Rabu, 05 Juni 2019

Suardi Tasrif

(aktual.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sejarah Singkat Keluarga Dan Pendidikan

Suardi Tasrif lahir 3 Januari 1922 di Cimahi, Jawa Barat. la adalah anak pasangan Mohammad Tasrif dan Siti Hapzah. Suardi Tasrif menikah dengan Ratna Hajari Singgih pada tanggal 19 Juli 1949 di Cigunung, Bogor. Mereka dikaruniai enam orang anak, Haydarsyah Rizal, Gaffarsyah Rizal, Handriansyah Razad, Irawansyah Zehan, Praharasyah Rendra, dan Furi Sandra Puspita Rani. Keenam anak Suardi Tasrif tersebut telah berkeluarga dan telah memberikannya sembilan orang  cucu.[1]

Suardi Tasrif mengawali pendidikannya di Sekolah Rakyat (SR) tahun 1929-1936. Lalu, ia melanjutkan pendidikannya ke MULO (setingkat SMP) tahun 1936-1939, dan ke AMS (setingkat SMA) tahun 1939-1942. Setelah itu, Suardi Tasrif melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, tahun 1462-1965. Selain pendidikan formal, Suardi Tasrif juga mengikuti pendidikan nonformal di Universitas Colombia (kursus politik).[2]

Karir Advokat

Suardi Tasrif memulai debutnya di bidang sastra mulai tahun 1945. Dalam waktu relatif pendek (sekitar lima tahun) ia telah berhasil menyelesaikan beberapa cerita pendek, puisi, naskah drama, dan beberapa buah artikel sastra. Sayangnya, keinginannya menjadi sastrawan itu didasari oleh ajakan Usmar Ismail. Akibatnya, setelah Usmar Ismail meninggal, ia merasa kehilangan semangat untuk menulis karya sastra. Oleh karena itu nama Suardi Tasrif memang jadi lebih dikenal orang sebagai seorang pengacara yang andal dan mantan wartawan senior daripada seorang sastrawan. Pendidikan Suardi Tasrif selanjutnya memang berhubungan dengan dunia hukum dan jurnalistik. Sebenarnya sejak kecil Suardi Tasrif memang sudah kagum dan tertarik pada masalah sosial dan hukum. Suardi Tasrif mengagumi dua tokoh pengacara (Sastra Mulyana dan Mr. Ishaq Cokrohadisuryo) yang membela Bung Karno di pengadilan Kolonial Belanda tahun 1930-an.[3]

Setelah magang di kantor advokat Mr. Iskaq, Suardi mendirikan kantor advokatnya sendiri. Ia pernah menjabat Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia. Ia juga menjadi anggota The International Bar Association, The Law Association for Asia and Western Pacific (Lawaisis). Selain pendidikan formal, Suardi juga mengikuti pendidikan nonformal seperti kursus politik di Universitas Colombia, Amerika Serikat.[4]

Suardi Tasrif pernah menjadi Ketua Umum Peradin (Persatuan Advokat Indonesia). Di samping itu, ia juga salah seorang yang turut memperjuangkan berdirinya LBH (Lembaga Bantuan Hukum) tahun 1970 dan ikut membentuk Ikadin (Ikatan Advokat Indonesia). Tahun 1994 Suardi Tasrif mendapat anugerah Bintang Mahaputra Kelas II atas jasa-jasanya yang diberikan kepada negara.[5]

Karir Jurnalistik

Dalam dunia jurnalistik Indonesia, berbekal ilmu hukum yang dikuasainya, ia juga berperan sebagai perumus Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1954. Kongres PWI di Padang tahun 1978 menunjuknya menjadi Ketua Dewan Kehormatan PWI. Tahun 1988, ia juga duduk dalam Dewan Kehormatan PWI, yang bertugas mengawasi agar Kode Etik dipatuhi oleh wartawan anggota PWI.[6]

Dalam catatannya di zaman Orde Baru, Suardi menyesalkan PWI, organisasi tempat bernaung para wartawan yang dulu dipandang memiliki idealisme tinggi. “Sekali pun PWI tidak berkiblat pada organisasi politik, tapi banyak tokoh dalam pimpinan PWI, di pusat maupun di daerah yang menjadi fungsionaris Golkar, partai yang berkuasa. Tidak mungkin diharapkan bahwa dalam konstelasi politik seperti sekarang, PWI dapat mempertahankan kemandiriannya,” tulisnya.[7]

Dalam catatan yang ada menjelang akhir hidupnya, Suardi merasa sangat gundah melihat sosok pers Indonesia. Suardi menilai, dalam menyiarkan berita dan pendapat tentang peristiwa dalam negeri, terasa sekali pers Indonesia harus melakukan sensor diri sebesar-besarnya. Ini membuat isi surat kabar jadi menjemukan untuk dibaca. Seperti halnya keadaan di zaman Orde Lama, di masa Orde Baru pun membaca satu surat kabar dirasa sudah cukup, karena surat kabar lain isinya juga sama saja.[8]

Suardi Tasrif meninggal dunia di Jakarta, 24 April 1991, pada usia 69 tahun. Namanya diabadikan oleh organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam bentuk penghargaan Suardi Tasrif Award. Penghargaan ini tiap tahun diberikan oleh AJI Indonesia kepada warga Indonesia yang dianggap telah berjasa dan berkontribusi bagi kebebasan pers dan kemajuan pers Indonesia.[9]

Penutup

Dari literatur yang penulis bisa dapatkan, sumbangsih Suardi Tasrif terhadap negara lebih menonjol dari bidang jurnalistik, ia dikenal sebagai salah satu tokoh pers Indonesia yang idealis, hingga akhir hanyatnya tetap memperjuangkan pers yang lebih objektif lepas dari campur tangan pemerintah. Tidak mengherankan kemudian namanya diabadikan oleh organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam bentuk penghargaan Suardi Tasrif Award.

Yang menarik adalah Suardi Tasrif juga mempunyai latar belakang sarjana hukum. Menjalankan praktik advokat dan menpunyai kantor hukum sendiri. Selain itu, sebagaimana telah disebutkan di atas, ia juga pernah menjadi Ketua Umum Peradin (Persatuan Advokat Indonesia). Jika penulis boleh berpendapat, maka prestasi puncak Suardi Tasrif dalam bidang hukum adalah ketika menjabat Ketua Umum Peradin. Meskipun demikian, pada sumber laman yang lain dengan judul: “Sejarah PERADIN”, penulis belum menemukan Suardi Tasrif sebagai salah satu Ketua Umum Peradin.[10]

Terlepas dari hal itu, menurut hemat pembaca yang budiman, apakah Suardi Tasrif ini layak digolongkan sebagai tokoh advokat atau jurnalistik? Ataukah keduanya?
________________________________
1.  "Suardi Tasrif", Badan Pengembangan Bahasa Dan Perbukuan KEMENDIKBUD, Diakses 4 Juni 2019, http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/content/suardi-tasrif
2.     Ibid.
3.     Ibid.
4.   "Suardi Tasrif, "Bapak" Kode Etik Jurnalistik", Satrioarismunandar6.blogspot.com, Satrio Arismunandar, 13 Agustus 2015, Diakses pada 4 Juni 2019, http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2015/08/suardi-tasrif-bapak-kode-etik.html?q=suardi+tasrif
5.     Badan Pengembangan Bahasa Dan Perbukuan KEMENDIKBUD, Op.Cit.
6.     Satrioarismunandar6.blogspot.com, Op.Cit.
7.     Satrioarismunandar6.blogspot.com, Op.Cit.
8.     Satrioarismunandar6.blogspot.com, Op.Cit.
9.     Satrioarismunandar6.blogspot.com, Op.Cit.

Senin, 03 Juni 2019

Besar Mertokoesoemo, Advokat Pribumi Pertama

(id.Wikipedia.org)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada zaman pra kemerdekaan-kemerdekaan, para advokat turut memberi sumbangsih dalam usaha kemerdekaan Indonesia. Diantaranya adalah Alisastroamidjojo, M. Roem, Singgih, Sastro Moeljono, Soedjoedi dan Besar Mertokoesoemo. Artikel ini bermaksud memperkenalkan yang terakhir. Meskipun demikian, masih ada nama-nama lain para tokoh pra kemerdekaan-kemerdekaan RI yang berlatar belakang ilmu hukum, akan tetapi bukan dalam konteks advokat. Dikarenakan keterbatasan literatur, artikel ini bermaksud sebatas memperkenalkan tokoh dimaksud, setidaknya dapat menyajikan informasi khusus terkait profesi advokat.

Latar Belakang Keluarga Dan Pendidikan

Besar Mertokoesoemo terlahir sebagai anak priyayi rendah. Di masa kolonial, hidupnya tergolong beruntung. Laki-laki kelahiran Brebes, 8 Juli 1894 ini adalah putra dari Mas Soemoprawiro Soemowidjojo, seorang mantri gudang garam di Pemalang. Dalam salah satu keterangan, dinamai Besar oleh ayahnya karena dia lahir di bulan ke-sepuluh dalam kalender Islam.[1]

Sebagai anak priyayi, dia disekolahkan di sekolah elite kolonial. Mulai dari SD di Europeesche Lagere School (ELS) di Pekalongan. Lalu sekolah menengahnya dienyam di Hogere Burger School (HBS) Semarang. HBS tak ditamatkannya, karena dia masuk Recht School (sekolah hukum, yang sering diartikan sebagai sekolah kehakiman) di Betawi. Besar yang masuk sekolah kehakiman di tahun 1909 dan lulus pada 1915, Kemudian ditempatkan di Pekalongan sebagai Ambtenaar ter Beschikking (pegawai yang diperbantukan) pada Ketua Pengadilan Negeri. Pada 1919, dia dipindahkan ke Pengadilan Negeri (landraad) Semarang.[2]

Di pengadilan rendah yang biasa mengadili perkara hukum warga negara kelas tiga alias pribumi itu, Besar melihat betapa rendahnya orang-orang pribumi. Menurut Sudiro, Besar sadar dirinya bukan murid yang cerdas di sekolah, tapi ia tak mau berpuas diri dengan hanya bekerja di pengadilan rendah. Besar ingin punya karier lebih baik lagi. Dia tak mau jadi pembela sekelas pokrol bambu, yang pengetahuan dan pemikirannya di bidang hukum tak bisa dibandingkan dengan sarjana hukum kolonial yang biasanya bergelar Meester in Rechten (Mr). Pengacara dengan gelar “Mr” tentu jauh lebih baik. Recht School tidak meluluskan sarjana hukum alias Meester in Rechten. Recht School baru setara sekolah menengah kejuruan. Ketika Besar baru lulus Recht School, Sekolah tinggi hukum alias Recht Hoogeschool (RHS) belum ada di Hindia Belanda. Baru pada 1924 RHS berdiri di lahan bekas Recht School. Untuk meraih gelar "Mr" yang lebih dipandang orang, Besar pun hijrah ke Belanda sekitar 1919-1920.[3]

Advokat Pribumi Pertama

Besar berangkat dan kuliah dengan dana sendiri. Dia kuliah di Fakultas Hukum Universitas Leiden. Lulus sekitar 1923. Setelah pulang ke Hindia Belanda, tentu saja dengan menggondol gelar “Mr” di depan namanya, adalah modal besar baginya untuk membuka praktik pengacara. Menurut salah satu sumber, “Besar tidak sudi menjadi pegawai dari pemerintah penjajahan lagi. Padahal tawaran-tawaran dengan gaji yang besar berkali-kali disampaikan padanya. Beliau telah memilih pekerjaan swasta sebagai advokat (pengacara).”[4]

Menurut Daniel S. Lev, Mr. Besar Martokoesoemo juga pengacara yang buka praktik pertama kali di Indonesia. Laki-laki berpakaian necis yang kerap jadi pengacara untuk orang-orang Belanda di Semarang ini pernah menjadi Ketua Boedi Oetomo cabang Tegal dari 1934 hingga 1939 dan Ketua Partai Indonesia Raya (Parindra) dari 1939 hingga 1940.[5]

Meski di zaman kolonial dia pernah ogah jadi ambtenar, di zaman Jepang, setelah hampir dua dekade jadi pengacara di Tegal dan Semarang, Besar Martokoesoemo rela jadi pamongpraja. Setelah Hindia Belanda bubar dan Jepang berkuasa, daerah-daerah yang diduduki Jepang kekurangan birokrat, karena birokrat Belanda-Eropa banyak masuk kamp tawanan. Akhirnya Besar diangkat sebagai Walikota Tegal, Bupati Tegal, lalu Wakil Residen Pekalongan. Ketika Indonesia merdeka, dia pernah diangkat pula jadi Residen Pekalongan, kemudian Semarang.[6]

Alasan Memilih Karir Advokat

Ada hal menarik, yaitu sekembalinya ke tanah air dan membuka kantor hukum di Tegal. Menurut Daniel S. Lev, dalam bukunya berjudul “Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan”, Penerbit: LP3ES: "Ia (Besar) membuka kantor di Tegal karena keluarganya tinggal disana, dan mungkin karena beberapa orang advokat Belanda sudah buka praktik di daerah itu,". Awalnya niat Besar membuka firma hukum ditentang keras keluarganya. Sebab pihak keluarga lebih menginginkan Besar bekerja sebagai pamong praja ketimbang menjadi pengacara, terlebih bekerja sebagai pamong praja lebih memiliki "prestise" ketimbang sebagai advokat. Keinginan itu bukan tanpa alasan terlebih ayah Besar adalah seorang Jaksa.[7]

Meski dengan berat hati dan disertai dengan gerutuan akhirnya keluarga menyetujui langkah Besar membuka kantor hukum. Seiring berjalannya waktu kantor hukum Besar berkembang dengan pesat. Ia merekrut sejumlah sarjana hukum Indonesia untuk bekerja di kantornya semisal Sastro Mulyono, Suyudi dan Sunardi. Besar juga membuka cabang baru di Semarang. Masih menurut Daniel S. Lev., "Ia (Besar_red) amat mengutamakan kerja baik di antara pada advokat. Masing-masing advokat menerima bagian 600 gulden per-bulan ditambah dengan keuntungan,".[8]

Selama menjadi advokat, Besar mendapatkan penghormatan dari para hakim-hakim Belanda. Sikap hormat yang ditunjukkan hakim-hakim Belanda disebabkan karena pengadilan adalah tempat tinggi untuk mencari keadilan. Dalam kaitannya dengan hal tersebut advokat dipandang sebagai salah satu unsur penting dalam proses pencarian keadilan dan kepastian hukum. Dari berbagai kasus-kasus yang ditangani olehnya, kasus membela rakyat miskin adalah kasus yang paling berkesan sekaligus membuat jengkel Besar. Betapa tidak dalam setiap sidang di landraad, hakim menggunakan bahasa Belanda dan jaksa menterjemahkan dakwaan hakim. Dalam perkara pidana di depan landraad terdakwa bangsa Indonesia asal desa duduk di lantai, membongkok dalam-dalam dan sangat ketakutan. "Mr. Besar mengutarakan kesemuanya itu dengan kebencian yang sangat kentara terhadap sikap merendahkan diri orang Indonesia di depan pengadilan," tandas Daniel S. Lev.[9]
________________________________
1.  "Mr. Besar Martokoesoemo, Advokat Pribumi Pertama Kelahiran Brebes", Tirto.id, Diakses pada 30 Mei 2019, https://tirto.id/mr-besar-martokoesoemo-advokat-pribumi-pertama-kelahiran-brebes-cQJ6.
2.     Ibid.
3.     Ibid.
4.     Ibid.
5.     Ibid.
6.     Ibid.
7. "Mengenal Besar Mertokusumo, Advokat Pertama Di Indonesia", Merahputih.com, Bahaudin Marcopolo, 25 Januari 2016, Diakses Pada 30 Mei 2019, https://merahputih.com/post/read/mengenal-besar-martokoesoemo-advokat-pertama-di-indonesia
8.     Ibid.
9.     Ibid.

Sabtu, 01 Juni 2019

Hak-hak Subjektif

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah kita ikuti kuliah sebelumnya berjudul: “Pembagian Hukum Objektif”, maka dalam kesempatan ini, masih dalam konteks Pengantar Ilmu Hukum, akan dibahas tentang Hak-hak Subjektif.

I.         Subjek-subjek Hukum (Purusa)

Segala sesuatu yang mempunyai kewenangan hukum adalah subjek hukum (purusa) dalam arti yuridis. Sedangkan yang dimaksud dengan kewenangan hukum adalah kecakapan untuk menjadi pendukung subjek hukum. Kewenangan hukum adalah sifat yang diberikan oleh hukum objektif dan hanya dimiliki oleh mereka yang diberikan oleh hukum.[1]

Kini hukum objektif pada umumnya memberikan kewenangan hukum kepada setiap orang. Dahulu para wanita dan budak tidak mempunyai kewenangan hukum. Ajaran hukum kini juga undang-undang mengakui adanya subjek hukum yang lain daripada manusia. Untuk membedakannya, manusia disebut subjek hukum kodrat (natuurlijke personen) dan yang lain disebut subjek hukum.[2]

Yang dimaksud dengan purusa hukum adalah: 1. Tiap-tiap persekutuan manusia, yang bertindak dalam pergaulan hukum seolah-olah ia sebagai subjek hukum tunggal; dan 2. Tiap-tiap harta dengan tujuan tertentu, tetapi dengan tiada yang empunya, dalam pergaulan hukum diperlakukan seolah-olah ia sesuatu subjek hukum.[3]

Persekutuan manusia ialah: 1. Perhimpunan, yakni persekutuan-persekutuan yang hidupnya timbul dari pergabungan diri secara sukarela dari pribadi, didirikan oleh pribadi berdasarkan perjanjian; 2. Persekutuan-persekutuan yang tidak didirikan oleh subjek-subjek hukum khusus, melainkan tumbuh secara historis, seperti negara, propinsi dsb.; 3. Persekutuan-persekutuan yang didirikan oleh kekuasaan umum seperti perusahaan.[4]

II.      Pembagian Hak-hak Subjektif

Hak-hak subjektif dibagi ke dalam: hak-hak mutlak atau hak-hak onpersoonlijk dan hak-hak relatif atau hak-hak persoonlijk. Hak-hak mutlak adalah hak-hak yang memuat kekuasaan untuk bertindak. Hak-hak relatif adalah hak-hak yang memuat kekuasaan untuk menuntut agar orang lain bertindak, artinya berbuat sesuatu.[5]

Hak-hak mutlak ialah: 1. Segala hak publik, segala hak subjektif yang berdasar dalam hukum publik dalam arti objektif, terutama apa yang disebut hak-hak dasar, hak-hak kemerdekaan atau hak-hak manusia, hak-hak manusia yang diuraikan dalam Undang-undang Dasar, yang memberikan kemerdekaan bertindak dalam berbagai hal, dan yang membawa kewajiban bagi setiap orang, juga badan-badan pemerintahan untuk tidak melanggarnya. 2. Sebagian hak-hak perdata (yaitu hak-hak yang bersandar pada hukum perdata dalam arti objektif, yaitu: a). Hak-hak kepribadian (persoonlijkheidsrechten), contoh hak manusia atas jiwanya; b). Hak-hak keluarga (familierechten), seperti kekuasaan orang tua, kekuasaan perwalian dan pengampuan; c). Sebagian dari hak-hak harta (vermogensrechten); d). Hak-hak kebendaan (zakelijke rechten); e). Hak-hak atas barang-barang tak berwujud (rechten op immateriele goederen), contoh hak cipta.[6]

Hak-hak relatif ialah hak-hak harta, terkecuali hak-hak kebendaan dan hak-hak atau benda tak berwujud. Dipandang dari sudut yang berhak (penagih hutang), hak-hak relatif itu dinamai piutang atau hak tagih. Dipandang dari sudut yang lain (orang-orang yang berhutang), disebut utang. Biasanya hukum relatif disebut ikatan (verbintenis). Utang sebenarnya tidak lain dari suatu keadaan yang terdiri atas hal, bahwa menurut hukum seseorang harus melakukan prestasi atau menerima prestasi. Jika hal itu dipenuhi, maka timbul keadaan yang dikehendaki oleh hukum.[7]

III.   Terjadinya Dan Lenyapnya Hak-hak Subjektif

Pada bagian ini, secara umum dibagi ke dalam dua bagian, yaitu: A. Fakta-fakta Hukum; B. Memperoleh hak secara asli dan memperoleh hak secara tidak langsung.

A. Fakta-fakta Hukum

Bagaimana terjadinya hukum hukum subjektif? Hukum subjektif terjadi ketika hukum objektif bertindak. Agar hukum objektif bergerak dan agar terjadi hukum subjektif, diperlukan terjadinya suatu peristiwa hukum (peristiwa hukum kemudian menjadi fakta hukum). Peraturan “pembeli wajib membayar harga pembelian”, baru menimbulkan sesuatu hukum subjektif (suatu kewajiban untuk membayar dan sesuatu hak untuk menuntut pembayaran), jika benar-benar diadakan suatu persetujuan jual-beli.[8]

Apa yang berlaku untuk terjadinya, berlaku juga untuk lenyapnya hak-hak subjektif. Hal itu juga tergantung kepada terjadinya sesuatu fakta yang ditunjuk oleh hukum objektif. Fakta-fakta demikian, agar hukum objektif mengikatkan terjadinya atau sebaliknya, lenyapnya hak-hak subjektif dimaksud, kemudian disebut fakta hukum.[9]

Fakta-fakta hukum (agar hukum objektif mengikatkan terjadinya atau sebaliknya, lenyapnya hak-hak subjektif dimaksud) dapat dibagi ke dalam: Perbuatan-perbuatan manusia dan fakta-fakta hukum lainnya. Diterangkan sebagaimana berikut:[10]

a). Perbuatan hukum manusia terbagi ke dalam dua bagian, yaitu: perbuatan-perbuatan hukum dan perbuatan-perbuatan lainnya. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang oleh hukum objektif diikatkan kepada terjadinya dan lenyapnya sesuatu hak subjektif sebagai akibat perbuatan itu, karena hukum objektif menduga bahwa akibatnya dikehendaki oleh para pihak yang bertindak. Perbuatan-perbuatan hukum dapat dibagi lagi menjadi perbuatan hukum sepihak seperti wasiat, atau perbuatan-perbuatan hukum yang berpihak dua (timbal balik) atau perjanjian. Sedangkan yang termasuk perbuatan-perbuatan lainnya: 1, Perbuatan-perbuatan dalam hal hukum objektif mengikatkan sesuatu akibat, bebas dari kehendak orang-orang yang bertindak, artinya tidak perduli ada yang menghendaki atau tidak, contoh: membuang sebagian muatan kapal untuk kepentingan keselamatan kapal, membuat sesuatu karya sastra, ilmu pengetahuan atau kesenian yang membawa akibat hak cipta. 2, Perbuatan-perbuatan tanpa hak (onrechtmatige handelingen), akibat perbuatan-perbuatan tersebut hukum mengikatkan sesuatu akibat yang tidak diinginkan oleh pihak yang bertindak, yaitu berupa ikatan untuk membayar kerugian yang disebabkan oleh perbuatan itu.

b). Termasuk fakta-fakta hukum lainnya, yang tidak merupakan perbuatan manusia, seperti kelahiran dan kematian, berlangsungnya waktu (dalam hal daluarsa).

B. Memperoleh hak secara asli dan memperoleh hak secara tidak langsung

Mengenai terjadinya hak-hak subjektif, kita harus membedakannya ke dalam dua bagian, yaitu:[11]

Pertama, hal-hal dimana timbul sesuatu hak yang baru seluruhnya, sesuatu hak yang belum ada, juga tidak dalam benih, tidak merupakan kelanjutan, juga bukan merupakan pertumbuhan dari sesuatu hak yang telah ada. Disebut juga perolehan hak secara asli, atau original. Contoh: Waktu memperoleh hak milik dengan cara gadai, hipotek, dll.

Kedua, memperoleh hak yang tidak langsung atau derivatif adalah ketika seseorang memperoleh hak yang telah ada, atau yang setidaknya tumbuh atau terjadi sebagai lanjutan dari hak yang telah ada. Disebut juga sebagai perolehan hak secara peralihan atau lanjutan. Contoh: Penyerahan hak milik (levering) dan warisan.

_________________________________
1.  “Pengantar Ilmu Hukum” atau “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht”, Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn,  PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan Ke-dua puluh lima), 1993, Hal.: 191.
2.           L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 192.
3.           L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 193.
4.           L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 194.
5.           L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 198-199.
6.           L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 199-208.
7.           L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 209.
8.           L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 213.
9.           L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 213.
10.        L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 213-215.
11.        L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 218-219.

Rabu, 29 Mei 2019

Grotius Dan Implikasi Pemikirannya Terhadap Akses Laut Bagi Perdagangan Bebas

(id.Wikipedia.org)

Oleh:
Tim Hukumindo

Kehidupan Awal

Hugo Grotius (lahir 10 April 1583 – meninggal 28 Agustus 1645 pada umur 62 tahun), juga dikenal sebagai Huug de Groot (Belanda: [ˈɦœyɣɣroːt]) atau Hugo de Groot (Belanda: [ˈɦyɣoːɣroːt]), adalah seorang ahli hukum berkebangsaan Belanda. Grotius meletakkan dasar bagi hukum internasional berdasarkan hukum alam. Sebagai seorang pemuda yang dipandang genius secara intelektual, ia pernah dipenjarakan karena keterlibatannya dalam perselisihan intra-Calvinis di dalam Republik Belanda. Ia menulis sebagian besar karya utamanya dalam pengasingan di Prancis.[1]

Grotius lahir di Delft saat berlangsungnya Pemberontakan Belanda, sebagai anak pertama dari pasangan Jan de Groot dan Alida van Overschie. Ayahnya adalah seorang pria terpelajar, juga seseorang yang menganut pandangan politik berbeda. Sang ayah mempersiapkan putranya sejak usia dini dengan pendidikan Aristotelian dan humanis tradisional. Sebagai seorang pembelajar yang genius, Hugo memasuki Universitas Leiden saat ia baru berusia 11 tahun. Di sana ia menempuh pendidikannya bersama dengan beberapa intelektual yang paling diakui di Eropa utara pada saat itu. Di negeri Holandia (Belanda), Grotius diangkat sebagai advokat untuk Den Haag pada tahun 1599, dan kemudian sebagai historiograf resmi bagi Negara-Negara Holandia pada tahun 1601.[2]

Doktrin Mare Liberum

Salah satu mahakaryanya, Mare Liberum selama berabad-abad telah menjadi dasar paling penting bagi perkembangan hukum laut modern. Grotius, bagi para pengkritiknya sering disebut sebagai orang yang membukakan jalan (dengan ajaran kebebasan berlayarnya) bagi imperialisme Belanda yang akhirnya membuat Indonesia terjajah selama ratusan tahun. Tetapi bagi para pengagumnya, Grotius adalah seorang pemikir hukum, diplomat, teolog ulung.[3]

Selepas lulus dari Universitas Leiden, dia sempat membuka kantor hukum. Salah satu kliennya adalah Dutch East Indie Company atau yang lebih dikenal sebagai Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Ketika menangani VOC inilah dia banyak bersentuhan dengan sengketa dagang antara Belanda dan Spanyol di Selat Malaka. Dari situ, Grotius kemudian mulai menyusun dasar-dasar yang kelak menjelma menjadi doktrin Mare Liberum (Laut Terbuka) yang ia perkenalkan melalui buku dengan judul yang sama pada tahun 1609. Melalui doktrin tersebut, Grotius pada intinya ingin mengatakan bahwa konsep kepemilikan (possession) termasuk kepemilikan laut, hanya dapat terjadi terhadap benda-benda yang dapat dipegang teguh serta jelas batas-batasnya. Sementara laut adalah sesuatu yang tidak terbatas dan bersifat cair.[4]

Grotius mengemukakan 13 dalilnya. Dari ke-13 dalil ini dapatlah digolongkan ke dalam 4 (empat) dalil utama, yaitu: (1) Berdasarkan hukum bangsa-bangsa, navigasi atau pelayaran adalah bebas untuk setiap negara; (2) Bahwa Portugis tidak memiliki hak berdasarkan (atas) hak penemuan (discovery) kedaulatan atas perairan Hindia yang Belanda bermaksud melakukan pelayaran atasnya; (3) Bahwa perairan Hindia atau atau hak berlayar tidak menjadi milik Portugis berdasarkan pendudukan (title of occupation); dan (4) Bahwa berdasarkan hukum bangsabangsa perdagangan adalah kebebasan bagi setiap orang (“By the law of nations trade is free to all persons whatsoever”).[5]

Dengan demikian, menurut Grotius, klaim kepemilikan terhadap laut sebagaimana lazim terjadi saat itu berdasarkan teori penemuan (discovery) atau penguasaan dalam jangka waktu lama (prescription) tidak dapat diterima.  Doktrin Mare Liberum menuai protes keras dan dianggap membahayakan kekuatan status quo saat itu. Raja Inggris, Charles I kemudian meminta kepada para ilmuwan di negaranya untuk membantah doktrin Mare Liberum. John Selden adalah ilmuwan hukum terkemuka asal Inggris yang paling gigih melawan gagasan Mare Liberum. Pada tahun 1635 Selden menerbitkan buku dengan judul yang provokatif, Mare Claussum (Laut Tertutup) untuk memberi justifikasi bahwa laut bisa dimiliki.[6]

Bagi Selden, teori Mare Liberum yang diusung Grotius memang penting, tapi pengalaman sejarah membuktikan bahwa lautan dapat dimiliki oleh negara-negara yang memiliki kekuatan untuk menjaganya. Oleh karena itu, berdasarkan konsep prescription lautan dapat dimiliki. Argumen yang mengatakan bahwa laut tidak dapat dimiliki karena bersifat cair dibantah oleh Selden dengan mengatakan sungai dan perairan pantai yang bersifat cair pun pada kenyataannya dapat dikuasai oleh negara-negara yang memiliki kekuatan untuk menguasai dan menjaganya.[7] Meskipun tidak berkaitan secara langsung, bandingkan dengan pemikiran Mochtar Kusumaatmadja dalam tautan berikut.

Dikemudian hari kita tahu bahwa, baik teori Grotius maupun Selden tidak dapat diterapkan secara kaku. Hukum laut yang kita kenal saat ini, seperti tercermin dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), menerima sebagian doktrin Mare Liberum dan menerima sebagian doktrin Mare Clausum. UNCLOS misalnya mengakui konsep kepemilikian atas laut (seperti laut wilayah atau territorial sea) tetapi pada saat yang sama juga mengakui adanya hak melintas secara damai (innocent passage) yang harus dihormati oleh negara-negara yang memiliki laut.[8]

Implikasi Pemikirannya Terhadap Akses Laut Bagi Perdagangan Bebas

Pemikiran Grotius tetap relevan hingga saat ini, terutama terkait dengan dalilnya yang pertama bahwa: ‘Berdasarkan hukum bangsa-bangsa, navigasi atau pelayaran adalah bebas untuk setiap negara’, dalam konteks kekinian dan relevansinya dengan hukum laut, yang dimaksud Grotius dengan wilayah laut ini adalah dalam kategori ‘laut lepas’. Pasal 86 UNCLOS, terkait laut lepas, mendefinisikannya sebagai berikut: “merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE), dalam laut teritorial atau dalam perairan pedalaman suatu negara, atau dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan”. Termasuk di dalam wilayah laut lepas ini, salah satunya adalah, kebebasan untuk berlayar.

Meskipun oleh para pengkritiknya disebut sebagai orang yang membukakan jalan bagi imperialisme Belanda ke Nusantara, namun saat ini implikasi pemikiran Grotius adalah sebagai landasan bagi terlaksananya perdagangan bebas di dunia. Lewat laut, khususnya wilayah laut lepas, berbagai komoditas dari seluruh penjuru dunia berupa kargo dikirim dan diperdagangkan.


________________________________
1. "Hugo Grotius", Wikipedia.org., Diakses pada 24 Mei 2019, https://id.wikipedia.org/wiki/Hugo_Grotius
2.     Ibid.
3. "Grotius: Dari Mare Liberum Hingga Teologi yang Membebaskan", Kumparan.com, Ali Murtado, 5 April 2019, https://kumparan.com/ali-murtado1550498424284868859/grotius-dari-mare-liberum-hingga-teologi-yang-membebaskan-1qpA2rc2Y3i
4.     Ali Murtado, Ibid.
5. "Sumbangan Hukum Alam Dan Pemikiran Grotius Terhadap Hukum Internasional", Huala Adolf, Majalah Hukum Nasional Nomor: 2 Tahun 2017, Hal.: 7.
6.     Ali Murtado, Op. Cit.
7.     Ali Murtado, Op. Cit.

Senin, 27 Mei 2019

Pembagian Hukum Objektif

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah kita ikuti kuliah sebelumnya berjudul: “Hukum dan Hak”, maka dalam kesempatan ini, masih dalam konteks Pengantar Ilmu Hukum, akan dibahas tentang Pembagian Hukum Objektif.

Hukum objektif menurut pengertian di sini adalah hukum yang dipahami dari sifat hubungan-hubungan yang diaturnya. Objektif yang dimaksud adalah peraturan-peraturan hukum yang bergantung kepada hakekat kepentingan-kepentingan yang diaturnya.

I. Pembagian Menurut Isi Hukum

Pembagian menurut isi hukum dibagi menjadi dua bagian, pertama adalah hukum publik, dan kedua adalah hukum perdata.

Kepentingan-kepentingan yang diatur oleh hukum dapat berupa dua kepentingan. Pertama, kepentingan-kepentingan umum atau kepentingan-kepentingan publik. Kedua, kepentingan-kepentingan khusus atau kepentingan-kepentingan perdata.[1]

Terdapat keberatan mengenai kriteria ini, memang ini ada benarnya. Pada tiap-tiap peraturan hukum memang tersangkut kepentingan umum. Sebaliknya tiap-tiap peraturan hukum juga menyinggung kepentingan-kepentingan perseorangan. Akan tetapi hal itu tidaklah melemahkan kriteria yang kita terima di atas tadi. Sebab kriteria itu tidak terletak pada hal bahwa pada peraturan hukum yang satu tersangkut kepentingan pribadi; melainkan bahwa hukum publik mengatur kepentingan umum dan hukum perdata mengatur kepentingan pribadi.[2]

Jadi hukum perdata adalah peraturan-peraturan hukum yang objeknya ialah kepentingan-kepentingan khusus dan yang soal akan dipertahankannya atau tidak diserahkan kepada yang berkepentingan. Hukum publik adalah peraturan-peraturan hukum yang objeknya ialah kepentingan-kepentingan umum dan yang karena itu, soal mempertahankannya dilakukan pemerintah.[3]

II. Pembagian Hukum Menurut Daya Kerjanya

Pembagian hukum menurut daya kerjanya dibagi ke dalam dua bagian, yaitu hukum yang memaksa dan hukum yang mengatur.

Nama hukum yang memaksa tidaklah tepat. Segala hukum sifatnya memaksa. Tetapi dengan hukum yang memaksa (juga disebut hukum yang memerintah atau hukum yang mutlak) dimaksud peraturan-peraturan, untuk orang-orang yang berkepentingan tidak boleh menyimpang dari perjanjian. Hukum yang memaksa mengikat dengan tiada bersyarat, artinya tidak perduli para pihak menghendakinya atau tidak.[4]

Juga nama hukum yang mengatur, sebenarnya kurang tepat. Dikarenakan segala hukum sifatnya mengatur. Tetapi dengan hukum yang mengatur (disebut juga hukum tambahan, hukum relatif atau hukum dispositif) dimaksud adalah peraturan-peraturan yang tunduk kepada peraturan yang dibuat dengan perjanjian oleh yang berkepentingan. Hukum yang mengatur hanya mengatur dan tidak mengikat tanpa syarat. Ia hanya mengikat jika dan sepanjang para pihak yang berkepentingan tidak menentukan peraturan lain dengan perjanjian.[5]

Di antara perbedaan hukum yang memaksa dan hukum yang mengatur pada satu pihak dan hukum publik dan hukum perdata pada pihak lain terdapat persamaan. Hukum publik biasanya hukum yang memaksa, karena ia mengatur kepentingan-kepentingan umum. Karena itu biasanya tidak diperbolehkan menyimpang daripadanya untuk kepentingan-kepentingan subjek hukum (purusa) khusus, meskipun terdapat pengecualian, akan tetapi jarang.[6]

Sebaliknya, hukum perdata biasanya adalah hukum yang mengatur, karena ia mengatur kepentingan perdata. Dan pembentuk undang-undang pada umumnya memberi kebebasan pada subjek hukum (purusa) khusus untuk mengatur kepentingan-kepentingan sebagaimana yang dikehendaki. Dengan kata lain, pada umumnya hukum perdata adalah wilayah otonomi daripada purusa-purusa/subjek hukum-subjek hukum khusus.[7]
_________________________________
1.  “Pengantar Ilmu Hukum” atau “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht”, Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn,  PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan Ke-dua puluh lima), 1993, Hal.: 171.
2.  L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 172.
3.  L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 174.
4.  L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 182-183.
5.  L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 183.
6.  L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 184.
7.  L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 184.

Basic Requirements for Foreign Direct Investment in Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Suspect Still Underage, Murder Case in ...