Selasa, 10 September 2019

Memahami Perbedaan Nota Kesepahaman (M.o.U) Dengan Perjanjian

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya yang berkaitan dengan praktik bisnis, tidak jarang dijumpai istilah ‘nota kesepahaman’ yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris Memorandum of Understanding atau sering disingkat dengan ‘M.o.U’ dengan Perjanjian atau agreement. Seringkali istilah ini dijumbuhkan, terutama ketika dibawa ke dalam ranah hukum, meskipun demikian kedua istilah ini memang saling kait mengkait dan berdekatan, sedangkan untuk membedakan dan memahami keduanya diperlukan usaha lebih serta ketelitian.

Istilah Nota Kesepahaman (M.o.U)

‘M.o.U’ adalah kepanjangan dari istilah dalam bahasa Inggris yaitu Memorandum of Understanding. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia disebut dengan ‘nota kesepahaman’. Dengan demikian istilah ini terdiri dari dua kata, yaitu: (1). Memorandum, yaitu suatu ringkasan pernyataan secara tertulis yang isinya menjelaskan mengenai syarat sebuah perjanjian atau transaksi, dan (2) Understanding, yaitu suatu pernyataan persetujuan tidak langsung atas perjanjian lainnya yang sifatnya informal atau persyaratan yang longgar.[1]

Beberapa pakar hukum memberikan pendapat sebagai berikut:[2]
  • Erman Radjagukguk: “M.o.U adalah suatu dokumen yang isinya memuat saling pengertian di antara para pihak sebelum perjanjian dibuat. Isi dari Memorandum of Understanding harus dimasuk-kan ke dalam kontrak, sehingga ia mempunyai kekuatan mengikat”.
  • Munir Fuady: “M.o.U adalah perjanjian pendahuluan, dalam arti nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara detail, karena itu, memorandum of understanding berisikan hal-hal yang pokok saja. Adapun mengenai aspek lain-lain dari M.o.U relatif sama dengan perjanjian lainnya”.
Dari kedua pendapat pakar hukum di atas, terdapat beberapa ‘key words’ atau kata kunci yang mengacu pada istilah M.o.U, diantaranya adalah ‘dokumen pra perjanjian’, ‘perjanjian pendahuluan’, ‘dijabarkan dalam perjanjian’, ‘berisikan hal-hal pokok saja’. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah M.o.U atau Nota Kesepahaman ini adalah semacam dokumen tertulis yang merupakan perjanjian pendahuluan adapun isinya adalah berupa hal-hal pokok yang kelak diperjanjikan lebih rinci.

Ketika M.o.U dimaknai sebagai perjanjian pendahuluan, maka di dalam M.o.U biasanya dicantumkan “intention to create legal relation” oleh kedua belah pihak.[3]

Ciri-ciri Nota Kesepahaman (M.o.U)

Adapun ciri-ciri dari Nota Kesepahaman (M.o.U) adalah sebagai berikut:[4]
  1. Umumnya isi M.o.U dibuat secara ringkas, bahkan seringkali hanya dibuat satu halaman saja.
  2. Isi di dalam M.o.U adalah hal-hal yang sifatnya pokok atau umum saja.
  3. M.o.U sifatnya pendahuluan, dimana akan diikuti oleh kesepakatan lain yang isinya lebih detail.
  4. M.o.U jangka memiliki jangka waktu yang cukup singkat, misalnya sebulan hingga satu tahun. Jika tidak ada tindak lanjut dengan perjanjian yang lebih rinci dari kedua belah pihak, maka nota kesepakatan tersebut batal.
  5. Umumnya nota kesepahaman (M.o.U) dibuat dalam bentuk perjanjian di bawah tangan.
  6. M.o.U digunakan sebagai dasar untuk membuat perjanjian untuk kepentingan banyak pihak, misalnya: investor, kreditor, pemegang saham, pemerintah, dan lainnya.
Perlu di pahami, dalam praktik, meskipun M.o.U dikatakan mempunyai salah satu ciri yaitu ‘ringkas’ (Catatan: untuk contoh Nota Kesepahaman (M.o.U) yang ringkas/sederhana dapat dengan mudah diperoleh contohnya di internet), akan tetapi hal ini sangat tergantung dari volume perihal yang nantinya akan diatur, adakalanya ketika isi dari perihal yang akan diatur ini juga banyak, maka M.o.U-nya juga tidak hanya satu halaman saja, namun lebih dari itu. Perhatikan contoh yang dikutip dari situs www.acehkita.com[5], terkait Nota Kesepahaman (M.o.U) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka berikut ini.

Tujuan Nota Kesepahaman (M.o.U)

Pada dasarnya M.o.U yang dibuat oleh para pihak memiliki tujuan tertentu. Menurut Munir Fuady, beberapa tujuan dari M.o.U adalah sebagai berikut:[6]
  • Memudahkan Proses Pembatalan Suatu Kesepakatan. Dalam hal untuk prospek bisnis yang belum jelas benar sehingga masih ada kemungkinan terjadi pembatalan kesepakatan. Dalam hal ini, pembuatan M.o.U karena belum ada kepastian mengenai kesepakatan kerja sama namun kedua belah pihak perlu merasa perlu menindaklanjuti kemungkinan kerjasama tersebut.
  • Sebagai Ikatan yang Sifatnya Sementara. Proses kesepakatan dan penandatanganan kontrak biasanya membutuhkan waktu dan negosiasi yang cukup alot. Maka M.o.U dibuat dan berlaku untuk sementara agar kedua belah pihak memiliki ikatan sebelum penandatanganan kontrak kerjasama.
  • Sebagai Pertimbangan dalam Kesepakatan. Tidak jarang pihak-pihak yang ingin bekerjasama masih ragu dan membutuhkan waktu untuk berpikir mengenai penandatanganan kerjasama yang akan dilakukan. Maka untuk sementara dibuatlah Nota Kesepahaman.
  • Sebagai Gambaran Besar Kesepakatan. Nota kesepahaman dibuat dan ditandatangani oleh pejabat eksekutif suatu perusahaan dimana isinya lebih umum. Sedangkan isi perjanjian yang lebih rinci akan dibuat dan dinegosiasikan oleh staf-staf yang menguasai hal-hal teknis.
Manfaat Nota Kesepahaman (M.o.U)

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Nota Kesepahaman (M.o.U) seyogyanya memiliki manfaat bagi para pihak yang ingin membuat suatu perjanjian. Terdapat dua manfaat dari M.o.U, yaitu:[7]
  1. Manfaat Yuridis. Manfaat yuridis adalah adanya kepastian hukum bagi kedua belah pihak yang membuat kesepakatan. Selain itu, M.o.U dapat berlaku sebagai Undang-Undang bagi setiap pihak yang membuatnya.
  2. Manfaat Ekonomis. Manfaat ekonomisnya adalah adanya penggerakan hak milik sumber daya yang awalnya nilai penggunaannya rendah menjadi lebih tinggi setelah adanya M.o.U.
Definisi Perjanjian & Unsur-unsurnya

Perjanjian adalah salah satu istilah hukum. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum  antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Dengan demikian, terdapat beberapa unsur dari Perjanjian. Pertama adalah unsur adanya perbuatan. Kedua adalah adanya subjek hukum, dalam hal ini bisa satu orang dengan satu orang lainnya, atau lebih. Unsur ketiga adalah timbulnya hubungan hukum berupa perikatan. Unsur terakhir atau keempat adalah adanya hak dan kewajiban para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian.

Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat-syarat sahnya sebuah perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut:

1.    Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.    Suatu hal tertentu;
4.    Suatu sebab yang halal.

Syarat pertama dan kedua dinamakan syarat subjektif, karena berkenaan dengan para subjek yang membuat perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat dinamakan syarat objektif karena berkenaan dengan objek dalam perjanjian.[8]

Syarat Pertama “sepakat mereka yang mengikatkan diri” berarti, para pihak yang membuat perjanjian harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok atau materi yang diperjanjikan, dimana kesepakatan itu harus dicapai dengan tanpa ada paksaan, penipuan atau kekhilafan (Pasal 1321 KUH Perdata). Misalnya, sepakat untuk melakukan jual-beli tanah, harganya, cara pembayarannya, penyelesaian sengketanya, dsb. Syarat Kedua, “kecakapan untuk membuat suatu perikatan” Pasal 1330 KUH Perdata sudah mengatur pihak-pihak mana saja yang boleh atau dianggap cakap untuk membuat perjanjian.[9]

Syarat Ketiga “suatu hal tertentu” maksudnya adalah dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan (objek perikatannnya) harus jelas. Setidaknya jenis barangnya itu harus ada (lihat Pasal 1333 ayat 1 KUH Perdata). Misalnya, jual beli tanah dengan luas 500 M2, terletak di Jl. Merpati No: 15, Jakarta Pusat, yang berbatasan dengan sebelah utara dengan sungai Ciliwung, sebelah selatan dengan Jalan Raya Bungur, sebelah timur dengan sekolah dasar inpres, dan sebelah barat dengan tempat pemakaman umum. Syarat Keempat “suatu sebab yang halal” berarti tidak boleh memperjanjikan sesuatu yang dilarang undang-undang atau yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai kesopanan ataupun ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata). Misalnya melakukan perjanjian jual beli Narkoba, atau perjanjian jual beli orang/manusia, dsb. Perjanjian semacam ini adalah dilarang dan tidak sah.[10]

Kekuatan Hukum Perjanjian

Mengenai kekuatan hukum perjanjian, diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang–undang bagi mereka yang membuatnya”.

Sudah cukup jelas bahwa terkait dengan perjanjian-perjanjian yang dibuat secara sah, maka berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian yang telah dibuat.

Perbedaan Nota Kesepahaman (M.o.U) dengan Perjanjian

Setelah mempelajari kedua hal di atas, yaitu Nota Kesepahaman (M.o.U) dengan Perjanjian (agreement), maka menurut Penulis, terdapat setidaknya tiga perbedaan penting. Pertama adalah perbedaan Istilah. Apakah di dalam KUH Perdata dikenal istilah Nota Kesepahaman (M.o.U)? Jawabannya adalah KUH Perdata tidak mengenal istilah Nota Kesepahaman atau M.o.U., istilah ini menurut hemat penulis muncul dalam konteks keseharian, khususnya banyak dipergunakan dalam bidang bisnis. Oleh karena itu perlu ditegaskan bahwa secara hukum tidak dikenal istilah Nota Kesepahaman (M.o.U), yang dikenal adalah istilah Perjanjian. KUH Perdata tidak mengenal istilah Pra Perjanjian atau Perjanjian Pendahuluan.

Kedua adalah terkait isi. Telah diuraikan di atas bahwa Nota Kesepahaman (M.o.U) mempunyai muatan perjanjian yang ringkas, memuat hal-hal yang sifatnya umum atau pokok saja, sifatnya pendahuluan, dimana akan diikuti oleh kesepakatan lain yang isinya lebih detail, jangka waktunya pendek, dll. Sedangkan Perjanjian, sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, hanya diatur mengenai syarat-syarat terpenuhinya perjanjian yang sah. Apakah bisa sebuah dokumen dinamakan Nota Kesepahaman (M.o.U) sedangkan isinya ternyata berupa perjanjian sederhana yang sah secara hukum? Jawabannya adalah sepanjang memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka dokumen yang dinamakan Nota Kesepahaman (M.o.U) dimaksud sah dan mengikat para pihak secara hukum.

Ketiga adalah terkait kekuatan hukumnya. Sebagaimana diuraikan di atas, dikarenakan Nota Kesepahaman ini adalah bukan istilah hukum, maka tidak diatur dalam KUH Perdata mengenai kekuatan hukumnya. Sedangkan sebuah perjanjian, sebagaimana diterangkan sebelumnya, berlaku sebagai Undang-undang bagi para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian yang telah dibuatnya. Akan tetapi, perlu dicermati bahwa sebuah dokumen yang dinamakan Nota Kesepahaman (M.o.U) pun yang isinya ternyata berupa perjanjian sederhana yang sah secara hukum adalah mengikat para pihak yang membuatnya layaknya Undang-undang.

Semoga bermanfaat.

___________________________________
1. "Arti MoU (Memorandum of Understanding): Pengertian, Tujuan, Manfaat, dan Jenisnya", www.maxmanroe.com, Diakses pada 10 September 2019, https://www.maxmanroe.com/vid/bisnis/arti-mou.html.
2.  Ibid.
3.  Ibid.
4.  Ibid.
5. "Naskah Perjanjian Damai RI dan GAM", www.acehkita.com, Tanggal 23 November 2011, Diakses tanggal 10 September 2019, http://www.acehkita.com/naskah-perjanjian-damai-ri-dan-gam/
6.  www.maxmanroe.com., Op.Cit.
7.  www.maxmanroe.com., Op.Cit.
8.  Syarat Sahnya Perjanjian", Konsultanhukum.web.id, Diakses tanggal 10 September 2019, https://konsultanhukum.web.id/syarat-sahnya-perjanjian/
9.  Ibid.
10.  Ibid.

Senin, 09 September 2019

Istilah Dan Perbuatan Pidana

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Telah kita lalui kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Tempus Delicti dan Locus Delicti, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Istilah dan Perbuatan Pidana.

Perbuatan pidana merupkan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Perbuatan pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkret dalam lapangan hukum pidana, sehingga perbuatan pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.[1]

Adakalanya istilah dalam pengertian hukum telah menjadi istilah dalam kehidupan masyarakat, atau sebaliknya istilah dalam kehidupan bermasyarakat yang dipergunakan sehari-hari dapat menjadi istilah dalam pengertian hukum, misalnya istilah percobaan, sengaja, dan lain sebagainya. Sebelum menjelaskan arti pentingnya istilah perbuatan pidana sebagai pengertian hukum, terlebih dahulu dibentangkan tentang pemakaian istilah perbuatan pidana yang beraneka ragam. Singkat kata, di dalam ilmu pengetahuan hukum secara universal dikenal dengan istilah “delik”. Demikian juga, para pengarang Belanda pada umumnya mempergunakan istilah yang sama “strafbaar feit”.[2]

Maksud diadakannya istilah perbuatan pidana, peristiwa pidana, tindak pidana, dan sebagainya itu adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing strafbaar feit. Namun belum jelas apakah di samping mengalihkan bahasa dari istilah strafbaar feit itu, dimaksudkan untuk mengalihkan makna dan pengertiannya juga. Oleh karena sebagian besar karangan ahli hukum belum dengan jelas dan terperinci menerangkan pengertian istilah, ataukah sekedar mengalihkan bahasanya. Hal ini yang merupakan pokok pangkal perbedaan pandangan.[3]

Di pandang dari sudut pengalihan pengertian inilah yang banyak menimbulkan persoalan, dimana masing-masing pihak seolah-olah mempunyai jarak perbedaan seperti antara bumi dan langit. Apakah terjadinya perbedaan istilah itu membawa akibat pula berbedanya pengertian hukum yang terkandung di dalamnya. Memang demikianlah pendapat pada umumnya, namun tidak mutlak bahwa istilah yang berbeda selamanya mesti berbeda pengertian, misalnya antara straf dan maatregel adalah berbeda, sedangkan antara beveiligingsmaatregel dan maatregel adalah sama, meskipun kesemuanya itu menyangkut sanksi hukum pidana.[4]

Selain itu, di tengah-tengah masyarakat juga dikenal istilah “kejahatan” yang menunjukan pengertian melanggar norma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui putusan hakim agar dijatuhi pidana, dan masih ada lagi istilah “kejahatan” menurut arti kriminologi, yang terakhir ini pengertiannya terlampau luas karena mencakup semua perbuatan tercela atau tidak susila. Kejahatan dalam arti hukum yang dipakai sehari-hari oleh masyarakat itu tidak lebih dari arti perbuatan pidana.[5]
_________________________________
1.  “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 124.
2.  Ibid. Hal.: 124-125.
3.  Ibid. Hal.: 125.
4.  Ibid. Hal.: 125.
5.  Ibid. Hal.: 125.

Kamis, 05 September 2019

Tempus Delicti Dan Locus Delicti

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah kita lalui kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Pertumbuhan dan Batasan Sifat Melawan Hukum Materiil’, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai tempat dan waktu terjadinya delik.

Di mana tempatnya dan kapan terjadinya delik itu dilakukan, dalam kenyataan tidak begitu mudah untuk menetapkan, mengingat undang-undang tidak memberikan ketentuan, yang berarti diserahkan kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan keputusan hakim dalam yurisprudensi. Sebagaimana lazimnya apabila tidak ada ketentuan yang tegas, hal itu akan menimbulkan berbagai pandangan di dalam doktrin. Dalam kepustakaan mengenai tempat dan waktu terjadinya delik dinamakan locus delicti dan tempus delicti.[1]

Ajaran tentang locus delicti dan tempus delicti, akan diselesaikan dengan cara yang sama, namun cara itu dapat berbeda karena berlainan tolak pangkal berpikirnya. Van Bemmelen memulai dengan sudut pandangan bahwa delik itu pada dasarnya terdiri atas kelakuan (gedraging), seperti halnya mengambil dalam kejahatan pencurian atau merampas nyawa dalam kejahatan pembunuhan, akan tetapi kelakuan itu kadang-kadang dibantu dengan sebuah alat (instrumen) agar orang yang berbuat itu dapat bekerja dengan baik, dan kadang-kadang juga kelakuan itu mempunyai akibat (gevolgen) yang terjadi di lain tempat (atau waktu) daripada tempat atau waktu kelakuan. Pada umumnya locus dan tempus delicti berpedoman dimana tempat dan waktu kelakuan secara materiele (materiele gedraging) terjadi sesuai dengan rumusan delik.[2]

Pada dasarnya locus dan tempus delicti berpedoman menurut kelakuan yang secara materiil terjadi, akan tetapi adakalanya terjadi keadaan yang menyertai untuk diperluas dengan “alat/instrumen” dan atau “akibat/gevolgen”, sehingga dapat disimpulkan hanya diakui tiga ajaran, yaitu:
  1. Yang mendasarkan di mana perbuatan terjadi yang dilakukan oleh seseorang;
  2. Yang mendasarkan di mana alat yang dipakai untuk melakukan perbuatan;
  3. Yang mendasarkan atas di mana akibat yang langsung menimbulkan kejadian dan di mana akibat itu ditentukan atau telah selesai oleh delik.

Namun dari ketiga ajaran itu, dapat digabungkan menjadi bersifat kompromi, yang dinamakan “theorie van de meervoudige plaats en tijds”.[3]

Kegunaan teori penentuan locus delicti dan tempus delicti adalah untuk memecahkan persoalan tentang berlakunya peraturan hukum pidana atau kewenangan instansi untuk menuntut dan mengadili. Locus delicti mempunyai arti penting bagi berlakunya KUHP berhubung dengan Pasal 2-8, dan kekuasaan instansi kejaksaan untuk menuntut maupun pengadilan yang mengadili. Tempus delicti mempunyai arti penting bagi lex temporis delicti maupun hukum transitor, dan mengenai keadaan jiwa atau umur dari terdakwa, serta berlakunya tenggang daluwarsa.[4]
_________________________________
1.“Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 121.
2.  Ibid. Hal.: 122.
3.  Ibid. Hal.: 122.
4.  Ibid. Hal.: 123.

Senin, 02 September 2019

Pertumbuhan dan Batasan Sifat Melawan Hukum Materiil

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Dalam kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Tentang Elemen Melawan Hukum’, telah dibahas sekilas perihal melawan hukum, pada kesempatan ini akan diperluas dengan kajian mengenai pertumbuhan dan batasan sifat melawan hukum materiil.

Pertumbuhan Sifat Melawan Hukum Materiil

Pengaruh yang datangnya dari luar yang berasal dari perkembangan ilmu kemasyarakatan, politik dan lain sebagainya memberikan corak aneka ragam terhadap sifat melawan hukum yang materiil. Diantaranya, sifat melawan hukum materiil diartikan bertentangan dengan norma kebudayaan, bertentangan dengan kewajiban orang, secara negatif diartikan sebagai orang berbuat tidak melawan hukum apabila orang dengan daya upaya betul-betul untuk tujuan yang berguna, diartikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan dasar pikiran faham nasional sosialis (Jerman pada masa pemerintahan Hitler), diartikan sebagai perbuatan yang membahayakan masyarakat (Uni Soviet).[1]

Dengan demikian terdapat perluasan artian daripada perbuatan melawan hukum materiil sedemikian rupa, sehingga memerlukan kewaspadaan untuk mengikuti ajaran sifat melawan hukum yang materiil itu, dan dengan sendirinya harus disesuaikan dengan dasar bangsa dan negara. Berpangkal dari batasan tersebut, diperlukan pemisahan yang membedakan antara pandangan perbuatan melawan hukum materiil terbatas murni dalam norma-norma hukum, dan pandangan melawan hukum materiil yang luas berdasarkan sendi-sendi budaya yang dihukumkan.[2]

Batasan Sifat Melawan Hukum Materiil

Kiranya tidak ada alasan untuk menolak diterimanya pandangan perbuatan melawan hukum materiil dalam pengertian terbatas sebagai “perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan undang-undang, asas-asas umum, dan norma-norma hukum tidak tertulis”. Hal mana pernah dianut di dalam putusan pengadilan HR 20 Februari 1933 NJ 1933 W. No.: 12600. Selain itu, diterimanya perbuatan melawan hukum secara materiil juga diperkuat dari pengaruh yang terdapat dalam praktik hukum, seperti: diterimanya penafsiran extensieve, dll.[3]

Simons dalam Bambang Poernomo adalah tergolong sarjana yang tidak dapat menerima pandangan perbuatan melawan hukum secara materiil, menurutnya apabila suatu perbuatan telah masuk ke dalam rumusan delik dan dalam undang-undang tidak ditentukan pengecualiannya, maka hakim harus menjalankan undang-undang, dan supaya apa yang ditetapkan dalam hukum positif oleh pembentuk undang-undang tidak lagi diuji oleh pribadi Hakim. Para pendukungnya adalah Jonkers, Vos, dan Hazewinkel Suringa.[4]

Vos menyatakan dengan tegas berhubung adanya Pasal 1 ayat (1) KUHP penerapannya harus dalam peranan yang negatif, yaitu secara formil memenuhi rumusan delik, akan tetapi secara materiil tidak melawan hukum sehingga perbuatan itu tidak dipidana. Sedangkan menurut Jonkers menyatakan bahwa berhubung dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP bagi suatu perbuatan yang dapat dipidana sedikit-dikitnya disyaratkan perbuatan itu formil melawan hukum dan selanjutnya apakah perbuatan itu materiil juga harus melawan hukum.[5]

Sebagai contoh, seorang dokter yang melakukan abortus karena alasan medis tidak terkena Pasal 348 KUHP, serombongan ekspedisi yang membunuh atas permintaan seorang anggotanya yang mengalami luka-luka parah tanpa pertolongan tidak dikenai Pasal 344 KUHP, dokter hewan yang menyakiti hewan ternak dengan vaccinasi tidak dikenal peraturan Veewet, seorang bapak yang memukul pemuda yang menggoda anak perempuannya tidak dikenai Pasal 352 KUHP, dan semua kejadian itu didasarkan atas asas-asas umum dalam hukum tidak tertulis, sehingga tidak dapat dijatuhkan pidana bagi orang yang melakukan perbuatan seperti contoh-contoh tersebut, karena perbuatan melawan hukum materiil.[6]

Perbuatan melawan hukum yang dinyatakan sebagai elemen delik biasanya disebut dengan perkataan “melawan hukum”, akan tetapi di dalam undang-undang kadangkala dipergunakan perkataan lain yang bersifat implisit seperti dengan tanpa izin, dll. Sebaliknya, di dalam pasal-pasal KUHP yang lain tidak ditentukan dalam rumusan, sehingga tidak dijumpai perkataan melawan hukum.[7]  
_________________________________
1.“Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 116.
2.  Ibid. Hal.: 116-117.
3.  Ibid. Hal.: 117.
4.  Ibid. Hal.: 118.
5.  Ibid. Hal.: 118.
6.  Ibid. Hal.: 118.
7.  Ibid. Hal.: 118-119.

Sabtu, 31 Agustus 2019

Tentang Elemen Melawan Hukum

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Dalam kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Masalah yang Terdapat dalam Elemen Kelakuan, Elemen Akibat, dan Elemen Melawan Hukum’, telah dibahas sekilas mengenai masalah yang terdapat dalam setiap elemen, pada kesempatan ini akan dikhususkan pada elemen melawan hukum.

Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, bahwa susunan elemen delik yang mempunyai peranan penting dan masalahnya juga luas adalah elemen melawan hukum (wederrechtelijke). Elemen melawan hukum ini lebih menonjol daripada elemen objektif yang lain, karena dari definisi yang manapun terhadap delik atau strafbaar feit kedudukan elemen melawan hukum selalu tidak berubah. Sebagaimana telah diuraikan di muka, pengertian strafbaarfeit terdapat pertentangan, di satu pihak ada yang mencakup kesalahan dan di lain pihak ada yang memisahkan kesalahan.[1]

A. Arti Melawan Hukum

Apa yang dimaksud melawan hukum? Elemen melawan hukum mempunyai istilah asing “onrechtmatigheid” atau “wederrechtelijkheid”. Mengenai maksud istilah “wederrechtelijk”, dalam kepustakaan mempunyai beberapa makna, antara lain yaitu melawan hukum (tegen het recht), tanpa hak sendiri (zonder eigen recht), bertentangan dengan hukum pada umumnya (in strijd met het recht in het algemeen), bertentangan dengan hak pribadi seseorang (in strijd met een anders subjective recht), dan lain sebagainya.[2]

Di dalam KUHP ternyata dijumpai beberapa ketentuan mengenai elemen melawan hukum, seperti Pasal 406 mengandung arti “zonder eigen recht”, Pasal 333 mengandung arti “tegen het objective recht”, Pasal 167, 378, 522 mengandung arti “strijdig met het recht”, kadang-kadang sesuatu pasal dapat mempunyai arti lebih dari satu, misalnya Pasal 167 dan 378 tergantung kepada interpretasi setiap kasus.[3]

B. Sifat Melawan Hukum Suatu Perbuatan

Kapan suatu perbuatan dikatakan melawan hukum? Sifat melawan hukumnya suatu perbuatan terdapat dua ukuran, yaitu sifat melawan hukum yang formel dan sifat melawan hukum yang materiel. Dijabarkan sebagai berikut.[4]
  • Sifat Melawan Hukum Formel (formeele wederrechtelijkheidbegrip)
Suatu perbuatan yang dinyatakan melawan hukum apabila persesuaian dengan rumusan delik dan sesuatu pengecualian seperti daya paksa, pembelaan terpaksa itu hanyalah karena ditentukan tertulis dalam undang-undang (Pasal 48, 49 KUHP). Melawan hukum diartikan melawan undang-undang, oleh karena itu pandangan ini disebut sifat melawan hukum formel.
  • Sifat Melawan Hukum Materiel (materiele wederrechtelijkheidbegrip)
Sebaliknya, tidak selamanya perbuatan melawan hukum itu selalu bertentangan dengan peraturan undang-undang, dan suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dapat dikecualikan sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum. Melawan hukum dapat diartikan baik melawan undang-undang maupun hukum di luar undang-undang, oleh karena itu pandangan ini disebut sifat melawan hukum yang materiel.

Vos dalam Bambang Poernomo memberikan penjelasan yang lebih sederhana sebagai berikut. Disebut formeele wederrechtelijkheid sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum positif (tertulis). Sedangkan materiele wederrechtelijkheid adalah perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas umum/norma hukum tidak tertulis.[5] Dengan demikian, dapat dipahami bahwa bertentangan dengan hukum dalam arti formil hanyalah kategori sifat melawan hukum yang terbatas pada konteks tertulis saja, sedangkan bertentangan dengan hukum dalam arti materiil adalah lebih daripada itu, mencakup norma-norma yang hidup dan dianut oleh masyarakat dalam arti luas.
_________________________________
1.  “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 113.
2.  Ibid. Hal.: 114-115.
3.  Ibid. Hal.: 115.
4.  Ibid. Hal.: 115.
5.  Ibid. Hal.: 115.

Rabu, 28 Agustus 2019

Problem Kausalitas dalam Perumusan Delik

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Dalam kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Masalah yang Terdapat dalam Elemen Kelakuan, Elemen Akibat, dan Elemen Melawan Hukum’, telah dibahas sekilas mengenai problem kausalitas, pada kesempatan ini akan diteruskan dan dilakukan pembahasan lebih lanjut.


Sebagaimana dipahami sebelumnya, di dalam merumuskan delik sebagai strafbaarfeit terdapat elemen akibat dari perbuatan, artinya suatu hubungan antara sebab dan akibat yang dapat menimbulkan kejadian yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Penentuan hubungan kausalitas yang beraneka ragam dapat dikelompokan menjadi beberapa teori dasar pertumbuhan yurisprudensi:[1]
  1. Teori Conditio Sine Qua Non;
  2. Kelompok teori yang mengindividualisasi;
  3. Kelompok teori yang menggeneralisasi;
  4. Teori Relevansi;
  5. Yurisprudensi mengenai penentuan kasusalitas.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, maka selanjutnya akan dibahas satu per satu sebagaimana berikut ini.

1. Teori Condition Sine Qua Non

Teori ini dikemukakan oleh Von Buri, seorang berkebangsaan Jerman. Menurut teori ini, semua syarat yang menyebabkan akibat dipandang sebagai musabab. Semua syarat dipandang sebagai musabab untuk terjadinya akibat, sehingga tidak dibedakan mana syarat yang dapat menjadi musabab dan mana yang hanya merupakan syarat belaka, maka ajaran teori ini (menjadi) terlalu luas.[2]

Perbuatan menempatkan pelayan tidur di dapur belakang kemudian ternyata digigit serangga berbisa dan meninggal, maka perbuatan menempatkan pelayan itu di dapur dianggap kausal kematian. Teori ini menyamakan antara syarat dan musabab, pada hakikatnya dapat menjadi dasar dari semua ajaran kausal dengan sedikit perbedaan pola berpikir. Di satu pihak mencari syarat mana yang terpenting untuk terjadinya akibat dan di lain pihak menghargai sama tiap-tiap syarat yang secara umum dapat menimbulkan akibat.[3]

2. Kelompok Teori yang Mengindividualisasi

Kelompok teori yang mengindividualisasi (individualiseerende theorien) menentukan syarat mana menurut kenyataan, dengan pertimbangan post factum setelah peristiwa terjadi, syarat mana yang mempunyai pengaruh terbesar untuk terjadinya akibat.[4]

Teori ini dapat dirangkum sebagai berikut:[5]
  • Teori “meist wirksame Bedigung” dari K. Birkmeyer, mengajarkan tentang faktor yang paling aktif dan elektif. Teori ini timbul kesulitan apabila ada dua menarik kereta, kuda manakah yang paling kuat menarik kereta yang bergerak itu.
  • Teori “Gleichgewicht” atau “Uebergewicht”, menyatakan bahwa musabab adalah syarat yang mendorong ke arah timbulnya akibat (positieve) jika dibandingkan dengan syarat yang mencegah (negatieve), atau dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa syarat adalah musabab jika syarat positif itu menentukan di atas syarat negatif.
  • Teori “die Art des Werdens” dari Kohler, mengajarkan dengan membandingkan syarat manakah yang menurut sifatnya dapan menjadi musabab yang menimbulkan akibat.

3. Kelompok Teori yang Menggeneralisasi

Kelompok teori yang menggeneralisasi (generaliseerende theorieen) menghargai pelbagai faktor, yang dapat ditujukan sebagai syarat untuk terjadinya akibat yang dipertimbangkan secara abstrak menurut sifat umum, dengan pertimbangan secara ante factum yang mengambil pendirian pada saat sebelum timbulnya akibat.[6]

Teori ini dapat dirangkum sebagai berikut:[7]
  • Teori “adequate” dari von Kries, mengajarkan teori tentang musabab, adalah sebagai serentetan syarat yang pada umumnya, menurut jalannya kejadian yang normal, dapat menimbulkan akibat. Yang dimaksud normal menurut keadaan sekitar terjadinya akibat dimana terdakwa mengetahui atau seharusnya mengetahui.
  • Teori “der adequate Verursachung vom Standpunkte objectivnachtraglicher Prognose” dari Rumelin, mengajarkan teori adequate atas peramalan objektif dengan mengingat keadaan-keadaan sesudah terjadi akibat.
  • Teori “adequate” dari Traeger, mengajarkan teori seimbang, dalam menentukan musabab harus dicari dari syarat yang manakah yang seimbang dengan akibat yang timbul.

4. Teori Relevansi

Teori “Relevantie” dari Mezger dalam karangannya tentang “Strafrecht” tahun 1931, mengajarkan bahwa dalam menentukan hubungan sebab-akibat tidak mengadakan perbedaan antara musabab dan syarat, melainkan dimulai dengan menafsirkan rumusan delik yang memuat akibat yang dilarang itu dicoba menemukan kelakuan yang manakah kiranya yang dimaksud pada waktu undang-undang itu dibuat. Jadi pemilihan dari syarat-syarat yang relevan itu didasarkan apa yang dirumuskan dalam undang-undang.[8]

Penentuan hubungan kausal antara kelakuan dan akibat sebagaimana disebutkan di atas, pada umumnya diterapkan terhadap jenis delik yang dirumuskan commissie delicten yang meliputi materiele delicten, geqwalificeerde delicten, dan formeele delicten.[9]

5. Yurisprudensi mengenai penentuan kausalitas

Yurisprudensi mengenai kausalitas berubah-ubah mengikuti ajaran yang berkembang, hal ini ternyata dalam putusan pengadilan dari negeri Belanda dan Hindia Belanda dahulu.[10]

Sebelum tahun 1911 dengan arrest HR 7 Juni 1911 W. 9209 memutuskan bahwa oleh karena undang-undang tidak menentukan tentang ajaran sebab akibat, maka menyerahkan kepada hakim dengan kebijaksanaannya untuk memilih ajaran kausalitas.[11]

Pada tahun 1929 dengan arrest HR 8 April 1920 W. 12004 telah memutuskan perkara dengan ajaran conditio sine qua non dari Von Buri.[12]

Kemudian dalam tahun 1933 dengan arrest HR 30 Oktober 1933 W. 12683 NJ telah memberikan putusan perkara dengan mengikuti ajaran adequate yang subjektif dari V. Kries. Dan ada pula putusan yang mengikuti ajaran adequate yang objektif dari Rumelin dalam putusan HR 11 April 1938 NJ 1938 No. 1020 dan HR 24 Januari 1950 NJ 1950 No. 293.[13]
_________________________________
1. “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 107-108.
2.  Ibid. Hal.: 109.
3.  Ibid. Hal.: 109.
4.  Ibid. Hal.: 109-110.
5.  Ibid. Hal.: 110.
6.  Ibid. Hal.: 110.
7.  Ibid. Hal.: 110.
8.  Ibid. Hal.: 111.
9.  Ibid. Hal.: 112.
10.        Ibid. Hal.: 112.
11.        Ibid. Hal.: 112.
12.        Ibid. Hal.: 112-113.
13.        Ibid. Hal.: 113.

Senin, 26 Agustus 2019

Masalah yang Terdapat dalam Elemen Kelakuan, Elemen Akibat, dan Elemen Melawan Hukum

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah kita lewati kuliah sebelumnya berjudul: ‘Elemen-elemen Delik’, dan selanjutnya dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai masalah-masalah yang terdapat di dalam elemen kelakuan, elemen akibat, dan elemen melawan hukum.

Menurut pandangan yang merumuskan delik sebagai strafbaarfeit dalam arti definisi pendek/hukum positif, maka elemen-elemennya cukup mengambil elemen yang objektif saja, yaitu:[1]
  1. Elemen kelakuan (doen of nalaten);
  2. Elemen akibat dari perbuatan, menurut rumusan delik;
  3. Elemen objektif yang menyertai keadaan delik, yang bersifat kualitas atau yang memberatkan atau meringankan;
  4. Elemen melawan hukum (wederrechtelijkeid).

Akan tetapi pada bagian selanjutnya, yang akan dibahas hanyalah tiga, yaitu elemen kelakuan, elemen akibat dari perbuatan, dan elemen melawan hukum.

A. Elemen Kelakuan

Elemen kelakuan yang dirumuskan dalam delik bentuknya berupa kelakuan dengan berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang seharusnya dilakukan. Di dalam hukum pidana sering disebut dengan kelakuan positif (doen) dan kelakuan negatif (nalaten).[2]

Menurut Vos dalam Bambang Poernomo, pertama menyebutkan suatu pengertian dari kelakuan sebagai gerakan otot yang dikehendaki, pengertian ini berarti tidak dimasukkan terhadap kelakuan negatif, sehingga kurang lengkap. Kedua, pengertian kelakuan sebagai suatu kejadian yang ditimbulkan oleh orang, yang nampak ke luar, dan yang ditujukan kepada suatu tujuan yang menjadi objek norma yang berlaku, pengertian inipun tidak memuaskan. Ketiga, pengertian kelakuan sebagai sikap jasmani yang disadari, tidak termasuk reflek. Pendapat inilah yang disetujui oleh Prof. Moeljatno, S.H., karena dapat mencakup kelakuan positif dan negatif.[3]

B. Elemen Akibat

Elemen akibat dari perbuatan, artinya suatu hubungan antara sebab dan akibat yang dapat menimbulkan kejadian yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Penentuan hubungan antara sebab dan akibat itu, di dalam undang-undang harus ditentukan apakah akibat yang terjadi yang dilarang oleh undang-undang itu disebabkan oleh kelakuan orang yang berbuat, atau dengan perkataan lain apakah disebabkan oleh kelakuan orang itu lalu timbul akibat yang dilarang oleh undang-undang, sehingga harus terbukti bahwa akibat itu disebabkan kelakuan yang bersangkutan atau kelakuan itu menyebabkan akibat yang bersangkutan.[4]

Penentuan hubungan kausalitas yang beraneka ragam dapat dikelompokan menjadi beberapa teori dasar pertumbuhan yurisprudensi:[5]
  1. Teori Conditio Sine Qua Non;
  2. Kelompok teori yang mengindividualisasi;
  3. Kelompok teori yang menggeneralisasi;
  4. Teori Relevansi;
  5. Yurisprudensi mengenai penentuan kasusalitas.

C. Elemen Melawan Hukum

Susunan elemen delik yang mempunyai peranan penting dan masalahnya juga luas adalah elemen melawan hukum (wederrechtelijke). Elemen melawan hukum ini lebih menonjol daripada elemen objektif yang lain, karena dari definisi yang manapun terhadap delik atau strafbaar feit kedudukan elemen melawan hukum selalu tidak berubah. Sebagaimana telah diuraikan di muka, pengertian strafbaarfeit terdapat pertentangan, di satu pihak ada yang mencakup kesalahan dan di lain pihak ada yang memisahkan kesalahan.[6]
_________________________________
1.  “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 106.
2.  Ibid. Hal.: 106.
3.  Ibid. Hal.: 106.
4.  Ibid. Hal.: 107-108.
5.  Ibid. Hal.: 108.
6.  Ibid. Hal.: 113.

Minggu, 18 Agustus 2019

Rehabilitasi Sebagai Hak Penyalahguna Narkotika


(istimewa)

Oleh:
Abdul Ghofur, S.H.
(Divisi Hukum dan Hak Asasi Manusi (HAM) Generasi Anti Narkotika Nasional (GANN) Kota Tangerang.)

Berdasarkan ketentuan umum Pasal 1 angka 1 Undang Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, yang dimaksud narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun emisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapatm enimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika).

Sumber Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan, negara kita sudah masuk ke dalam kondisi 'darurat narkotika' sejak 1971 sampai dengan saat ini oleh karena penyalahgunaan narkotika dengan segala macam jenis dan modusnya.

Semestinya, narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan, pengembangan ilmu pengatahuan dan teknologi. Kata penyalahgunaan mempunyai arti proses, cara, perbuatan menyalahgunakan, penyelewengan, sedangkan penyalah gunan adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Jadi, dari dua pengertian ini dapat disimpulkan bahwa penyalahgunaan narkotika adalah penggunaan narkotika yang bertujuan bukan untuk kepentingan kesehatan, pengembangan pengetahuan dan teknologi serta dilakukan dengan tanpa hak dan melawan hukum.

Umumnya, masyarakat sudah mengetahui dampak negatif penyalahgunaan narkotika. Selain akibat hukum yang berujung pada hukuman penjara bahkan hukuman mati, penyalahgunaan narkotika juga menimbulkan rasa ketergantungan dengan narkotika baik secara fisik maupun psikis.

Ketergantungan narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus dengan takaran (ukuran) yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama. Apabila penggunaannya dikurangi atau justru dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.

Dalam rangka pengendalian dan menekan tingginya angka penyalahgunaan narkotika berserta dampaknya, maka pemerintah mewajibkan pecandu dan korban penyahguna narkotika menjalani rehabilitasi. Dengan kata lain, rehabilitasi adalah hak bagi pecandu dan koban penyahgunaan narkotika yang menjadi tersangka atau terdakwa yang sedang dalam proses penyidikan, penuntutan ataupun persidangan di pengadilan.

Bentuk rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika dibagi menjadi dua.

Pertama, rehabilitasi medis, yaitu suatu proses pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Kedua, rehabilitasi sosial, yaitu suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalah kehidupan masyarakat.

Rehabilitasi secara medis maupun sosial baru dapat dilakukan setelah mendapatkan asesmen dari Tim Asesmen Terpadu. Tim Asesmen Terpadu (TAT) adalah tim yang terdiri dari tim dokter dan tim hukum yang ditetapkan oleh pimpinan satuan kerja setempat berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Nasional Provinsi dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota.

Berdasarkan hasil rekomendasi dari Tim Asesmen Terpadu itulah rehabilitasi di lembaga rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika dapat diselenggarakan semestinya.

Hak rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial di lembaga rehabilasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika diklasifikasikan menjadi empat. Pertama, tersangka penyalahgunaan narkotika yang ditangkap atau tertangkap tangan tanpa barang bukti tapi terbukti positiif menggunakan narkotika. Kedua, tersangka penyalahgunaan narkotika yang ditangkap atau tertangkap tangan dan terdapat barang bukti dengan jumlah tertentu serta terbukti positiif menggunakan narkotika. Ketiga, Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang tanpa hak dan melawan hukum yang ditangkap atau tertangkap tangan dengan barang bukti melebihi dari jumlah tertentu dan positif memakai Narkotika; Keempat, tersangka penyalahgunaan narkotika diduga sebagai pengedar.

Batas jumlah tertentu bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika pada klasifikasi kedua di atas ditetapkan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 03 Tahun 2011 dan SEMA Nomor 04 Tahun 2010 sebagai berikut: Kelompok methamphetamine (sabu) seberat 1 (satu) gram. Kelompok MDMA (ekstasi) seberat 24 (dua puluh empat) gram, sama dengan 8 (delapan) butir. Kelompok heroin seberat 1,8 (satu koma delapan) gram. Kelompok kokain seberat 1,8 (satu koma delapan) gram. Kelompok ganja seberat 5 (lima) gram. Kelompok koka seberat 5 (lima) gram. Meskalin seberat 5 (lima) gram.

Kelompok psilosybin sebanyak 3 (tiga) gram; Kelompok LSD (dlysergic acid diethylamide seberat 2 (dua) gram; Kelompok PCP (phecyclidine) seberat 3 (tiga) gram; Kelompok fentanyl seberat 1 (satu) gram; Kelompok metadon seberat 0,5 (nol koma lima) gram; Kelompok morfin seberat 1,8 (satu koma delapan) gram; Kelompok petidin seberat 0,96 (nol koma sembilan puluh enam) gram; Kelompok kodein seberat 72 (tujuh puluh dua) gram; Kelompok bufrenorfin seberat 32 (tiga puluh dua) milligram. Dan untuk barang bukti melebihi jumlah tertentu sebagaimana pada klasifikasi ketiga di atas adalah melebihi jumlah yang telah ditentukan oleh SEMA Nomor: 04 Tahun 2010 ini.

Bagi pecandu, korban dan penyalahgunaan narkotika yang ditangkap atau tertangkap tangan tanpa barang bukti tapi terbukti positiif menggunakan narkotika berhak ditempatkan di tempat rehabilitas milik pemerintah atau pun swasta yang telah ditetapkan sebagai tempat rehabilitasi narkotika. Namun, bagi pecandu, pengedar dan penyalahgunaan narkotika yang ditangkap atau tertangkap tangan dan terdapat barang bukti yang melebihi jumlah sebagaimana diatur dalam SEMA Nomor 04 Tahun 2010 berhak mendapatakan rehabilitasi di tempat rehabilitasi yang ada di dalam lapas, rutan atau cabang rutan.

Dalam penempatan pecandu dan penyalahguna narkotika ke lembaga rehabilitasi milik pemerintah, swasta, maupun lembaga rehabilitasi yang ada di dalam lapas, rutan atau cabang rutan, penyidik atau penuntut umum harus menyesuaikan dengan hasil tes urine, darah, rambut dan/atau DNA, dan membuatkan berita acara pemeriksaan hasil laboratorium, berita acara pemeriksaan oleh penyidik dan telah dinyatakan dengan rekomendasi hasil asesmen dari Tim Asesmen Terpadu.

Rangkaian proses permohonan rehabilitasi dimulai dari saat penangkapan oleh Penyidik Polri dan/atau Penyidik BNN dengan mengajukan permohonan asesmen. Asesmen adalah kegiatan yang meliputi wawancara, tentang riwayat kesehatan, riwayat penggunaan Narkotika, riwayat pengobatan dan perawatan, riwayat psikiatris, serta riwayat keluarga dan sosial tersangka dan/atau terdakwa, observasi atas perilaku tersangka dan pemeriksaan fisik dan psikis. Pada tahap penyidikan, asesmen diajukan oleh penyidik, dan pada saat proses persidangan, asesmen diajukan oleh jaksa penuntut umum. Penyidik atau penuntut umum mengajukan asesmen kepada Tim Asesmen Terpadu secara tertulis selambat-lambatnya 1 x 24 (satu kali dua puluh empat jam) dan ditembuskan ke BNN sesuai dengan tempat kejadian perkara.

Setelah permohonan diterima dengan nomor register asesmen, maka selambat-lambatnya 6 (enam) hari Tim Asesmen Terpadu memberikan rekomendasi hasil asesmen yang telah ditandatangani oleh 2 (dua) orang tim hukum dan rekomendasi pelaksanaan rehabilitasi kepada penyidik ataupun jaksa penuntut umum untuk dilaporkan ke pengadilan negeri setempat dan mendapatkan penetapan. Selanjutnya penyidik ataupun penuntut umum menempatkan pecandu dan korban penyalahguna narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi yang ditunjuk pemerintah dengan dilengkapi berita acara penempatan di lembaga rehabilitasi.

“Tulisan ini dibuat untuk memberikan transendensi kepada kita untuk membantu pecandu dan korban penyalahguna narkotika mendapatkan hak-haknya. Sekaligus memahami teknis dan mekanisme memperjuangkan hak dan martabat mereka sebagai manusia, membantu mereka menjalani konsientisasi hidup yang terrus terarah sebagai proses dimana manusia mendapatkan kesadaran yang semakin mendalam tentang realitas kultural yang melingkupi hidup dan kemampuannya untuk mengubah realitas dari belenggu kejahatan narkotika.”

*) Dikutip dari laman berikut ini.


Not Paying 3 Months' Rent, Man Allegedly Locked by Apartment Owner Until He Starved to Death

( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Expired Indonesia Driving License Can be E...