berkenaan dengan objek dalam perjanjian.[8]

Syarat Pertama “sepakat mereka yang mengikatkan diri” berarti, para pihak yang membuat perjanjian harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok atau materi yang diperjanjikan, dimana kesepakatan itu harus dicapai dengan tanpa ada paksaan, penipuan atau kekhilafan (Pasal 1321 KUH Perdata). Misalnya, sepakat untuk melakukan jual-beli tanah, harganya, cara pembayarannya, penyelesaian sengketanya, dsb. Syarat Kedua, “kecakapan untuk membuat suatu perikatan” Pasal 1330 KUH Perdata sudah mengatur pihak-pihak mana saja yang boleh atau dianggap cakap untuk membuat perjanjian.[9]

Syarat Ketiga “suatu hal tertentu” maksudnya adalah dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan (objek perikatannnya) harus jelas. Setidaknya jenis barangnya itu harus ada (lihat Pasal 1333 ayat 1 KUH Perdata). Misalnya, jual beli tanah dengan luas 500 M2, terletak di Jl. Merpati No: 15, Jakarta Pusat, yang berbatasan dengan sebelah utara dengan sungai Ciliwung, sebelah selatan dengan Jalan Raya Bungur, sebelah timur dengan sekolah dasar inpres, dan sebelah barat dengan tempat pemakaman umum. Syarat Keempat “suatu sebab yang halal” berarti tidak boleh memperjanjikan sesuatu yang dilarang undang-undang atau yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai kesopanan ataupun ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata). Misalnya melakukan perjanjian jual beli Narkoba, atau perjanjian jual beli orang/manusia, dsb. Perjanjian semacam ini adalah dilarang dan tidak sah.[10]

Kekuatan Hukum Perjanjian

Mengenai kekuatan hukum perjanjian, diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang–undang bagi mereka yang membuatnya”.

Sudah cukup jelas bahwa terkait dengan perjanjian-perjanjian yang dibuat secara sah, maka berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian yang telah dibuat.

Perbedaan Nota Kesepahaman (M.o.U) dengan Perjanjian

Setelah mempelajari kedua hal di atas, yaitu Nota Kesepahaman (M.o.U) dengan Perjanjian (agreement), maka menurut Penulis, terdapat setidaknya tiga perbedaan penting. Pertama adalah perbedaan Istilah. Apakah di dalam KUH Perdata dikenal istilah Nota Kesepahaman (M.o.U)? Jawabannya adalah KUH Perdata tidak mengenal istilah Nota Kesepahaman atau M.o.U., istilah ini menurut hemat penulis muncul dalam konteks keseharian, khususnya banyak dipergunakan dalam bidang bisnis. Oleh karena itu perlu ditegaskan bahwa secara hukum tidak dikenal istilah Nota Kesepahaman (M.o.U), yang dikenal adalah istilah Perjanjian. KUH Perdata tidak mengenal istilah Pra Perjanjian atau Perjanjian Pendahuluan.

Kedua adalah terkait isi. Telah diuraikan di atas bahwa Nota Kesepahaman (M.o.U) mempunyai muatan perjanjian yang ringkas, memuat hal-hal yang sifatnya umum atau pokok saja, sifatnya pendahuluan, dimana akan diikuti oleh kesepakatan lain yang isinya lebih detail, jangka waktunya pendek, dll. Sedangkan Perjanjian, sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, hanya diatur mengenai syarat-syarat terpenuhinya perjanjian yang sah. Apakah bisa sebuah dokumen dinamakan Nota Kesepahaman (M.o.U) sedangkan isinya ternyata berupa perjanjian sederhana yang sah secara hukum? Jawabannya adalah sepanjang memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka dokumen yang dinamakan Nota Kesepahaman (M.o.U) dimaksud sah dan mengikat para pihak secara hukum.

Ketiga adalah terkait kekuatan hukumnya. Sebagaimana diuraikan di atas, dikarenakan Nota Kesepahaman ini adalah bukan istilah hukum, maka tidak diatur dalam KUH Perdata mengenai kekuatan hukumnya. Sedangkan sebuah perjanjian, sebagaimana diterangkan sebelumnya, berlaku sebagai Undang-undang bagi para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian yang telah dibuatnya. Akan tetapi, perlu dicermati bahwa sebuah dokumen yang dinamakan Nota Kesepahaman (M.o.U) pun yang isinya ternyata berupa perjanjian sederhana yang sah secara hukum adalah mengikat para pihak yang membuatnya layaknya Undang-undang.

Semoga bermanfaat.

___________________________________
1. "Arti MoU (Memorandum of Understanding): Pengertian, Tujuan, Manfaat, dan Jenisnya", www.maxmanroe.com, Diakses pada 10 September 2019, https://www.maxmanroe.com/vid/bisnis/arti-mou.html.
2.  Ibid.
3.  Ibid.
4.  Ibid.
5. "Naskah Perjanjian Damai RI dan GAM", www.acehkita.com, Tanggal 23 November 2011, Diakses tanggal 10 September 2019, http://www.acehkita.com/naskah-perjanjian-damai-ri-dan-gam/
6.  www.maxmanroe.com., Op.Cit.
7.  www.maxmanroe.com., Op.Cit.
8.  Syarat Sahnya Perjanjian", Konsultanhukum.web.id, Diakses tanggal 10 September 2019, https://konsultanhukum.web.id/syarat-sahnya-perjanjian/
9.  Ibid.
10.  Ibid.

Senin, 09 September 2019

Istilah Dan Perbuatan Pidana

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Telah kita lalui kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Tempus Delicti dan Locus Delicti, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Istilah dan Perbuatan Pidana.

Perbuatan pidana merupkan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Perbuatan pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkret dalam lapangan hukum pidana, sehingga perbuatan pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.[1]

Adakalanya istilah dalam pengertian hukum telah menjadi istilah dalam kehidupan masyarakat, atau sebaliknya istilah dalam kehidupan bermasyarakat yang dipergunakan sehari-hari dapat menjadi istilah dalam pengertian hukum, misalnya istilah percobaan, sengaja, dan lain sebagainya. Sebelum menjelaskan arti pentingnya istilah perbuatan pidana sebagai pengertian hukum, terlebih dahulu dibentangkan tentang pemakaian istilah perbuatan pidana yang beraneka ragam. Singkat kata, di dalam ilmu pengetahuan hukum secara universal dikenal dengan istilah “delik”. Demikian juga, para pengarang Belanda pada umumnya mempergunakan istilah yang sama “strafbaar feit”.[2]

Maksud diadakannya istilah perbuatan pidana, peristiwa pidana, tindak pidana, dan sebagainya itu adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing strafbaar feit. Namun belum jelas apakah di samping mengalihkan bahasa dari istilah strafbaar feit itu, dimaksudkan untuk mengalihkan makna dan pengertiannya juga. Oleh karena sebagian besar karangan ahli hukum belum dengan jelas dan terperinci menerangkan pengertian istilah, ataukah sekedar mengalihkan bahasanya. Hal ini yang merupakan pokok pangkal perbedaan pandangan.[3]

Di pandang dari sudut pengalihan pengertian inilah yang banyak menimbulkan persoalan, dimana masing-masing pihak seolah-olah mempunyai jarak perbedaan seperti antara bumi dan langit. Apakah terjadinya perbedaan istilah itu membawa akibat pula berbedanya pengertian hukum yang terkandung di dalamnya. Memang demikianlah pendapat pada umumnya, namun tidak mutlak bahwa istilah yang berbeda selamanya mesti berbeda pengertian, misalnya antara straf dan maatregel adalah berbeda, sedangkan antara beveiligingsmaatregel dan maatregel adalah sama, meskipun kesemuanya itu menyangkut sanksi hukum pidana.[4]

Selain itu, di tengah-tengah masyarakat juga dikenal istilah “kejahatan” yang menunjukan pengertian melanggar norma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui putusan hakim agar dijatuhi pidana, dan masih ada lagi istilah “kejahatan” menurut arti kriminologi, yang terakhir ini pengertiannya terlampau luas karena mencakup semua perbuatan tercela atau tidak susila. Kejahatan dalam arti hukum yang dipakai sehari-hari oleh masyarakat itu tidak lebih dari arti perbuatan pidana.[5]
_________________________________
1.  “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 124.
2.  Ibid. Hal.: 124-125.
3.  Ibid. Hal.: 125.
4.  Ibid. Hal.: 125.
5.  Ibid. Hal.: 125.

Kamis, 05 September 2019

Tempus Delicti Dan Locus Delicti

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah kita lalui kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Pertumbuhan dan Batasan Sifat Melawan Hukum Materiil’, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai tempat dan waktu terjadinya delik.

Di mana tempatnya dan kapan terjadinya delik itu dilakukan, dalam kenyataan tidak begitu mudah untuk menetapkan, mengingat undang-undang tidak memberikan ketentuan, yang berarti diserahkan kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan keputusan hakim dalam yurisprudensi. Sebagaimana lazimnya apabila tidak ada ketentuan yang tegas, hal itu akan menimbulkan berbagai pandangan di dalam doktrin. Dalam kepustakaan mengenai tempat dan waktu terjadinya delik dinamakan locus delicti dan tempus delicti.[1]

Ajaran tentang locus delicti dan tempus delicti, akan diselesaikan dengan cara yang sama, namun cara itu dapat berbeda karena berlainan tolak pangkal berpikirnya. Van Bemmelen memulai dengan sudut pandangan bahwa delik itu pada dasarnya terdiri atas kelakuan (gedraging), seperti halnya mengambil dalam kejahatan pencurian atau merampas nyawa dalam kejahatan pembunuhan, akan tetapi kelakuan itu kadang-kadang dibantu dengan sebuah alat (instrumen) agar orang yang berbuat itu dapat bekerja dengan baik, dan kadang-kadang juga kelakuan itu mempunyai akibat (gevolgen) yang terjadi di lain tempat (atau waktu) daripada tempat atau waktu kelakuan. Pada umumnya locus dan tempus delicti berpedoman dimana tempat dan waktu kelakuan secara materiele (materiele gedraging) terjadi sesuai dengan rumusan delik.[2]

Pada dasarnya locus dan tempus delicti berpedoman menurut kelakuan yang secara materiil terjadi, akan tetapi adakalanya terjadi keadaan yang menyertai untuk diperluas dengan “alat/instrumen” dan atau “akibat/gevolgen”, sehingga dapat disimpulkan hanya diakui tiga ajaran, yaitu:
  1. Yang mendasarkan di mana perbuatan terjadi yang dilakukan oleh seseorang;
  2. Yang mendasarkan di mana alat yang dipakai untuk melakukan perbuatan;
  3. Yang mendasarkan atas di mana akibat yang langsung menimbulkan kejadian dan di mana akibat itu ditentukan atau telah selesai oleh delik.

Namun dari ketiga ajaran itu, dapat digabungkan menjadi bersifat kompromi, yang dinamakan “theorie van de meervoudige plaats en tijds”.[3]

Kegunaan teori penentuan locus delicti dan tempus delicti adalah untuk memecahkan persoalan tentang berlakunya peraturan hukum pidana atau kewenangan instansi untuk menuntut dan mengadili. Locus delicti mempunyai arti penting bagi berlakunya KUHP berhubung dengan Pasal 2-8, dan kekuasaan instansi kejaksaan untuk menuntut maupun pengadilan yang mengadili. Tempus delicti mempunyai arti penting bagi lex temporis delicti maupun hukum transitor, dan mengenai keadaan jiwa atau umur dari terdakwa, serta berlakunya tenggang daluwarsa.[4]
_________________________________
1.“Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 121.
2.  Ibid. Hal.: 122.
3.  Ibid. Hal.: 122.
4.  Ibid. Hal.: 123.

Senin, 02 September 2019

Pertumbuhan dan Batasan Sifat Melawan Hukum Materiil

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Dalam kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Tentang Elemen Melawan Hukum’, telah dibahas sekilas perihal melawan hukum, pada kesempatan ini akan diperluas dengan kajian mengenai pertumbuhan dan batasan sifat melawan hukum materiil.

Pertumbuhan Sifat Melawan Hukum Materiil

Pengaruh yang datangnya dari luar yang berasal dari perkembangan ilmu kemasyarakatan, politik dan lain sebagainya memberikan corak aneka ragam terhadap sifat melawan hukum yang materiil. Diantaranya, sifat melawan hukum materiil diartikan bertentangan dengan norma kebudayaan, bertentangan dengan kewajiban orang, secara negatif diartikan sebagai orang berbuat tidak melawan hukum apabila orang dengan daya upaya betul-betul untuk tujuan yang berguna, diartikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan dasar pikiran faham nasional sosialis (Jerman pada masa pemerintahan Hitler), diartikan sebagai perbuatan yang membahayakan masyarakat (Uni Soviet).[1]

Dengan demikian terdapat perluasan artian daripada perbuatan melawan hukum materiil sedemikian rupa, sehingga memerlukan kewaspadaan untuk mengikuti ajaran sifat melawan hukum yang materiil itu, dan dengan sendirinya harus disesuaikan dengan dasar bangsa dan negara. Berpangkal dari batasan tersebut, diperlukan pemisahan yang membedakan antara pandangan perbuatan melawan hukum materiil terbatas murni dalam norma-norma hukum, dan pandangan melawan hukum materiil yang luas berdasarkan sendi-sendi budaya yang dihukumkan.[2]

Batasan Sifat Melawan Hukum Materiil

Kiranya tidak ada alasan untuk menolak diterimanya pandangan perbuatan melawan hukum materiil dalam pengertian terbatas sebagai “perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan undang-undang, asas-asas umum, dan norma-norma hukum tidak tertulis”. Hal mana pernah dianut di dalam putusan pengadilan HR 20 Februari 1933 NJ 1933 W. No.: 12600. Selain itu, diterimanya perbuatan melawan hukum secara materiil juga diperkuat dari pengaruh yang terdapat dalam praktik hukum, seperti: diterimanya penafsiran extensieve, dll.[3]

Simons dalam Bambang Poernomo adalah tergolong sarjana yang tidak dapat menerima pandangan perbuatan melawan hukum secara materiil, menurutnya apabila suatu perbuatan telah masuk ke dalam rumusan delik dan dalam undang-undang tidak ditentukan pengecualiannya, maka hakim harus menjalankan undang-undang, dan supaya apa yang ditetapkan dalam hukum positif oleh pembentuk undang-undang tidak lagi diuji oleh pribadi Hakim. Para pendukungnya adalah Jonkers, Vos, dan Hazewinkel Suringa.[4]

Vos menyatakan dengan tegas berhubung adanya Pasal 1 ayat (1) KUHP penerapannya harus dalam peranan yang negatif, yaitu secara formil memenuhi rumusan delik, akan tetapi secara materiil tidak melawan hukum sehingga perbuatan itu tidak dipidana. Sedangkan menurut Jonkers menyatakan bahwa berhubung dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP bagi suatu perbuatan yang dapat dipidana sedikit-dikitnya disyaratkan perbuatan itu formil melawan hukum dan selanjutnya apakah perbuatan itu materiil juga harus melawan hukum.[5]

Sebagai contoh, seorang dokter yang melakukan abortus karena alasan medis tidak terkena Pasal 348 KUHP, serombongan ekspedisi yang membunuh atas permintaan seorang anggotanya yang mengalami luka-luka parah tanpa pertolongan tidak dikenai Pasal 344 KUHP, dokter hewan yang menyakiti hewan ternak dengan vaccinasi tidak dikenal peraturan Veewet, seorang bapak yang memukul pemuda yang menggoda anak perempuannya tidak dikenai Pasal 352 KUHP, dan semua kejadian itu didasarkan atas asas-asas umum dalam hukum tidak tertulis, sehingga tidak dapat dijatuhkan pidana bagi orang yang melakukan perbuatan seperti contoh-contoh tersebut, karena perbuatan melawan hukum materiil.[6]

Perbuatan melawan hukum yang dinyatakan sebagai elemen delik biasanya disebut dengan perkataan “melawan hukum”, akan tetapi di dalam undang-undang kadangkala dipergunakan perkataan lain yang bersifat implisit seperti dengan tanpa izin, dll. Sebaliknya, di dalam pasal-pasal KUHP yang lain tidak ditentukan dalam rumusan, sehingga tidak dijumpai perkataan melawan hukum.[7]  
_________________________________
1.“Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 116.
2.  Ibid. Hal.: 116-117.
3.  Ibid. Hal.: 117.
4.  Ibid. Hal.: 118.
5.  Ibid. Hal.: 118.
6.  Ibid. Hal.: 118.
7.  Ibid. Hal.: 118-119.

Sabtu, 31 Agustus 2019

Tentang Elemen Melawan Hukum

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Dalam kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Masalah yang Terdapat dalam Elemen Kelakuan, Elemen Akibat, dan Elemen Melawan Hukum’, telah dibahas sekilas mengenai masalah yang terdapat dalam setiap elemen, pada kesempatan ini akan dikhususkan pada elemen melawan hukum.

Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, bahwa susunan elemen delik yang mempunyai peranan penting dan masalahnya juga luas adalah elemen melawan hukum (wederrechtelijke). Elemen melawan hukum ini lebih menonjol daripada elemen objektif yang lain, karena dari definisi yang manapun terhadap delik atau strafbaar feit kedudukan elemen melawan hukum selalu tidak berubah. Sebagaimana telah diuraikan di muka, pengertian strafbaarfeit terdapat pertentangan, di satu pihak ada yang mencakup kesalahan dan di lain pihak ada yang memisahkan kesalahan.[1]

A. Arti Melawan Hukum

Apa yang dimaksud melawan hukum? Elemen melawan hukum mempunyai istilah asing “onrechtmatigheid” atau “wederrechtelijkheid”. Mengenai maksud istilah “wederrechtelijk”, dalam kepustakaan mempunyai beberapa makna, antara lain yaitu melawan hukum (tegen het recht), tanpa hak sendiri (zonder eigen recht), bertentangan dengan hukum pada umumnya (in strijd met het recht in het algemeen), bertentangan dengan hak pribadi seseorang (in strijd met een anders subjective recht), dan lain sebagainya.[2]

Di dalam KUHP ternyata dijumpai beberapa ketentuan mengenai elemen melawan hukum, seperti Pasal 406 mengandung arti “zonder eigen recht”, Pasal 333 mengandung arti “tegen het objective recht”, Pasal 167, 378, 522 mengandung arti “strijdig met het recht”, kadang-kadang sesuatu pasal dapat mempunyai arti lebih dari satu, misalnya Pasal 167 dan 378 tergantung kepada interpretasi setiap kasus.[3]

B. Sifat Melawan Hukum Suatu Perbuatan

Kapan suatu perbuatan dikatakan melawan hukum? Sifat melawan hukumnya suatu perbuatan terdapat dua ukuran, yaitu sifat melawan hukum yang formel dan sifat melawan hukum yang materiel. Dijabarkan sebagai berikut.[4]
  • Sifat Melawan Hukum Formel (formeele wederrechtelijkheidbegrip)
Suatu perbuatan yang dinyatakan melawan hukum apabila persesuaian dengan rumusan delik dan sesuatu pengecualian seperti daya paksa, pembelaan terpaksa itu hanyalah karena ditentukan tertulis dalam undang-undang (Pasal 48, 49 KUHP). Melawan hukum diartikan melawan undang-undang, oleh karena itu pandangan ini disebut sifat melawan hukum formel.
  • Sifat Melawan Hukum Materiel (materiele wederrechtelijkheidbegrip)
Sebaliknya, tidak selamanya perbuatan melawan hukum itu selalu bertentangan dengan peraturan undang-undang, dan suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dapat dikecualikan sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum. Melawan hukum dapat diartikan baik melawan undang-undang maupun hukum di luar undang-undang, oleh karena itu pandangan ini disebut sifat melawan hukum yang materiel.

Vos dalam Bambang Poernomo memberikan penjelasan yang lebih sederhana sebagai berikut. Disebut formeele wederrechtelijkheid sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum positif (tertulis). Sedangkan materiele wederrechtelijkheid adalah perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas umum/norma hukum tidak tertulis.[5] Dengan demikian, dapat dipahami bahwa bertentangan dengan hukum dalam arti formil hanyalah kategori sifat melawan hukum yang terbatas pada konteks tertulis saja, sedangkan bertentangan dengan hukum dalam arti materiil adalah lebih daripada itu, mencakup norma-norma yang hidup dan dianut oleh masyarakat dalam arti luas.
_________________________________
1.  “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 113.
2.  Ibid. Hal.: 114-115.
3.  Ibid. Hal.: 115.
4.  Ibid. Hal.: 115.
5.  Ibid. Hal.: 115.

Basic Requirements for Foreign Direct Investment in Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Suspect Still Underage, Murder Case in ...