Tampilkan postingan dengan label Tokoh Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tokoh Hukum. Tampilkan semua postingan

Jumat, 24 Mei 2019

Cicero, Pengacara Zaman Romawi & Warisan Hukum Alam

(fee.org)

Oleh:
Tim Hukumindo


Membuat artikel tentang Cicero dan pemikiran hukumnya bukan pekerjaan mudah. Dikenang karena kemasyhurannya sebagai pengacara pada zaman Romawi, pengaruh Cicero terkait hukum masih dirasakan hingga saat ini. Khususnya sebagai salah satu pemikir aliran hukum alam. Dengan keterbatasan sumber langsung, maupun kendala bahasa dan mileu hukum dan masyarakat yang berbeda jauh dengan saat ini, menjadikan tugas ini makin berat. Akan tetapi, penulis mempunyai niat baik untuk mengisi kekosongan artikel hukum tentang Cicero, khususnya yang berbahasa Indonesia. Atau setidaknya usaha penulis menterjemahkan sumber-sumber hukum terkait tentang Cicero dan pemikiran hukumnya kemudian merangkumnya ke dalam suatu tulisan ringan di sini dapat menjadi semacam penawar dahaga intelektual tersebut.  

Sejarah Singkat Cicero

Marcus Tullius Cicero, nama panggilan bahasa Inggris Tully, (lahir 106 SM, Arpinum, Latium [sekarang Arpino, Italia] — meninggal 7 Desember, 43 SM, Formiae, Latium [sekarang Formia]), negarawan Romawi, pengacara, sarjana, dan penulis yang mencoba menegakkan prinsip-prinsip republik dalam perang saudara terakhir yang menghancurkan Republik Romawi. Tulisannya termasuk buku-buku retorika, orasi, risalah filosofis dan politik, dan surat-surat. Dia dikenang di zaman modern sebagai orator Romawi terbesar dan inovator dari apa yang kemudian dikenal sebagai retorika Ciceronian.[1]

Cicero adalah putra dari keluarga kaya Arpinium. Mengenyam pendidikan di Roma dan Yunani, ia melakukan dinas militer di bawah pimpinan Pompeius Strabo (bapak negarawan dan jenderal Pompey) dan tampil pertama kali di pengadilan membela Publius Quinctius pada tahun 81. Sebagai Praetor (seorang pejabat kehakiman yang sangat berkuasa saat itu), pada usia 66 tahun ia membuat pidato politik penting pertamanya, melawan Quintus Lutatius Catulus dan memimpin Optimates (elemen konservatif di Senat Romawi). Ia berbicara untuk berunding di Pompey melawan Mithradates VI, raja Pontus (di Anatolia timur laut). Hubungannya dengan Pompey, menjadi titik fokus karirnya di dunia politik. Pemilihannya sebagai Konsul dicapai melalui Optimates yang takut dengan ide-ide revolusioner dari saingannya, Catiline.[2]


Dalam pidato konsulernya yang pertama, ia menentang undang-undang agraria Servilius Rullus, demi kepentingan Pompey yang absen, tetapi perhatian utamanya adalah untuk menemukan dan mengumumkan niat hasrat Catiline, yang dikalahkan sebelumnya muncul lagi pada pemilihan wilayah konsuler di 63 di mana Cicero memimpin. Catiline kalah dan berencana untuk melakukan pemberontakan bersenjata di Italia dan pembakaran di Roma. Cicero mengalami kesulitan dalam membujuk Senat akan bahaya, tetapi "keputusan terakhir" (Senatus Consultum ultimum), sesuatu seperti proklamasi darurat militer, disahkan pada 22 Oktober. Pada 8 November, setelah lolos dari upaya hidupnya, Cicero menyampaikan pidato pertama melawan Catiline di Senat, dan Catiline meninggalkan Roma malam itu. Ini adalah puncak dari karir politiknya.[3]

Karir Sebagai Pengacara

Cicero ingin mengejar karir publik di bidang politik di sepanjang tangga kehormatan Cursus. Pada 90-88 SM, ia melayani Pompeius Strabo dan Lucius Cornelius Sulla ketika mereka berkampanye dalam Perang Sosial. Cicero tidak memiliki selera untuk kehidupan militer, minatnya ada pada bidang intelektual.[4]

Cicero memulai karirnya sebagai pengacara sekitar 83-81 SM. Pidato pertama yang masih ada adalah kasus pribadi dari 81 SM (pro Quinctio), disampaikan ketika Cicero berusia 26. Kasus publik besar pertamanya, di mana catatan tertulis masih ada, adalah pembelaannya pada 80 SM atas nama Sextus Roscius. Mengambil kasus ini adalah langkah berani bagi Cicero. Orang-orang yang dituduh Cicero atas pembunuhan itu, yang paling terkenal adalah Chrysogonus, mempunyai kedekatan dengan diktator Sulla. Pada saat itu akan mudah bagi Sulla untuk membunuh Cicero yang tidak dikenal. Pembelaan Cicero atas kasus tersebut adalah tantangan tidak langsung bagi diktator Sulla, dan atas pembelaan dalam kasus tersebut, Roscius dibebaskan. [5]

Kasus Cicero dalam Pro Roscio Amerino dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama merinci dengan tepat muatan yang dibawa oleh Ericius. Cicero menjelaskan bagaimana seorang anak lelaki pedesaan dari seorang petani, yang hidup dari kesenangan tanahnya sendiri, tidak akan memperoleh apa pun dari melakukan pembunuhan karena ia pada akhirnya akan mewarisi tanah ayahnya. Bagian kedua menyangkut keberanian dan keserakahan dua penuduh, Magnus dan Capito. Cicero mengatakan kepada juri bahwa mereka lebih mungkin menjadi pelaku pembunuhan karena keduanya serakah, baik karena bersekongkol melawan sesama kerabat dan, khususnya, Magnus, karena keberaniannya dan karena tidak malu-malu muncul di pengadilan untuk mendukung tuduhan palsu. Bagian ketiga menjelaskan bahwa Chrysogonus memiliki kekuatan politik yang sangat besar, dan tuduhan itu berhasil dibuat karena kekuatan itu. Meskipun Chrysogonus mungkin tidak seperti yang dikatakan Cicero tentang dirinya, melalui retorika Cicero berhasil membuatnya tampak seperti orang asing yang dibebaskan yang makmur dengan cara licik setelah perang saudara. Cicero menduga bahwa itu menunjukkan orang seperti apa dia dan bahwa sesuatu seperti pembunuhan tidak ada di bawahnya.[6]

Buku De Legibus

De Legibus (‘On the Laws’) adalah dialog yang ditulis oleh Marcus Tullius Cicero selama tahun-tahun terakhir Republik Romawi. Itu memiliki nama yang sama dengan dialog terkenal Plato, The Laws. Tidak seperti karyanya sebelumnya de de publica, di mana Cicero merasa terdorong untuk mengatur aksi di zaman Scipio Africanus Minor, Cicero menulis karya ini sebagai dialog fiksi antara dirinya, saudaranya Quintus dan teman bersama mereka Titus Pomponius Atticus. Dialog dimulai dengan ketiganya berjalan santai melalui tanah keluarga Cicero di Arpinum dan mereka mulai membahas bagaimana hukum seharusnya. Cicero menggunakan ini sebagai platform untuk menguraikan teori-teorinya tentang hukum alam tentang harmoni di antara kelas-kelas.[7]

Tiga buku yang tersisa (dari enam yang diperkirakan), secara berurutan, menguraikan tentang kepercayaan Cicero dalam Hukum Alam, menyusun kembali hukum-hukum agama Roma (pada kenyataannya merupakan kemunduran terhadap hukum-hukum agama di bawah raja Numa Pompilius) dan akhirnya berbicara tentang usulan reformasinya terhadap Konstitusi Romawi.[8]

Buku Kesatu

Buku itu dibuka dengan Cicero, Quintus, dan Atticus berjalan melalui rimbun yang teduh di perkebunan Arpinum di Cicero, ketika itu terjadi di sebuah pohon oak tua yang dihubungkan oleh legenda dengan jenderal dan konsul Gaius Marius, yang juga merupakan penduduk asli Arpinum. Atticus mempertanyakan apakah itu masih ada atau tidak, yang dijawab Quintus bahwa selama orang mengingat tempat dan hubungan yang terkait dengannya, pohon itu akan tetap ada terlepas dari keberadaan fisiknya. Ini membawa ketiganya ke dalam diskusi tentang batas keropos antara fakta dan dongeng dalam tulisan sejarawan hari itu. Cicero membiarkan itu bahkan di zaman mereka, banyak kisah raja-raja Romawi, seperti Numa Pompilius bercakap-cakap dengan kepala terpenggal istrinya Egeria, dianggap sebagai dongeng atau perumpamaan daripada sebagai insiden aktual yang terjadi.[9]

Atticus mengambil kesempatan untuk mendorong Cicero untuk memulai karya yang dijanjikan tentang sejarah Romawi dan menyanjungnya dengan menunjukkan bahwa bagaimanapun juga, Cicero mungkin menjadi salah satu lebih banyak pria berkualifikasi di Roma untuk melakukannya, mengingat banyak kekurangan para sejarawan Romawi pada zaman itu. Cicero memohon, menyebutkan bahwa ia memiliki tangannya yang penuh dengan mempelajari hukum sebagai persiapan untuk kasus-kasus. Ini membawa kita pada isi buku ini, sebuah eksposisi mata air hukum. Atticus, sebagai pengalih perhatian, meminta Cicero untuk menggunakan sebagian dari pengetahuannya untuk digunakan saat itu juga dan memberi mereka diskusi tentang hukum saat mereka berjalan melintasi tanah miliknya.[10]

Bagi Cicero, hukum bukanlah masalah ketetapan tertulis, dan daftar peraturan, tetapi masalah yang sudah tertanam dalam jiwa manusia, sesuatu yang merupakan bagian integral dari pengalaman manusia. Adapun alasan berlakunya hukum adalah sebagai berikut:[11]

  • Manusia diciptakan oleh kekuatan atau kekuatan yang lebih tinggi (dan demi argumen, Cicero memiliki Epicurean Atticus mengakui titik bahwa kekuatan yang lebih tinggi ini terlibat dengan urusan kemanusiaan).
  • Kekuatan yang lebih tinggi yang menciptakan alam semesta ini, karena alasan-alasan yang diketahui oleh dirinya sendiri, memberikan manusia dengan sedikit keilahiannya sendiri, memberi umat manusia kekuatan bicara, nalar, dan pikiran.
  • Karena percikan ketuhanan di dalam manusia, mereka pasti berhubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi dalam beberapa cara.
  • Karena manusia berbagi nalar dengan kekuatan yang lebih tinggi, dan karena daya yang lebih tinggi ini dianggap baik, maka manusia, ketika menggunakan akal dengan benar, juga akan baik hati.


Alasan inilah yang dianggap Cicero sebagai hukum. Baginya, hukum adalah apa pun yang mempromosikan kebaikan dan melarang kejahatan. Yang menghalangi kita untuk menegakkan ini sepenuhnya adalah kegagalan manusiawi kita, hasrat kita untuk kesenangan, kekayaan, status, hal-hal sepele lainnya di luar kebajikan dan kehormatan.[12] Pandangan-pandangan Cicero tentang hukum ini adalah mencerminkan dirinya sebagai salah satu tokoh hukum alam.

Buku Kedua

Buku kedua dimulai dengan Cicero menganut keyakinannya pada Hukum Alam. Pesta itu telah sampai di sebuah pulau di sungai Fibrenius di mana mereka duduk dan bersantai dan melanjutkan diskusi mereka. Ketika buku ini dimulai, Cicero dan Atticus berdebat tentang apakah seseorang dapat memegang patriotisme untuk negara yang lebih besar dan wilayah di mana seseorang berasal dari: yaitu, dapatkah seseorang mencintai Roma dan Arpinum pada saat yang sama? Cicero berpendapat bahwa tidak hanya bisa satu, tetapi itu alami. Cicero menggunakan contoh Cato the Elder, yang pada saat kelahirannya di Tusculum adalah warga negara Romawi, tetapi bisa, tanpa kemunafikan, juga menyebut dirinya seorang Tuscan. Namun, Cicero juga membuat perbedaan penting bahwa tempat kelahiran seseorang harus mengambil subordinasi ke tanah kewarganegaraan seseorang — bahwa ada kewajiban di mana seseorang berutang dan yang harus, jika perlu, memberikan nyawanya.[13]

Setelah ketiganya mencapai pulau itu, Cicero meluncurkan pemeriksaan hukum. Dia mulai dengan mengatakan bahwa hukum tidak, dan tidak bisa, dimulai dengan manusia. Manusia, baginya, adalah instrumen kebijaksanaan yang lebih tinggi yang mengatur seluruh bumi dan memiliki kekuatan, melalui moralitas bersama, untuk memerintahkan yang baik atau yang melarang kejahatan. Cicero juga membuat perbedaan dalam bagian ini antara legalisme (hukum tertulis aktual) dan hukum (benar dan salah sebagaimana didiktekan oleh kebijaksanaan abadi). Bagi Cicero, hukum manusia bisa baik atau buruk tergantung pada apakah hukum itu selaras dengan hukum alam yang kekal. Hukum yang diberlakukan untuk tujuan sementara atau lokal adalah hukum, menurutnya, berdasarkan persetujuan publik. Ia memiliki kekuatan hukum hanya selama orang mengamatinya dan negara menegakkannya. Hukum kodrat, bagaimanapun, tidak memerlukan pengkodean, tidak ada penegakan. Sebagai contoh, Cicero menyebutkan bahwa ketika Sextus Tarquinius, putra Raja Lucius Tarquinius Superbus, memperkosa Lucretia, tidak ada hukum di Roma yang mengatur pemerkosaan. Namun, bahkan pada saat itu, rakyat tahu secara mendalam bahwa apa yang telah terjadi bertentangan dengan moralitas bersama, dan mengikuti Lucius Junius Brutus untuk memperbaiki masalah. Hukum-hukum jahat, atau hukum-hukum yang bertentangan dengan hukum abadi, lebih lanjut, tidak pantas mendapatkan gelar, dan menyatakan bahwa memberlakukannya dengan mengesampingkan hukum kekal tidak layak menyatakan status-status hukum. Untuk menunjukkan, Cicero menggunakan analogi orang-orang yang tidak sekolah atau dukun yang mengaku sebagai dokter dan meresepkan perawatan yang mematikan. Cicero berpendapat, tidak ada orang yang waras, akan berani menyebut perawatan seperti itu sebagai "obat" atau praktik mereka sebagai "dokter".[14]

Cicero berpendapat bahwa kepercayaan agama (kepercayaan pada para dewa, atau Tuhan, atau kebijaksanaan Abadi) harus menjadi landasan hukum menuntun ketiganya, secara alami, ke dalam kerangka hukum agama. Di antara hal-hal yang diakui dalam bagian ini adalah fakta bahwa kadang-kadang hukum agama memiliki tujuan spiritual dan pragmatis, seperti Cicero, ketika mengutip Hukum Dua Belas Tabel dan perintah mereka terhadap penguburan atau kremasi dalam pomerium, mengakui bahwa perintah tersebut adalah untuk menenangkan nasib untuk menghindari bencana. Setelah diskusi tentang hukum agama, dan dengan tujuan Cicero untuk mereplikasi prestasi Plato dengan melakukan diskusi menyeluruh tentang hukum dalam satu hari, mereka pindah ke hukum sipil dan susunan pemerintahan.[15]

Buku Ketiga

Buku ketiga, di mana manuskrip itu terputus, adalah pencacahan Cicero tentang pendirian pemerintah, yang bertentangan dengan hukum agama dari buku sebelumnya, bahwa ia akan mengadvokasi sebagai dasar bagi negara Romawi yang direformasi.[16]

Adapun garis besar Konstitusi yang diusulkan Cicero adalah sebagai berikut. Sistem Yudisial Cicero, yang percaya bahwa pengadilan seperti yang dia lihat terlalu terbuka untuk dirusak melalui penyuapan atau melalui praktik yang tajam (seperti yang dia alami sendiri dan gagal dalam kasus Gayus Verres), akan menempatkan persidangan kembali ke tangan rakyat pada umumnya, dengan Comitia Centuriata mengadili kasus-kasus di mana hukumannya adalah kematian atau pengasingan, dan Concilium Plebis mengadili semua kasus lainnya. Seorang hakim (Praetor atau bahkan Konsul) masih akan memimpin persidangan. Hakim yang sama kemudian, atas putusan bersalah, menjatuhkan hukuman kecuali mayoritas majelis yang relevan tidak setuju. Terkait hukum militer, Cicero berpendapat berbeda. Selama tugas militer, tidak seperti dalam pengadilan sipil, Cicero akan menghapus hak banding dari mereka yang dihukum karena melakukan kesalahan.[17]

Senat, dalam hukum Cicero, tidak lagi ada hanya sebagai badan penasihat, tetapi sekarang akan memegang otoritas legislatif yang sebenarnya, dan keputusan mereka akan mengikat. Setiap mantan hakim memiliki hak untuk masuk ke Senat. Dalam bagian selanjutnya dari dialog, Cicero membela demokrasi yang nyata dari perubahan dengan menyatakan bahwa Senat akan berfungsi sebagai penyeimbang bagi majelis rakyat yang populis dan demokratis. Lebih lanjut, Cicero akan memberlakukan ketentuan bahwa hanya orang-orang dengan perilaku dan reputasi yang benar-benar tidak bercela yang dapat tetap berada dalam senat. Cicero menyatakan harapan bahwa Senat yang direformasi dapat berfungsi sebagai contoh bagi negara Romawi lainnya dalam hal kejujuran, harmoni, kepentingan bersama, dan permainan yang adil. Keserakahan di Senat harus dihukum berat, oleh pandangan hukum Cicero. Ini bukan untuk menghukum keserakahan itu sendiri, tetapi karena keserakahan di Senat menghasilkan ketamakan dan perbedaan pendapat di antara orang-orang Romawi.[18]

________________________________

1.     "Marcus Tullius Cicero: Roman Statesman, Scholar, And Writer", John P.V. Dacre Balsdon, John Ferguson, Diakses pada 19 Mei 2019, https://www.britannica.com/biography/Cicero
2.     Ibid.
3.     Ibid.
4.     "Cicero", Diakses pada 19 Mei 2019, https://en.wikipedia.org/wiki/Cicero
5.     Ibid.
6.     Ibid.
7. "De Legibus", Diakses Pada 19 Mei 2019, https://en.wikipedia.org/wiki/De_Legibus
8.     Ibid.
9.     Ibid.
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Ibid.
13. Ibid.
14. Ibid.
15. Ibid.
16. Ibid.
17. Ibid.
18. Ibid.

Kamis, 25 April 2019

Warisan Satjipto Rahardjo Untuk Hukum Indonesia

(id.Wikipedia.org)

Oleh:
Tim Hukumindo

Satjipto Rahardjo

Tokoh berikut ini dikenal sebagai seorang akademisi ulung. Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., dilahirkan di Banyumas, tanggal 15 Desember 1930, adalah Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum-Universitas Diponegoro Semarang. Masyarakat mengenalnya sebagai seorang penulis yang produktif dan sebagian mengenalnya sebagai seorang yang memiliki pena emas yang tajam, sebagian lagi mengenalnya sebagai seorang analis masyarakat dan hukum yang kritis.[1]

Satjipto Rahardjo adalah putra tunggal dari Saleh Kartohoesodo, seorang Mantri Kesehatan di Semarang. Sejak membangun rumah tangga dengan Roesmala Dewi, putri dari dokter Gusti Hasan-Tanggerang, telah dikaruniai empat orang putra-putri ialah Paramita, Harimulyadi, Diah Utami Sandyarini dan Dian Riski Dinihari.[2] Lihat artikel lain dari penulis terkait hukum progresif di laman berikut.

Satjipto Rahardjo meninggal pada hari Jumat, tanggal 8 Januari 2010, di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta akibat penyakit Jantung, dalam usia 79 tahun. Jenazah guru besar emeritus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini dimakamkan di Pemakaman Keluarga Besar Univesitas Diponegoro di kawasan Tembalang, Kota Semarang.[3] Selamat jalan Prof. Tjip.


Paradigma Hukum Progresif

Sudah banyak murid dan para pengulas hukum progresif di Indonesia. Beragam literatur bisa disebutkan di sini terkait dengan paradigma hukum progresif Satjipto Rahardjo, diantaranya adalah berjudul:
  1. Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia;
  2. Penegakkan Hukum Progresif;
  3. Membedah Hukum Progresif;
  4. Menggagas Hukum Progresif Indonesia;
  5. Metodologi Penelitian Hukum Progresif;
  6. Masa Depan Hukum Progresif;
  7. Memahami Hukum Progresif;
  8. Dialektika Hukum Progresif;
  9. Satjipto Rahardjo: Sebuah Biografi Intelektual & Pertaruangan Tafsir Terhadap Hukum Progresif;
  10. Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif;
  11. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Perspektif Hukum Progresif;
  12. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif;
  13. Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Perspektif Hukum Progresif;
  14. Satjipto Rahardjo Dan Hukum Progresif, Urgensi Dan Kritik;
  15. Membumikan Hukum Progresif;
  16. Penyidikan Dan Penegakan Hukum Pidana, Melalui Pendekatan Hukum Progresif;
  17. Pilar-pilar Hukum Progresif;
  18. Pemaknaan Hukum Progresif;
  19. Mafia Hukum: Mengungkap Praktik Tersembunyi Jual Beli Hukum dan Alternatif Pemberantasannya dalam Perspektif Hukum Progresif;
  20. Teori Hukum Integratif;
  21. Biarkan Hukum Mengalir;
  22. Hukum Kata Kerja: Diskursus Filsafat Tentang Hukum Progresif;
  23. Kebijakan Hukum Pertanahan: Sebuah Refleksi Keadilan Hukum Progresif.
Penulis juga salah satu pengulas hukum progresif Satjipto Rahardjo, bahkan salah satu yang paling awal. Penulis adalah salah satu orang yang sangat beruntung dapat mewawancarai langsung almarhum pada kediamannya di Kota Semarang. Sebenarnya buku yang kemudian terbit berjudul: “Menyelami Semangat Hukum Progresif: Terapi Paradigmatik Bagi Lemahnya Hukum Indonesia”, AntonyLib, Yogyakarta, 2009, yang merupakan karangan Penulis adalah skripsi sebagai syarat meraih gelar Sarjana Filsafat di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Intinya adalah untuk menegakkan hukum di Indonesia yang lemah pasca Reformasi, ditawarkan paradigma berpikir alternatif oleh Satjipto Rahardjo berupa hukum progresif. Sebagai tawaran penyelesaian, hendaknya agar tegaknya hukum tidak terpaku pada pendekatan teks semata, namun melalui pendekatan sistemik yang lebih menyeluruh.

Warisan Satjipto Rahardjo Untuk Hukum Indonesia

Menurut hemat penulis, sebagai seorang akademisi, warisan terbesar Satjipto Rahardjo kepada dunia hukum Indonesia adalah berupa pemikiran. Pemikiran yang dimaksud adalah paradigma hukum progresif. Paradigma hukum progresif adalah seperangkat cara pandang/analisa/optik khas Satjipto Rahardjo terhadap objek hukum. Diantara ciri-ciri dominan paradigma hukum ini menurut hemat penulis adalah: sosiologis, kritis dan sistemik.

Memang salah satu khas pemikiran Satjipto Rahardjo adalah memandang hukum sebagai ilmu sosial, permasalahan hukum adalah sebagian dari permasalahan sosial-masyarakat. Dari kalangan yang bersebrangan (kalangan Positivistik-Legalistik), seringkali disindir bahwa Satjipto Rahardjo membicarakan hukum tanpa sedikitpun menyinggung Undang-undang. Kritis dalam artian menjadi penolak kondisi status quo yang dalam kondisi tidak ideal. Serta sistemik dalam artian menawarkan solusi atas permasalahan hukum dengan melibatkan aspek atau disiplin ilmu lain di luar hukum.

Dikarenakan warisan ini adalah berupa paradigma, lalu timbul pertanyaan apa paradigma hukum progresif ini telah menunjukan sumbangsihnya dalam praktik hukum? Jawabannya iya. Salah satu contoh sederhana adalah terkait terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP. Dengan aturan ini, kasus-kasus pencurian dengan nilai kerugian sangat minim seperti pencurian buah kakao oleh Mbok Minah dan pencurian 6 piring oleh Rasminah, dilarang ditahan di penjara. Hal ini adalah sebuah kemajuan. Paradigma hukum progresif kembali mengingatkan kita bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya manusia untuk hukum. 
________________________________
1.     "Biografi Nasional Di Daerah Jawa Tengah”, A.T. Soegito, Slamet Ds., Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983/1984, Hal.: 23. Lihat di laman: https://books.google.co.id/books?id=e23RCgAAQBAJ&pg=PA23&lpg=PA23&dq=satjipto+rahardjo%2Bbiografi&source=bl&ots=D4XDQtjtLt&sig=ACfU3U3egr4WTwOllf_B9BHk2u5eMG6xvw&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwjZ8_i7-d3hAhUUg-YKHR0NCtI4FBDoATAAegQIChAB#v=onepage&q=satjipto%20rahardjo%2Bbiografi&f=false
2.     A.T. Soegito, Slamet Ds., Ibid., Hal.: 24.
3.     "Satjipto Rahardjo Dimakamkan di Pemakaman Undip", www.kompas.com, https://nasional.kompas.com/read/2010/01/08/2056096/satjipto.rahardjo.dimakamkan.di.pemakaman.undip.

Minggu, 14 April 2019

Adnan Buyung Nasution dan Implikasi Revolusi Industri 4.0 Terhadap Lembaga Bantuan Hukum (LBH)

(id.Wikipedia.org)

Oleh:
Tim Hukumindo

Adnan Buyung Nasution


Adnan Buyung Nasution adalah pria kelahiran Jakarta, 20 Juli 1934, yang dikenal sebagai seorang advokat, pendiri Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, dan juga pernah menjabat sebagai anggota DPR/MPR. Tidak banyak yang tahu bahwa nama tengah Buyung sebenarnya adalah ‘Bahrum’. Pada akta kelahirannya, namanya tercatat sebagai Adnan Bahrum Nasution. Namun, Buyung menamai dirinya sebagai Adnan B. Nasution. Nama "Buyung" dia dapatkan karena dia sering dipanggil demikian oleh teman-teman dan kerabatnya. [1]

Selepas SMA, Buyung terdaftar sebagai mahasiswa Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun, satu tahun kemudian, Buyung pindah ke Fakultas Gabung Hukum, Ekonomi, dan Sosial Politik di Universitas Gajah Mada. Tidak lama kemudian, Buyung berpindah ke Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan di Universitas Indonesia. Di tiga universitas tersebut, Buyung aktif dalam kegiatan organisasi mahasiswa. [2]

Setelah lulus dari UI, Buyung meneruskan kuliah dan bekerja sebagai Jaksa di Kejaksaan Negeri Istimewa Jakarta. Selain itu, Buyung juga tetap aktif dalam kegiatan politik di Indonesia. Buyung tercatat sebagai pendiri dan Ketua Gerakan Pelaksana Ampera. Ketika terjadi peristiwa Gestapu, Buyung tercatat sebagai anggota Komando Aksi penggayangan Gestapu. Bahkan, Buyung sempat mendapatkan skorsing selama satu setengah tahun akibat ikut berdemonstrasi dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), dan dituduh sebagai anti revolusi. [3]

Setelah itu, Buyung dipindahtugaskan ke Manado. Namun demikian, Buyung ditempatkan di Medan. Hal tersebut membuat Buyung hengkang dan menganggur hingga setahun kemudian. Pada saat yang bersamaan. Buyung mendapatkan panggilan kembali untuk DPR/MPR. Setelah satu tahun menganggur, Buyung kemudian mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan membuka kantor pengacara (advokat). [4]

Adnan Buyung Nasution meninggal di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan, Rabu, 23 September 2015, pukul 10.15 WIB. Dia meninggal setelah setelah dirawat hampir lima hari. Buyung sebelumnya mengeluh sakit pada giginya. Adnan juga punya masalah di ginjal dan jantungnya. [5] Alm. Adnan Buyung Nasution dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir Jakarta Selatan.

Warisan Lembaga Bantuan Hukum (LBH)

Soal pendirian Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Buyung punya cerita menarik. Ketika ia menjadi jaksa dan bersidang di daerah-daerah terpencil, ia melihat orang-orang yang menjadi terdakwa pasrah menerima dakwaan yang ditimpakan kepadanya. Dari sana ia berpikir, orang-orang kecil yang buta hukum itu perlu dibantu. Menurut Buyung, penegakan hukum dan keadilan tak mungkin terjadi di Indonesia jika rakyat dari kalangan menengah ke bawah dalam posisi yang tidak seimbang. Persoalan ini mendorong Buyung untuk ambil peran sebagai orang yang membela mereka. [6]

Saat kuliah di Universitas Melbourne, Australia, ia melihat ada Lembaga Bantuan Hukum. Ia sadar, bantuan hukum itu ada pola, model, dan bentuknya. Pada 1969, Buyung kembali ke Indonesia. Ia menyampaikan ide pembuatan LBH kepada Kepala Kejaksaan Agung Soeprapto. Soeprapto memang memuji ide itu, tetapi menganggap belum waktunya diwujudkan. Buyung menyadari saat itu memang belum mendukung gagasan tersebut. [7] Hal yang penting di sini adalah bahwa Adnan Buyung Nasution memperoleh inspirasi pola, model dan bentuk bantuan hukum untuk masyarakat yang kurang mampu adalah ketika berkuliah di Australia.

Dalam otobiografinya, Adnan menceritakan tentang awal mula pendirian LBH. Dia bercerita bahwa pada mulanya ide tentang pendirian LBH dia kemukakan dalam kongres Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) III pada 18-20 Agustus 1969. Ternyata, ide ini didukung oleh kongres kemudian ditindaklanjuti oleh Adnan. [8]

Ia baru bisa merealisasikan idenya membentuk LBH setelah keluar dari Kejaksaan. Gagasannya mendapat dukungan dari sejumlah tokoh, antara lain Mochtar Lubis, Ali Sadikin, Ali Moertopo, bahkan Presiden RI ke-2 Soeharto. LBH resmi didirikan tanggal 28 Oktober 1970. Buyung pun tampil sebagai pemimpin LBH pertama kali. [9]

Pada peresmian kantor LBH di Jalan Ketapang, Ali Murtopo memberikan sumbangan lima sepeda motor untuk operasional. Banyak orang-orang yang mengkritik keputusan Buyung menerima bantuan Ali Murtopo. Namun Buyung menjawab bahwa dia percaya pada itikad baik Ali Murtopo. Sayangnya, pemberian motor itu hanya bagian dari politik kosmetik pemerintah Soeharto. Dia ingin membangun citra bahwa pemerintah Orba mendukung demokrasi, hukum, dan HAM. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Hal ini bisa dilihat dari keputusan Orba untuk menahan Buyung selama dua tahun tanpa peradilan dengan tuduhan sebagai dalang Malari. [10]

Pendirian LBH ini menjadi tonggak penting bahwa sebelum ada LBH, bantuan hukum untuk orang miskin adalah amal yang dilakukan pengacara sebagai individu. Namun, Buyung berpendapat bahwa bantuan hukum bisa dilakukan oleh lembaga. Karena itu, bantuan hukum tak lagi sekadar amal atau charity, melainkan tanggung jawab moral orang-orang yang mengerti hukum dan mesti diberikan sebaik-baiknya kepada setiap warga negara, terutama masyarakat miskin dan tak mampu. [11]


Menyambung pendapat di atas, hal penting dari warisan Adnan Buyung Nasution dalam kontribusinya terhadap dunia hukum di Indonesia adalah melembagakan bantuan hukum bagi kalangan yang kurang mampu. Pelayanan bantuan hukum tidak lagi dipandang sebagai kerja-kerja sosial non profit seorang advokat secara acak, namun disusun rapi dan terstruktur dalam sebuah badan hukum resmi yang menangani secara khusus hal dimaksud, hingga di kemudian hari menjadi sebuah gerakan. Sudah selayaknya kemudian Adnan Buyung Nasution disebut sebagai salah satu pelopor gerakan perkembangan bantuan hukum di Indonesia. Penulis berani mengatakan bahwa banyaknya pendirian Lembaga-lembaga bantuan hukum atau lembaga sejenisnya di berbagai bidang yang bersifat non profit, pasca kejatuhan Orde Baru, dan bahkan sampai sekarang adalah terinspirasi dari beliau.

Implikasi Revolusi Industri 4.0 Terhadap Lembaga Bantuan Hukum (LBH)

Masyarakat kita dan dunia hari ini telah memasuki gelombang revolusi industri yang ke empat. Apa yang dimaksud dengan revolusi industri yang populer dengan sebutan industri 4.0 ini? Bagaimana revolusi industri 4.0 ini berimplikasi terhadap Lambaga Bantuan Hukum (LBH)?

Apa yang dimaksud dengan revolusi industri 4.0? Revolusi industri 4.0 adalah tren terbaru teknologi yang sedemikian rupa canggihnya, yang berpengaruh besar terhadap proses produksi pada sektor manufaktur. Teknologi canggih tersebut termasuk artificial intelligence (AI), e-commerce, big data, fintech, shared economies, hingga penggunaan robot. Istilah industri 4.0 pertama kali diperkenalkan pada Hannover Fair 2011, yang ditandai dengan revolusi digital. [12]

Bob Gordon dari Universitas Northwestern, seperti dikutip Paul Krugman (2013), mencatat bahwa sebelumnya telah terjadi tiga revolusi industri. Pertama, ditemukannya mesin uap dan kereta api (1750-1830). Kedua, penemuan listrik, alat komunikasi, kimia dan minyak (1870-1900). Ketiga, penemuan komputer, internet dan telepon genggam (1960 hingga sekarang). Versi lain menyatakan bahwa revolusi industri ke tiga dimulai 1969, melalui munculnya teknologi informasi dan mesin otomasi. [13]


Lalu bagaimana revolusi industri 4.0 ini berimplikasi terhadap Lambaga Bantuan Hukum (LBH)? Menurut penulis, disadari atau tidak namun sangat sulit untuk ditolak, produk-produk revolusi industri 4.0 telah mempengaruhi kehidupan kita semua dalam skala yang massif, termasuk berimplikasi terhadap ranah profesi hukum serta tentunya mempunyai implikasi terhadap Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

Contoh sederhana adalah salah satu bentuk pelayanan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) berupa konsultasi hukum. Apa tujuan konsultasi hukum ini? Tujuannya sederhana, yaitu mendapatkan informasi hukum yang akurat dari sumber yang kompeten. Pada zaman sebelum revolusi industri 4.0 kalangan masyarakat kurang mampu harus datang langsung ke kantor-kantor lembaga bantuan hukum untuk mendapatkan informasi hukum. Saat ini, di era revolusi industri 4.0 masyarakat semua kalangan, termasuk yang kurang mampu, dimudahkan untuk mengakses berbagai informasi di internet, termasuk informasi hukum. Dalam masyarakat industri 4.0 kebutuhan akan informasi hukum telah berubah dari harus datang ke kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menjadi beli kuota internet, akses, tanya ke mesin pencari ‘Google’, klik domain yang relevan, baca, selesai. Dengan kata lain, eksistensi konsultan hukum pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) telah tergantikan sebagian peranannya oleh artificial intelligence (AI) mesin pencari ‘Google’.

Sepengalaman penulis di daerah-daerah, praktik peninggalan era sebelum revolusi industri 4.0 seperti fee lawyer dibarter dengan produk-produk pertanian oleh kalangan masyarakat yang kurang mampu guna mendapatkan bantuan hukum adalah lumrah. Mungkin saat ini dan akan datang, bisa saja praktik barter fee lawyer dangan ‘kuota internet’ atau ‘pulsa handphone’, yang harganya telah terjangkau oleh semua kalangan, menjadi hal yang lumrah untuk masyarakat kurang mampu mendapatkan akses bantuan hukum.

Lalu bagaimana kiranya masa depan Lembaga Bantuan Hukum (LBH)? Jika kita berpikir positif, dari sudut pandang ekonomi tujuan revolusi industri 4.0 ini adalah efisiensi proses produksi, menjadikan produk-produk industri menjadi lebih terjangkau dan kompetitif. Ke depan tidak ada yang tahu, hanya bisa diprediksi saja, namun kaitannya dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), akan ada segmen-segmen yang peranannya tergantikan oleh produk-produk revolusi industri seperti artificial intelligence (AI) di atas.
________________________________

1. "Adnan Buyung Nasution", www.merdeka.com, https://www.merdeka.com/adnan-buyung-nasution/profil/
2.        Ibid.
3.        Ibid.
4.        Ibid.
5. "Adnan Buyung Nasution", www.medcom.id., https://www.medcom.id/profile/adnan-buyung-nasution
6.        Ibid.
7.        Ibid.
8.        “Jalan Berliku Lembaga Bantuan Hukum: Berdiri atas restu Orde Baru lantas menjadi musuh Orde Baru”, www.historia.id., Nur Janti, 19 September 2017, https://historia.id/politik/articles/jalan-berliku-lembaga-bantuan-hukum-vZ5dB
9.        www.medcom.id., Op. Cit.
10.     www.historia.id., Op. Cit.
11.  "Adnan Buyung Nasution, Advokatnya Kaum Tertindas", www.tirto.id., 23 September 2015, https://tirto.id/adnan-buyung-nasution-advokatnya-kaum-tertindas-cw63
12. "Revolusi Industri 4.0", 10 April 2018, https://psekp.ugm.ac.id/2018/04/10/revolusi-industri-4-0/
13.   Ibid

Jumat, 12 April 2019

Mochtar Kusumaatmadja Turut Menjadikan Pemberantasan Illegal Fishing Menteri Susi Pudjiastuti Terlaksana

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pemberantasan Illegal Fishing Menteri Susi

Sejak awal menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan di era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Susi Pudjiastuti cukup rajin memberantas illegal fishing. Selain dianggap merugikan negara, pencurian ikan juga membuat nelayan kehilangan banyak hasil tangkapannya. Susi mengungkapkan, sejak Oktober 2014 hingga Agustus 2018, sebanyak 488 kapal pencuri ikan ditenggelamkan. Adapun rinciannya, kapal berbendera Vietnam sebanyak 276 kapal, Filipina 90 kapal, Thailand 50 kapal, Malaysia 41 kapal, Indonesia 26 kapal, Papua Nugini 2 kapal, Tiongkok 1 kapal, Belize 1 kapal, dan tanpa negara 1 kapal. Dia menyebutkan, kapal-kapal tersebut banyak melakukan pelanggaran menangkap ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPPRI) tanpa SIUP, SIKPI, dan SIPI. Mereka juga menangkap ikan dengan menggunakan alat penangkapan ikan yang dilarang dan merusak lingkungan. [1]

Lanjutnya, “Penenggelaman ini dilakukan di 11 lokasi seluruh Indonesia,” ungkap Susi. Adapun 11 wilayah tersebut yakni Pontianak sebanyak 11 kapal, Cirebon 6 kapal, Bitung 15 kapal, Aceh 3 kapal, Tarakan 2 kapal, Belawan 7 kapal, Merauke 1 kapal, Natuna/Ranai 40 kapal, Ambon 1 kapal, Batam 9 kapal, dan Tarempa/Anambas 23 kapal. Susi menambahkan, penenggelaman kapal dilakukan berdasarkan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap untuk 116 kapal dan berdasarkan penetapan pengadilan untuk 9 kapal. “Kapal-kapal yang ditenggelamkan mayoritas merupakan kapal perikanan berbendera asing dengan jumlah 120 kapal. Sementara itu, kapal perikanan berbendera Indonesia berjumlah 5 kapal,” tuturnya. [2]



Menurut hemat penulis, menteri Kelautan dan Perikanan yang satu ini adalah menteri yang paling memberi dampak positif pada jabatan yang diembannya. Atas alasan apa? Karena menteri-menteri sebelumnya tidak terdengar upaya-upaya semacam ini, entah karena tidak kompeten dengan jabatan yang diembannya, atau karena memang tidak cukup berani. Hal ini layak untuk diapresiasi. Meskipun demikian, prestasi atas pemberantasan illegal fishing di era Menteri Susi ini tidak akan terlaksana jika tidak ada Mochtar Kusumaatmadja. Siapa beliau? Apa relevansinya dengan pemberantasan illegal fishing Menteri Susi ini?

Visi Hukum Mochtar Kusumaatmadja

Lahir di Batavia, 17 Februari 1929 adalah seorang akademisi dan diplomat Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman dari tahun 1974 sampai 1978 dan Menteri Luar Negeri dari tahun 1978 sampai 1988. Riwayat Pendidikan Tinggi: S1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta (1955). S2 Sekolah Tinggi Hukum Yale, Amerika Serikat (1958). S3 Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung (1962). S3 Universitas Chicago, Amerika Serikat (1966). Perjalanan karier: Wakil Indonesia pada Konperensi Hukum Laut, Jenewa, Colombo, Tokyo (1958-1961). Wakil Indonesia pada Sidang PBB mengenai Hukum Laut, Jenewa dan New York. Guru Besar dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung. Menteri Kehakiman Kabinet Pembangunan II (1973-1978). Menteri Luar Negeri Kabinet Pembangunan III dan IV (1978-1983 dan 1983-1988). [3]

Mochtar Kusumaatmadja sering dikaitkan sebagai tokoh sentral penyiapan rancangan ‘Deklarasi Djuanda’, tentunya dengan tidak mengecilkan peran Djoeanda Kartawidjaja. Deklarasi Djuanda adalah tonggak sejarah yang penting bagi perjuangan bangsa Indonesia paska kemerdekaan dalam meneguhkan kedaulatan wilayah NKRI.  Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, belum mampu menyatukan wilayah nusantara yang terdiri dari pulau-pulau yang dipisahkan oleh lautan seperti Indonesia saat ini.  Namun pada hari itu, 13 Desember 1957, Perdana Menteri Djuanda menyatakan bahwa pemerintah Indonesia memiliki “kedaulatan mutlak” atas semua perairan yang berada di garis pangkal lurus yang ditarik di antara pulau-pulau terluar Indonesia. Garis-garis pangkal lurus ini, meliputi semua pulau yang membentuk negara, membentuk Indonesia—tanahnya dan lautan yang di atasnya pemerintah Indonesia menegaskan kedaulatan—menjadi satu wilayah tunggal untuk pertama kalinya. [4]

Deklarasi ini membuat kaget dan marah kekuatan maritim Barat terutama Belanda.  Karena acuan mereka adalah Teritoriale Zeen en Maritieme Kringen Ordonantie 1939—Undang Undang Laut buatan Belanda tahun 1939—atau disingkat Ordonantie 1939. Dalam peraturan Belanda tersebut, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut sejauh tiga mil dari garis pantai. Mereka khawatir implikasi Deklarasi Djuanda terhadap pergerakan kapal-kapal bebas melalui kepulauan dan akses ke daerah penangkapan ikan di perairan yang sekarang diklaim oleh Indonesia. Selain akan membatasi mobilitas angkatan laut mereka dan mengganggu pelayaran internasional. [5]

Namun bagi Indonesia, Deklarasi Djuanda tidak hanya menunjukan keinginan untuk menciptakan kedaulatan negara sebagai suatu entitas fisik.  Tapi juga menandai perjuangan diplomasi Indonesia selama 25 tahun hingga diperolehnya pengakuan internasional pada tahun 1982. Ketika United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) ke-III, secara resmi mengakui keberadaan negara-negara yang dikenal sebagai negara kepulauan, dan menyatakan bahwa negara-negara ini memiliki kedaulatan atas perairan kepulauannya. [6]

Arti penting deklarasi Juanda dalam tabel:


Dasar Hukum
Akibat Hukum

1.
Teritoriale Zeen en Maritieme Kringen Ordonantie 1939—Undang Undang Laut buatan Belanda tahun 1939—atau disingkat Ordonantie 1939.
Kapal asing boleh dengan bebas mengarungi laut yang memisahkan pulau-pulau, dihitung sejauh 3 mil dari garis pantai.


2.
(a). Deklarasi Djuanda; (b). UU No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia; (c). United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) ke-III, tahun 1982; (d). UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982.
Akibatnya yaitu luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² sebelum deklarasi menjadi 5.193.250 km² setelah deklarasi. [7] Sehingga kapal asing yang mengarungi laut-laut antar pulau di nusantara memasuki wilayah NKRI dan bukan kawasan bebas.

Sederhananya, Deklarasi Djuanda merubah secara radikal wilayah negara republik Indonesia menjadi lebih luas, dari negara yang wilayahnya hanya termasuk daratan gugusan pulau-pulau, menjadi negara dengan wilayah berupa daratan atas gugusan pulau-pulau ditambah lautan antar pulau. Catatan penting penulis adalah: Laut, pasca Deklarasi Djuanda, dalam wilayah teritorial indonesia bukanlah sebagai wilayah pemisah antar pulau, sebaliknya justru sebagai pemersatu wilayah antar pulau.



Deklarasi Djuanda Turut Menjadikan Pemberantasan Illegal Fishing Menteri Susi Terlaksana

Apa relevansi Mochtar Kusumaatmadja dengan pemberantasan illegal fishing Menteri Susi? Telah terjawab secara tidak langsung bahwa pemberantasan illegal fishing di era Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti hampir tidak dimungkinkan terlaksana jika tidak ada Deklarasi Djuanda. Salah satu tokoh penting yang menyiapkan Deklarasi Djuanda adalah Mochtar Kusumaatmadja, yang mengenalkan konsep wilayah teritorial negara kepulauan (Archipelagic State) dan memperjuangkannya melalui diplomasi internasional selama puluhan tahun.

Saat ini, sebagaimana telah di bahas di atas, mayoritas kapal-kapal asing pelaku illegal fishing ditangkap kemudian ditenggelamkan di wilayah-wilayah laut Indonesia penghasil ikan seperti Tarakan, Belawan, Merauke, Natuna/Ranai, Ambon, Batam, dan Tarempa/Anambas. Tanpa Deklarasi Djuanda, armada laut Indonesia hanya dapat menindak kapal asing sejauh 3 mil dari batas pantai. Sedangkan dengan adanya Deklarasi Djuanda, hal mana laut antar pulau menjadi wilayah Indonesia, menjadikan penindakan atas illegal fishing yang dilakukan mayoritas kapal asing menjadi terlaksana secara legal. Sehingga sudah sepantasnya atas keberhasilan pemberantasan illegal fishing ini, Menteri Susi Pudjiastuti memberikan penghargaan atau minimal mengucapkan terima kasih kepada Mochtar Kusumaatmadja dan juga alm. Djoeanda Kartawidjaja atas perannya dalam memberikan landasan hukum awal bagi terlaksananya hal dimaksud. Salam.

__________________
Catatan kaki:

1.  "Wow, 488 Kapal Pencuri Ikan Ditenggelamkan Menteri Susi Dalam 4 Tahun", www.jawapos.com, 21 Agustus 2018, https://www.jawapos.com/ekonomi/finance/21/08/2018/wow-488-kapal-pencuri-ikan-ditenggelamkan-menteri-susi-dalam-4-tahun/
2.  Ibid.
3.  "Mochtar Kusumaatmadja", www.wikipedia.org. https://id.wikipedia.org/wiki/Mochtar_Kusumaatmadja
4.  Deklarasi Djuanda dan Visi Mochtar Kusumaatmadja”, www.setkab.go.id., Eko Sulistyo, https://setkab.go.id/deklarasi-djuanda-dan-visi-mochtar-kusumaatmadja/
5.  Ibid.
6.  Ibid.
7.  Deklarasi Djuanda”, www.wikipedia.org. https://id.wikipedia.org/wiki/Deklarasi_Djuanda

Basic Requirements for Foreign Direct Investment in Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Suspect Still Underage, Murder Case in ...