Tampilkan postingan dengan label Praktik Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Praktik Hukum. Tampilkan semua postingan

Senin, 11 Mei 2020

Kuasa Menurut Hukum


(iStock)


Oleh:
Tim Hukumindo

Masih pada bahasan tentang kuasa, redaksi Hukumindo.com, sebelumnya telah disinggung mengenai jenis-jenis kuasa, dan kini akan dibahas mengenai Kuasa Menurut Hukum. 

Kuasa menurut hukum disebut juga wettelijke vertegenwoordig atau legal mandatory (legal representative). Maksudnya, undang-undang sendiri telah menetapkan seseorang atau suatu badan dengan sendirinya menurut hukum bertindak mewakili orang atau badan tersebut tanpa memerlukan surat kuasa.[1]

Di bawah ini dideskripsikan beberapa kuasa menurut hukum yang dapat bertindak mewakili kepentingan orang atau badan tanpa memerlukan surat kuasa khusus dari orang atau badan tersebut, yaitu:[2] 
  1. Wali terhadap anak di Bawah Perwalian, berdasarkan ketentuan Pasal 51 Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
  2. Kurator atau Orang yang Tidak Waras, berdasarkan Pasal 229 HIR.
  3. Orang Tua terhadap Anak yang Belum Dewasa, berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (2) Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
  4. BPH sebagai Kurator Kepailitan, berdasarkan Pasal 13 ayat (1) huruf "b" Undang-undang Nomor: 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan dan PKPU.
  5. Direksi atau Pengurus Badan Hukum, disini direksi atau pemimpin (pengurus) Badan Hukum berkedudukan dan berkapasitas sebagai kuasa menurut hukum (legal mandatory) mewakili kepentingan badan hukum yang bersangkutan (Perseroan Terbatas, Yayasan, Koperasi).
  6. Direksi BUMN, disini menyangkut perseroan terbatas yang seluruh atau sedikitnya 51% saham yang dikeluarkan, dimiliki oleh negara melalui penyertaan modal secara langsung.
  7. Pimpinan Perwakilan Perusahaan Asing, perkembangan hukum di Indonesia, telah membenarkan "pimpinan perwakilan" perusahaan asing, berkedudukan dan berkapasitas sebagai kuasa menurut hukum untuk mewakili kepentingan kantor perwakilan perusahaan tersebut di dalam dan di luar pengadilan tanpa memerlukan surat kuasa khusus dari kantor pusat (head office) yang ada di luar negeri.
  8. Pimpinan Cabang Perusahaan Domestik, dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 779 K/Pdt/1992, bahwa "pimpinan cabang suatu bank berwenang bertindak untuk dan atas pimpinan pusat tanpa memerlukan surat kuasa untuk itu".
Demikian untuk dimaklum. 
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 8.
2. Ibid. Hal.: 8-12.

Sabtu, 09 Mei 2020

Jenis-jenis Kuasa

(iStock)


Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya terkait dengan surat kuasa ini, telah dibahas mengenai kuasa mutlak yang diperbolehkan dan yang dilarang. Pada gilirannya kini, akan dibahas mengenai jenis-jenis kuasa. 

  1. Kuasa Umum, diatur dalam Pasal 1795 KUHPerdata. Menurut pasal ini, kuasa umum bertujuan memberi kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuasa, yaitu: a). Melakukan tindakan pengurusan harta kekayaan pemberi kuasa; b). Pengurusan itu, meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan pemberi kuasa atas harta kekayaannya; c). Dengan demikian titik berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan pengurusan kepentingan pemberi kuasa. Dengan demikian, dari segi hukum, kuasa umum adalah pemberian kuasa mengenai kepengurusan, yaitu disebut beherder atau manajer untuk mengatur kepentingan pemberi kuasa.[1]
  2. Kuasa Khusus, diatur dalam Pasal 1795 KUHPerdata. Menjelaskan bahwa pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Bentuk inilah yang menjadi landasan pemberian kuasa untuk bertindak di depan Pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai pihak principal.[2]
  3. Kuasa Istimewa, diatur dalam Pasal 1796 KUHPerdata. Selanjutnya, ketentuan pemberian kuasa istimewa dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBg. Jika ketentuan pasal-pasal ini dirangkai, diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kuasa khusus tersebut sah menurut hukum sebagai kuasa istimewa. Syarat yang dimaksud adalah: a). Bersifat limitatif, yaitu terbatas untuk tindakan tertentu yang sangat penting; b). Harus berbentuk akta otentik, menurut Pasal 123 HIR, surat kuasa istimewa hanya dapat diberikan dalam bentuk surat yang sah, R. Soesilo menafsirkannya dalam bentuk akta otentik.[3]
  4. Kuasa Perantara, diatur dalam Pasal 1792 KUHPerdata dan Pasal 62 KUHD. Kuasa perantara disebut juga sebagai agen (agent). Dengan kata lain disebut sebagai agen perdagangan atau makelar. Disebut juga broker atau "perwakilan dagang".[4]
Dalam praktinya, kuasa umum dipergunakan untuk kegiatan sehari-hari seperti menunjuk seseorang guna mengurus perihal kekayaan kita atau sejenisnya yang dapat dinilai dengan uang. Sedangkan untuk kuasa khusus adalah kuasa yang lazim dipergunakan ketika beracara di pengadilan dalam mengurus perkara. Kuasa istimewa sifatnya sangat penting, hingga harus menggunakan akta otentik, dalam artian pemberian kuasa ini dihadapan pejabat yang berwenang. Dan terakhir, kuasa perantara sering dipergunakan dalam lapangan bisnis untuk menunjuk agen, atau perwakilan dagang.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 6.
2. Ibid. Hal.: 7.
3. Ibid. Hal.: 7-8.
4. Ibid. Hal.: 8.

Senin, 04 Mei 2020

Kuasa Mutlak Yang Diperbolehkan Dan Yang Dilarang

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Bahwa sebelumnya telah dibahas mengenai "Pengertian Kuasa Secara Umum", "Sifat Perjanjian Kuasa" dan "Berakhirnya Kuasa", dan kini akan dibahas mengenai kuasa mutlak yang diperbolehkan dan yang dilarang.

Kuasa Mutlak Yang Diperbolehkan

Untuk menghindari ketidakpastian pemberian kuasa, dihubungkan dengan hak pemberi kuasa untuk dapat mencabut secara sepihak pada satu sisi, serta hak penerima kuasa untuk melepas secara sepihak di sisi lain, lalu lintas pergaulan hukum telah memperkenalkan dan membenarkan pemberian kuasa mutlak. Perjanjian kuasa seperti ini, diberi judul "kuasa mutlak", yang memuat klausul: a). Pemberi kuasa tidak dapat mencabut kembali kuasa yang diberikan kepada penerima kuasa; b). Meninggalnya pemberi kuasa, tidak mengakhiri perjanjian pemberian kuasa.[1]

Kedua bentuk klausul di atas merupakan ciri terciptanya persetujuan kuasa mutlak. Klausul itu menyingkirkan ketentuan Pasal 1813 KUHPerdata, sehingga ada yang berpendapat, persetujuan kuasa mutlak bertentangan dengan hukum. Akan tetapi, pendapat itu dikesampingkan dalam praktik peradilan yang membenarkan persetujuan yang demikian. Diperbolehkannya membuat persetujuan kuasa mutlak, bertitik tolak dari prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang digariskan Pasal 1338 KUHPerdata. Asas ini menegaskan, para pihak bebas mengatur kesepakatan yang mereka kehendaki, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Pasal 1337 KUHPerdata, yaitu kesepakatan itu tidak mengandung hal yang dilarang oleh undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.[2]

Pendapat dan pendirian itu, dipedomani yurisprudensi. Salah satu diantaranya, adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3604 K/Pdt/1985. Putusan ini merupakan penegasan ulang atas pertimbangan hukum yang dikemukakan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 731 K/Sip/1975, yang antara lain menyatakan:[3]
  • Surat kuasa mutlak, tidak dijumpai aturannya dalam KUHPerdata. Namun demikian, yurisprudensi mengakui keberadaannya sebagai suatu syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, atau menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, atau disebut juga perpetual and usual or customary condition.
  • Putusan Mahkamah Agung Nomor: 731 K/Sip/1975 telah menegaskan ketentuan Pasal 1813 KUHPerdata, tidak bersifat limitatif dan juga tidak bersifat mengikat. Oleh karena itu, jika para pihak dalam perjanjian menghendaki, dapat disepakati agar pemberian kuasa tidak dapat dicabut kembali. Pendirian ini didasarkan pada doktrin bahwa pasal-pasal hukum perjanjian adalah hukum yang bersifat mengatur (additional law).
  • Begitu juga meninggalnya pemberi kuasa dikaitkan dengan surat kuasa mutlak, telah diterima pendapatnya di Indonesia sebagai sesuatu yang telah bestendig, sehingga dianggap tidak bertentangan dengan Pasal 1339 dan Pasal 1347 KUHPerdata.

Kuasa Mutlak Yang Dilarang

Perlu diingat, tidak semua urusan dapat dilakukan kuasa mutlak, terdapat larangan yang dimuat dalam Instruksi Mendagri Nomor: 14 Tahun 1982. Bahwa Notaris dan PPAT dilarang memberi surat kuasa mutlak dalam transaksi jual-beli tanah. Pemilik tanah dilarang memberi kuasa mutlak kepada kuasa untuk menjual tanah miliknya. Alasan larangan itu, dijelaskan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2584 K/Pdt/1986 (14-4-1988), yang mengatakan: surat kuasa mutlak, mengenai jual beli tanah, tidak dapat dibenarkan karena dalam praktik sering disalahgunakan untuk menyeludupkan jual beli tanah.[4]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 5.
2. Ibid. Hal.: 5.
3. Ibid. Hal.: 5-6.
4. Ibid. Hal.: 6.

Minggu, 03 Mei 2020

Berakhirnya Kuasa

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada artikel sebelumnya telah dibahas mengenai Pengertian Kuasa Secara Umum dan Sifat Perjanjian Kuasa, dan kini sebagai kelanjutannya akan dibahas terkait berakhirnya kuasa.
Pasal 1813 KUHPerdata, membolehkan berakhirnya perjanjian kuasa secara sepihak atau unilateral. Ketentuan ini secara diametral bertentangan dengan Pasal 1338 KUHPerdata ayat (2) yang menegaskan, persetujuan tidak dapat ditarik atau dibatalkan secara sepihak, tetapi harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (secara bilateral).[1]

Adapun hal-hal yang dapat mengakhiri pemberian kuasa menurut Pasal 1813 KUHPerdata adalah sebagai berikut:[2]

  1. Pemberi Kuasa Menarik Kembali secara Sepihak, Pasal 1814 KUHPerdata mengatur mengenai pemberian kuasa dapat menarik kembali secara sepihak dengan acuan: a). Pencabutan tanpa memerlukan persetujuan dari penerima kuasa; b). Pencabutan dapat dilakukan secara tegas dalam bentuk: 1. Mencabut secara tegas dengan tertulis; dan 2). Meminta kembali surat kuasa, dari penerima kuasa; Dan c). Pencabutan kuasa secara diam-diam, berdasarkan Pasal 1816 KUHPerdata. Caranya dengan menunjuk kuasa baru untuk melaksanakan urusan yang sama.
  2. Salah Satu Pihak Meninggal Dunia, Pasal 1813 KUHPerdata menegaskan, dengan meninggalnya salah satu pihak dengan sendirinya pemberian kuasa berakhir demi hukum.
  3. Penerima Kuasa Melepas Kuasa, Pasal 1817 KUHPerdata memberi hak secara sepihak kepada kuasa untuk melepaskan (op zegging) kuasa yang diterimanya, dengan syarat: a). Harus memberitahu kehendak itu kepada Pemberi Kuasa; b). Pelepasan tidak boleh dilakukan pada saat yang tidak layak. Terakhir ini berdasarkan perkiraan apakah pelepasan itu dapat menimbulkan kerugian kepada pemberi kuasa.

Kesimpulan, berakhirnya suatu kuasa dapat dengan jalan, yaitu: pemberi menariknya secara sepihak, salah satu pihak meninggal dunia, dan penerima kuasa melepas kuasanya.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 4.
2. Ibid. Hal.: 4-5.

Sabtu, 02 Mei 2020

Sifat Perjanjian Kuasa

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Artikel sebelumnya telah membahas tentang "Pengertian Kuasa secara Umum", dan selanjutnya pada artikel ini akan dibahas mengenai sifat dari perjanjian kuasa.

Terdapat beberapa sifat pokok yang dianggap penting untuk diketahui terkait dengan perjanjian kuasa, yaitu:[1]
  1. Penerima kuasa langsung berkapasitas sebagai wakil Pemberi Kuasa, pemberian kuasa tidak hanya bersifat mengatur hubungan internal antara pemberi kuasa dan penerima kuasa. Akan tetapi, hubungan hukum itu langsung menerbitkan dan memberi kedudukan serta kapasitas kepada kuasa menjadi wakil penuh (full power) pemberi kuasa. Hal ini berarti: a). Memberi hak dan kewenangan kepada kuasa, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa terhadap pihak ketiga. b). Tindakan kuasa tersebut langsung mengikat kepada diri pemberi kuasa, sepanjang tindakan yang dilakukan kuasa tidak melampauai batas kewenangan yang dilimpahkan. c). Dalam ikatan hubungan hukum yang dilakukan kuasa dengan pihak ketiga, pemberi kuasa berkedudukan sebagai pihak materiil atau principal atau pihak utama, dan penerima kuasa berkedudukan dan berkapasitas sebagai pihak formil.
  2. Pemberian kuasa bersifat konsensual, sifat perjanjian atau persetujuan kuasa adalah konsensual, yaitu perjanjian berdasarkan kesepakatan (agreement) dalam arti: a). Hubungan pemberian kuasa, bersifat partai yang terdiri dari pemberi dan penerima kuasa; b). Hubungan hukum itu dituangkan dalam perjanjian pemberian kuasa, berkekuatan mengikat sebagai persetujuan di antara mereka (kedua belah pihak); dan c). Oleh karenanya, pemberian kuasa harus dilakukan berdasarkan pernyataan kehendak yang tegas dari kedua belah pihak.
  3. Berkarakter garansi kontrak, ukuran untuk menentukan kekuatan mengikat tindakan kuasa kepada principal (pemberi kuasa), hanya terbatas: a). Sepanjang kewenangan (volmacht) atau mandat yang diberikan oleh pemberi kuasa; b). Apabila kuasa bertindak melampaui batas mandat, tanggung jawab pemberi kuasa hanya sepanjang tindakan, yang sesuai dengan mandat yang diberikan. Sedang pelampauan itu menjadi tanggungjawab kuasa, sesuai dengan asas "garansi-kontrak" yang digariskan Pasal 1806 KUHPerdata. Dengan demikian, hal-hal yang dapat diminta tanggungjawab pelaksanaan dan pemenuhannya kepada pemberi kuasa, hanya sepanjang tindakan yang sesuai dengan mandat atau instruksi yang diberikan, di luar itu menjadi tanggung jawab kuasa.

____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 2-3.

Jumat, 01 Mei 2020

Pengertian Kuasa Secara Umum

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terkait dengan surat kuasa, Hukumindo.com pernah memposting mengenai "Contoh Surat Pencabutan Kuasa", dan pada kesempatan ini akan mulai membahas tentang pengertian kuasa secara umum.

Secara umum, surat kuasa tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam Bab Keenam Belas, Buku III KUHPerdata, sedang aturan khususnya diatur dan tunduk pada ketentuan hukum acara yang digariskan HIR dan RBG.[1]


Untuk memahami pengertian kuasa secara umum, dapat dirujuk pada Pasal 1792 KUHPerdata, yang berbunyi:[2]
"Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan."
Bertitik tolak dari ketentuan pasal tersebut, dalam perjanjian kuasa, terdapat dua pihak yang terdiri dari:[3]
  • Pemberi kuasa atau lastgever (mandate);
  • Penerima kuasa atau disingkat kuasa, yang diberi perintah atau mandat melakukan segala sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Lembaga hukumnya disebut pemberian kuasa atau lastgeving (volmacht, full power), jika:[4]
  • Pemberi kuasa melimpahkan perwakilan atau mewakilkan kepada penerima kuasa untuk mengurus kepentingannya, sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang ditentukan dalam surat kuasa;
  • Dengan demikian, penerima kuasa (lastheber, mandatory) berkuasa penuh, bertindak mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga untuk dan atas nama pemberi kuasa;
  • Oleh karena itu, pemberi kuasa bertanggung jawab atas segala perbuatan kuasa sepanjang perbuatan yang dilakukan kuasa tidak melebihi wewenang yang diberikan pemberi kuasa. 

Dengan kata lain, menurut hemat penulis, kuasa dapat dipahami sebagai pemberian suatu amanah atas dasar hukum untuk menyelenggarakan suatu urusan dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 1.
2. Ibid. Hal.: 2.
3. Ibid. Hal.: 2.
4. Ibid. Hal.: 2.

Kamis, 30 April 2020

Tutorial Membuat Gugatan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan terdahulu telah dibahas mengenai elemen-elemen "formulasi gugatan" yang meliputi 7 (tujuh) elemen sebagai berikut:
  1. Ditujukan (Dialamatkan) Kepada PN Sesuai dengan Kompetensi Relatif;
  2. Diberi Tanggal;
  3. Ditandatangani Penggugat atau Kuasa;
  4. Identitas Para Pihak;
  5. Fundamentum Petendi;
  6. Petitum Gugatan; dan
  7. Perumusan Gugatan Asesor (Accesoir);

Tiba saatnya kini untuk merangkainya menjadi satu dalam sebuah tutorial membuat surat gugatan. 


Dengan kata lain, artikel-artikel terdahulu sebagaimana di atas pada dasarnya adalah sebuah teori bermuatan praktik yang membahas mengenai elemen-elemen sebuah surat gugatan.

Sebaliknya pada artikel ini akan berisi sebagai "kerja tutorial" membuat sebuah surat gugatan.

Pada situs ini (hukumindo.com), sebelumnya juga pernah menyinggung tentang "Cara Membuat Surat Gugatan Perceraian (Tangerang)" dan juga telah pernah disinggung mengenai "Cara Membuat Surat Gugatan Perceraian (Jakarta)", akan tetapi pada kedua artikel dimaksud belum lengkap, dikarenakan belum disertai dengan teori-teori yang membahas mengenai elemen-elemen sebuah surat gugatan sebagaimana dimaksud di atas. Dikarenakan kedua artikel di atas telah dipublikasikan sebelumnya, waktu itu dimaksudkan semata-mata untuk membantu para pencari keadilan guna beracara secara mandiri.

OK! langsung saja kita mulai.

Artikel Nomor 1 dan Nomor 2 di atas, yaitu Ditujukan (Dialamatkan) Kepada PN Sesuai dengan Kompetensi Relatif dan Diberi Tanggal sebenarnya jangan terlalu kaku dilakukan perunutan. Hanya saja, karena ilmu dimaksud adalah dikutip dari sebuah sumber yang kredibel, kita sebagai audience juga pantas menghormatinya. 

Praktinya, tentu saja sebelum kita mengetik sebuah surat gugatan, yang menyusun konsep sudah harus tahu terlebih dahulu kemana gugatan itu akan dialamatkan, baru kemudian menggunakan komputer diketik dan selanjutnya diberi tanggal kapan gugatan tersebut akan didaftarkan. Sehingga, apabila dicontohkan adalah sebagai berikut:

"Tangerang, 10 April 2020"

"Kepada Yth.: 

Ketua Pengadilan Agama Tigaraksa

Jl. Atiek Soeardi, Kadu Agung, 
Komp. Pemda Kab. Tangerang, 
Banten-15720."



Menurut penulis, contoh di atas masih belum cukup, terlalu minimalis.

Sebagai salah seorang praktisi hukum, tentu bisa dirancang sebuah kepala surat gugatan yang lebih baik. Misalkan dengan menambahkan item-item seperti Judul surat, nomor surat dan perihal surat. Contoh sebagai berikut:

"GUGATAN


Tangerang, 10 April 2020

Nomor: 99/PMH/4/2020
Perihal: Gugatan Perceraian

Kepada Yth.: 
Ketua Pengadilan Agama Tigaraksa
Jl. Atiek Soeardi, Kadu Agung, 
Komp. Pemda Kab. Tangerang, 
Banten-15720."


Jika dibandingkan kedua contoh di atas, rasanya untuk contoh yang kedua lebih lengkap. Meskipun demikian, perlu dicermati bahwa ketentuan undang-undang tidak menyebut surat gugatan harus mencantumkan judul surat, nomor surat, perihal surat, bahkan tanggal surat.

Artikel selanjutnya adalah penandatanganan gugatan. Penulis menunda artikel ini ke tempat terakhir. Alasannya kenapa? Mudah saja, karena penandatanganan gugatan dilakukan pada bagian akhir!

Selanjutnya adalah perihal identitas para pihak. Identitas para pihak adalah penting, karena ia merupakan salah satu syarat formil gugatan. 

Akan tetapi, perlu diingat bahwa hanya diwajibkan mencantumkan nama dan alamat saja. Dua hal itu saja yang pokok. Sedangkan penyebutan identitas lain adalah tidak wajib! Perhatikan contoh berikut:

Contoh identitas Penggugat tanpa menyewa Advokat:

"Yang bertanda tangan di bawah ini:

AISYAH Binti FULAN, Tempat/Tanggal Lahir: Jakarta/1 Maret 1975, Agama: Islam, Pekerjaan: Karyawan Swasta, Alamat: Jalan Jalak VI/Blok A.9/12, RT: 003/009, Kelurahan: Pondok Ranji, Kecamatan: Ciputat Timur, Kota: Tangerang Selatan – Banten.............................Selanjutnya disebut sebagai Penggugat."

Contoh identitas Penggugat dengan menyewa Advokat:

"Kami yang bertandatangan di bawah ini:

1. Udin Madudin, S.H.
2. Zainal Lubis, S.H.

Kesemuanya adalah Advokat dan Konsultan Hukum yang beralamat kantor di UMZL & Partners dengan Alamat Kantor di: Jalan Cikapudung 19, Blok 9-18, RT/RW: 2/2, Depok - Jawa Barat, bertindak untuk dan atas nama Klien kami AISYAH Binti FULAN, Tempat/Tanggal Lahir: Jakarta/1 Maret 1975, Pekerjaan: Karyawan Swasta, Alamat: Jalan Jalak VI/Blok A.9/12, RT: 003/009, Kelurahan: Pondok Ranji, Kecamatan: Ciputat Timur, Kota: Tangerang Selatan – Banten, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 1 April 2020..............................................Selanjutnya disebut sebagai Penggugat."

Contoh identitas Tergugat:

"Penggugat dengan ini mengajukan Gugatan Perceraian melawan:

KAREEM Bin FULAN, umur: 48 tahun, agama: Islam, pekerjaan Karyawan Swasta, Alamat: Jalan Parkit VI/Blok C.8/12, RT/RW: 002/009, Kelurahan : Pondok Betung, Kecamatan: Ciputat, Kota: Tangerang Selatan – Banten.....................................Selanjutnya mohon disebut sebagai Tergugat.

Setelah membahas mengenai identitas para pihak, selanjutnya kita akan membuat posita gugatan atau fundamentum petendi. Merujuk pada teknis hukum acara, maka yang dimaksud dengan posita gugatan ini adalah dasar tuntutan. 

Akan tetapi, untuk memudahkan pemahaman, anggap saja fundamentum petendi adalah semacam tubuh gugatan yang isinya adalah kronologi atau peristiwa hukum dan dasar hukumnya. Ingat ya, isinya hanya dua, yaitu kronologi dan hukumnya!

Kronologi atau peristiwa hukum tidaklah pernah berdiri sendiri, dalam praktik, ia adalah rangkaian peristiwa. Dapat dicontohkan di sini, dikarenakan contoh surat gugatan adalah berkaitan dengan perceraian, maka urutan peristiwanya tidak serta-merta salah satu pihak ingin pisah, akan tetapi harus dirunut ke belakang sampai dengan ketika terjadinya perkawinan.

Harus diingat ya, sebuah kronologi yang baik adalah berisikan rangkaian peristiwa hukum yang lengkap! Setelah lengkap, baru dicari pendasaran hukumnya! Sehingga akhirnya dapat dikatakan sebagai fundamentum petenti/posita gugatan. Lihat contoh berikut:

"Adapun posita gugatan/fundamentum petendi Penggugat adalah sebagaimana terurai di bawah ini:
  1. Penggugat dan Tergugat adalah pasangan suami-isteri yang melangsungkan pernikahan pada tanggal _________ Masehi bertepatan dengan tanggal _________ Hijriah dan tercatat pada Kantor Urusan Agama (KUA) _________, sesuai dengan Kutipan Akta Nikah Nomor: 185/54/__ /1999 tanggal __ Mei 1999.
  2. Perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat dilangsungkan berdasarkan kehendak kedua belah pihak dengan tujuan membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang diridhoi oleh Allah S.W.T.
  3. Setelah pernikahan sebagaimana dimaksud di atas, Penggugat dan Tergugat kemudian tinggal bersama di Jalan Jalak VI/Blok A.9/12, RT: 003/009, Kelurahan: Pondok Ranji, Kecamatan: Ciputat Timur, Kota: Tangerang Selatan – Banten.
  4. Bahwa, selama pernikahan antara Penggugat dengan Tergugat telah berhubungan sebagaimana layaknya suami-isteri dan telah dikaruniai 1 (satu) orang anak, yaitu: DEWI PERSIK, Jenis Kelamin: Perempuan, Lahir Tanggal: 4 Juli 2004, Kutipan Akta Kelahiran diterbitkan oleh Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Tangerang Nomor: 8998/2004.
  5. Pada mulanya rumah tangga Penggugat dengan Tergugat dalam keadaan rukun, namun sejak ± hamil anak semata wayang Penggugat dan Tergugat mulai terjadi percekcokan, ketentraman rumah tangga Penggugat dengan Tergugat mulai goyah, yaitu antara Penggugat dengan Tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang penyebabnya antara lain adalah sebagai berikut: a). Tergugat suka main perempuan; b). Keluarga Tergugat suka turut campur urusan rumah tangga kami.
  6. Adapun puncak perselisihan antara Penggugat dengan Tergugat terjadi sekitar bulan Agustus 2019 yang menyebabkan Penggugat dengan Tergugat Pisah Rumah, otomatis sejak saat itu, hubungan antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak lagi selayaknya pasangan suami-isteri.
  7. Terkait masalah rumah tangga yang dihadapi, Penggugat telah mencoba melakukan musyawarah dengan keluarga besar Penggugat dan Tergugat untuk mencari penyelesaian, akan tetapi usaha tersebut gagal.
  8. Bahwa, ikatan perkawinan Penggugat dan Tergugat sebagaimana yang telah diuraikan di atas sulit dibina kembali untuk membentuk suatu rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah sebagaimana tujuan perkawinan, sehingga lebih baik diputus karena perceraian.
  9. Berdasarkan hal-hal sebagaimana tersebut di atas, gugatan Penggugat guna mengajukan gugatan perceraian terhadap Tergugat atas dasar Pertengkaran yang terjadi terus menerus dan tidak mungkin hidup rukun dalam suatu ikatan perkawinan, telah memenuhi unsur Pasal 19 huruf “f” Peraturan Pemerintah Nomor: 9 Tahun 1975 Jo. Pasal 116 huruf “f” dan “h” Kompilasi Hukum Islam, sehingga berdasar hukum untuk menyatakan Gugatan Cerai dikabulkan.
  10. Bahwa, untuk memenuhi ketentuan Pasal 84 ayat (1) Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1989 yang diubah oleh Undang-undang Nomor: 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama serta Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor: 28/TUADA-AG/X/2002 tanggal 22 Oktober 2002 memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Tigaraksa untuk mengirimkan Salinan Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap kepada Kantor Urusan Agama di tempat tinggal Penggugat dan Tergugat dan Kantor Urusan Agama tempat perkawinan Penggugat dan Tergugat untuk dicatat dalam register yang tersedia untuk itu.
  11. Penggugat sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat perceraian ini."
Perhatikan contoh di atas, jika dilakukan penyederhanaan, maka kronologi kasus sederhana di atas adalah bermula dari nomor 1 dan berakhir di nomor 8. Intinya adalah pada awalnya terjadi perkawinan antara Penggugat dengan tergugat, sampai kemudian rumah tangganya tidak dapat diperbaiki lagi hingga kemudian memutuskan untuk bercerai.

Selanjutnya, mana yang dimaksud dengan aspek hukumnya? Lihat pada nomor 8 dan 9. Itu saja aspek hukumnya. Pertama adalah alasan perceraian dikarenakan terjadinya pertengkaran secara terus menerus, dan kedua, dalam hal gugatan dikabulkan, maka dimohonkan untuk dikirimkan salinan putusannya ke institusi terkait.

Pembahasan mengenai fundamentum petendi/posita gugatan dirasa telah cukup.

Saatnya ke pembahasan mengenai petitum gugatan. Istilah sederhananya adalah tuntutan. Perlu diperhatikan, petitum gugatan adalah salah satu syarat formil sebuah gugatan. Tanpa mengajukan petitum maka gugatan anda tidak sah. Setelah anda bercerita mengenai kronologi perkara secara panjang lebar di posita gugatan, selanjutnya anda meminta/menuntut kepada majelis hakim mengenai apa yang anda inginkan, itulah petitum!

Contoh petitum gugatan adalah sebagaimana berikut:

"Berdasarkan hal-hal sebagaimana diuraikan di atas, Penggugat mohon kepada Ketua Pengadilan Agama Tigaraksa untuk memutus dengan petitum sebagai berikut:

Primair:
  1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
  2. Menjatuhkan talak satu ba’in sughra Tergugat (KAREEM Bin FULAN) terhadap Penggugat (AISYAH Binti FULAN).
  3. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Tigaraksa untuk mengirimkan salinan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap kepada Kantor Urusan Agama di tempat tinggal Penggugat dan Tergugat dan Kantor Urusan Agama tempat Penggugat dan Tergugat untuk dicatat dalam register yang tersedia untuk itu;
  4. Menetapkan biaya-biaya menurut hukum.

Subsidair:


Atau, apabila Ketua Pengadilan Agama Tigaraksa berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (Ex Aquo et Bono)."

Sebagaimana telah disinggung pada artikel tentang petitum sebelumnya, yang lazim dipakai dalam praktik adalah yang formulasinya secara alternatif. Atau dengan kata lain, terdiri dari tuntutan primair dan subsidair. 

Tuntutan primair adalah tuntutan yang sifatnya pokok, dalam hal ini baik untuk memenuhi maksud Penggugat (meminta perceraian & dicatatkan perceraiannya) dan juga tuntutan pokok dalam hal harus ada untuk memenuhi formalitas dalam berpraktik, seperti frase "mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya" dan atau frase "menetapkan biaya-biaya menurut hukum".

Sedangkan yang dimaksud dengan tuntutan subsidair adalah frase "memohon keadilan" dari Penggugat.

Setelah membuat petitum gugatan, yang kemudian harus dipahami juga adalah terkait gugatan asesor/tambahan. Tuntutan tambahan bertujuan untuk melengkapi tuntutan pokok agar kepentingan Penggugat terjamin dilaksanakan. Jika dikembalikan kepada contoh di atas, maka contoh konkrit disini adalah dicatatkannya perceraian Penggugat pada institusi terkait dalam hal gugatan dikabulkan (petitum primair nomor 3).

Posita gugatan dan petitum gugatan telah selesai dibahas!

Yang terakhir adalah menandatangani surat gugatan! Pada praktiknya, tanda tangan dibubuhkan di bagian akhir surat gugatan dengan memberi tempat antara Penggugat dengan nama Penggugat atau Kuasa hukumnya. Lihat contoh di bawah ini:

Contoh tempat tandatangan tanpa menyewa Advokat:

"Penggugat

Ttd.

(AISYAH Binti FULAN)"

Contoh tempat tandatangan dengan menyewa Advokat:

"Kuasa Hukum Penggugat

Ttd.

(Udin Madudin, S.H.)"

Sebagai tambahan, pada umumnya, meskipun tidak ada kewajiban hukum, dalam hal menggunakan jasa advokat, di atas tandatangan para advokat yang tertera dalam surat gugatan juga dibubuhi stempel kantor hukumnya.  

Selesai, surat gugatan andapun telah cukup!

Setelah dilakukan step-by-step tutorial formulasi membuat gugatan di atas, dan dilakukan sedikit penyempurnaan oleh penulis, maka selanjutnya adalah melihat hasil kerja anda secara menyeluruh dalam satu uraian yang tidak terputus sebagai berikut:


"GUGATAN

Tangerang, 10 April 2020

Nomor: 99/PMH/4/2020
Perihal: Gugatan Perceraian

Kepada Yth.: 
Ketua Pengadilan Agama Tigaraksa
Jl. Atiek Soeardi, Kadu Agung, 
Komp. Pemda Kab. Tangerang, 
Banten-15720."


Assalamualaikum Wr. Wb.

Yang bertanda tangan di bawah ini:

AISYAH Binti FULAN, Tempat/Tanggal Lahir: Jakarta/1 Maret 1975, Agama: Islam, Pekerjaan: Karyawan Swasta, Alamat: Jalan Jalak VI/Blok A.9/12, RT: 003/009, Kelurahan: Pondok Ranji, Kecamatan: Ciputat Timur, Kota: Tangerang Selatan – Banten.............................Selanjutnya disebut sebagai Penggugat.

Penggugat dengan ini mengajukan Gugatan Perceraian melawan:

KAREEM Bin FULAN, umur: 48 tahun, agama: Islam, pekerjaan Karyawan Swasta, Alamat: Jalan Parkit VI/Blok C.8/12, RT/RW: 002/009, Kelurahan : Pondok Betung, Kecamatan: Ciputat, Kota: Tangerang Selatan – Banten.....................................Selanjutnya mohon disebut sebagai Tergugat.

Adapun posita gugatan/fundamentum petendi Penggugat adalah sebagaimana terurai di bawah ini:
  1. Penggugat dan Tergugat adalah pasangan suami-isteri yang melangsungkan pernikahan pada tanggal _________ Masehi bertepatan dengan tanggal _________ Hijriah dan tercatat pada Kantor Urusan Agama (KUA) _________, sesuai dengan Kutipan Akta Nikah Nomor: 185/54/__ /1999 tanggal __ Mei 1999.
  2. Perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat dilangsungkan berdasarkan kehendak kedua belah pihak dengan tujuan membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang diridhoi oleh Allah S.W.T.
  3. Setelah pernikahan sebagaimana dimaksud di atas, Penggugat dan Tergugat kemudian tinggal bersama di Jalan Jalak VI/Blok A.9/12, RT: 003/009, Kelurahan: Pondok Ranji, Kecamatan: Ciputat Timur, Kota: Tangerang Selatan – Banten.
  4. Bahwa, selama pernikahan antara Penggugat dengan Tergugat telah berhubungan sebagaimana layaknya suami-isteri dan telah dikaruniai 1 (satu) orang anak, yaitu: DEWI PERSIK, Jenis Kelamin: Perempuan, Lahir Tanggal: 4 Juli 2004, Kutipan Akta Kelahiran diterbitkan oleh Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Tangerang Nomor: 8998/2004.
  5. Pada mulanya rumah tangga Penggugat dengan Tergugat dalam keadaan rukun, namun sejak ± hamil anak semata wayang Penggugat dan Tergugat mulai terjadi percekcokan, ketentraman rumah tangga Penggugat dengan Tergugat mulai goyah, yaitu antara Penggugat dengan Tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang penyebabnya antara lain adalah sebagai berikut: a). Tergugat suka main perempuan; b). Keluarga Tergugat suka turut campur urusan rumah tangga kami.
  6. Adapun puncak perselisihan antara Penggugat dengan Tergugat terjadi sekitar bulan Agustus 2019 yang menyebabkan Penggugat dengan Tergugat Pisah Rumah, otomatis sejak saat itu, hubungan antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak lagi selayaknya pasangan suami-isteri.
  7. Terkait masalah rumah tangga yang dihadapi, Penggugat telah mencoba melakukan musyawarah dengan keluarga besar Penggugat dan Tergugat untuk mencari penyelesaian, akan tetapi usaha tersebut gagal.
  8. Bahwa, ikatan perkawinan Penggugat dan Tergugat sebagaimana yang telah diuraikan di atas sulit dibina kembali untuk membentuk suatu rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah sebagaimana tujuan perkawinan, sehingga lebih baik diputus karena perceraian.
  9. Berdasarkan hal-hal sebagaimana tersebut di atas, gugatan Penggugat guna mengajukan gugatan perceraian terhadap Tergugat atas dasar Pertengkaran yang terjadi terus menerus dan tidak mungkin hidup rukun dalam suatu ikatan perkawinan, telah memenuhi unsur Pasal 19 huruf “f” Peraturan Pemerintah Nomor: 9 Tahun 1975 Jo. Pasal 116 huruf “f” dan “h” Kompilasi Hukum Islam, sehingga berdasar hukum untuk menyatakan Gugatan Cerai dikabulkan.
  10. Bahwa, untuk memenuhi ketentuan Pasal 84 ayat (1) Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1989 yang diubah oleh Undang-undang Nomor: 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama serta Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor: 28/TUADA-AG/X/2002 tanggal 22 Oktober 2002 memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Tigaraksa untuk mengirimkan Salinan Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap kepada Kantor Urusan Agama di tempat tinggal Penggugat dan Tergugat dan Kantor Urusan Agama tempat perkawinan Penggugat dan Tergugat untuk dicatat dalam register yang tersedia untuk itu.
  11. Penggugat sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat perceraian ini.
Berdasarkan hal-hal sebagaimana diuraikan di atas, Penggugat mohon kepada Ketua Pengadilan Agama Tigaraksa untuk memutus dengan petitum sebagai berikut:

Primair:
  1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
  2. Menjatuhkan talak satu ba’in sughra Tergugat (KAREEM Bin FULAN) terhadap Penggugat (AISYAH Binti FULAN).
  3. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Tigaraksa untuk mengirimkan salinan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap kepada Kantor Urusan Agama di tempat tinggal Penggugat dan Tergugat dan Kantor Urusan Agama tempat Penggugat dan Tergugat untuk dicatat dalam register yang tersedia untuk itu;
  4. Menetapkan biaya-biaya menurut hukum.

Subsidair:


Atau, apabila Ketua Pengadilan Agama Tigaraksa berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (Ex Aquo et Bono).

Wassalamualaikum, Wr. Wb.


Hormat saya,
Penggugat

Ttd.

(AISYAH Binti FULAN)"


Selamat mencoba!

Note: pada dasarnya semua struktur tulisan surat gugatan adalah sama, serumit dan sepelik apapun kasusnya. Secara garis besar isi surat gugatan ini hanya ada dua, pertama posita gugatan dan kedua petitum gugatan. Untuk meningkatkan keterampilan ini, penulis menyarankan untuk memperbanyak latihan dan menambah jam praktik.

Rabu, 29 April 2020

Gugatan Tambahan (Asesor)

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Artikel ini adalah bagian akhir dari topik mengenai "Formulasi Gugatan", sebelumnya telah dibahas dari "Kemana gugatan ditujukan" sampai dengan "Petitum Gugatan".

Yang dimaksud dengan gugatan asesor adalah gugatan tambahan, atau bahasa lebih kerennya adalah additional claim. Tujuannya adalah untuk melengkapi gugatan pokok agar kepentingan Penggugat lebih terjamin meliputi segala hal yang dibenarkan hukum dan perundang-undangan.[1]

Adapun syarat gugatan asesor adalah: a). Tidak dapat berdiri sendiri; dan b). Kebolehan dan keberadaannya hanya dapat ditempatkan dan ditambahkan dalam gugatan pokok. Tanpa gugatan pokok, gugatan asesor tidak dapat diajukan dan diminta. Landasannya adalah gugatan pokok, dan dicantumkan dalam akhir uraian gugatan pokok. Syarat gugatan asesor: 1). Merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan gugatan pokok; 2). Antara gugatan pokok dengan gugatan tambahan harus saling mendukung; 3). Gugatan tambahan sangat erat kaitannya dengan gugatan pokok maupun dengan kepentingan Penggugat.[2]

Jika ditinjau dari ketentuan perundang-undangan dan praktik peradilan, maka ada beberapa jenis gugatan asesor, yaitu:[3]
  1. Gugatan provisi, berdasarkan Pasal 180 ayat (1) HIR, pasal ini memberikan hak kepada Penggugat agar pengadilan negeri menjatuhkan putusan provisi, yang diambil sebelum perkara pokok diperiksa. Misalnya, menghentikan tindakan Tergugat meneruskan Pembangunan, menghentikan tindakan Tergugat menjual barang objek perkara, dan sebagainya.
  2. Gugatan Tambahan Penyitaan Berdasarkan Pasal 226 dan Pasal 227 HIR, penyitaan merupakan tindakan yang dilakukan pengadilan untuk menempatkan harta kekayaan Tergugat atau barang objek sengketa berada dalam keadaan disita (beslag), untuk menjaga kemungkinan barang-barang itu dihilangkan atau diasingkan Tergugat, selama proses perkara berlangsung. Tujuannya, agar gugatan tidak sia-sia, apabila nanti gugatan dikabulkan. Contoh: Conservatoir beslaag (CB), revindicatoir beslaag, dan maritaal beslaag
  3. Gugatan Tambahan Permintaan Nafkah, berdasarkan Pasal 24 ayat (2) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor: 9 Tahun 1975. 

Jika disimpulkan, gugatan asesor ini adalah semacam gugatan tambahan sebagai pelengkap, gunanya adalah untuk menjamin gugatan pokok dijalankan dalam hal nanti dikabulkan oleh pengadilan negeri.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 67.
2. Ibid. Hal.: 67-68.
3. Ibid. Hal.: 68.
4. Ibid. Hal.: 68.

Selasa, 28 April 2020

Petitum Gugatan

(getty images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya terkait dengan "Formulasi Gugatan" telah dibahas mengenai: a). "Kemana Gugatan Ditujukan?", kemudian juga dibahas mengenai b). "Pemberian Tanggal Gugatan"dan c). "Gugatan Ditandatangani", d). "Identitas Para Pihak Dalam Gugatan" dan e). "Posita Gugatan". Sebagai kelanjutannya, pada kesempatan ini akan dibahas Petitum Gugatan.

Syarat formulasi gugatan yang lain adalah petitum gugatan. Agar gugatan sah, dengan kata lain tidak mengandung cacat formil, harus mencantumkan petitum gugatan, yang berisi pokok tuntutan Penggugat, berupa deskripsi yang jelas yang menyebut satu per satu dalam akhir gugatan tentang hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan Penggugat kepada Tergugat.[1]

Petitum mempunyai bentuk-bentuk: 1. Bentuk tunggal, yaitu apabila deskripsi yang menyebut satu per satu pokok tuntutan, tidak diikuti dengan susunan deskripsi petitum lain yang bersifat alternatif atau subsidair. Perlu di ingat, bahwa bentuk petitum tunggal tidak boleh hanya berbentuk 'mohon keadilan' semata, tetapi harus rincian satu per satu. Petitum yang hanya memohon keadilan tidak memenuhi syarat formil dan materiil petitum, akibatnya gugatan mengandung cacat formil, sehingga gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima. 2. Bentuk alternatif, yaitu petitum primair dan subsidair sama-sama dirinci, kemudian ada juga petitum primair dirinci, diikuti dengan petitum subsidair berbentuk compositur atau ex-aequo et bono.[2] Dalam praktiknya, penulis belum pernah menemukan bentuk petitum tunggal, lazimnya yang petitum berbentuk alternatif, itupun bentuk alternatif yang kedua dengan berbentuk petitum primair dirinci, diikuti dengan petitum subsidair berbentuk compositur atau ex-aequo et bono, inilah yang lazim ditemui dalam dunia praktik beracara.

Dalam beracara, harus juga diperhatikan mengenai berbagai petitum yang tidak memenuhi syarat, yaitu:[3]
  1. Tidak menyebut secara tegas apa yang diminta atau Petitum bersifat umum;
  2. Petitum tuntutan ganti rugi tetapi tidak dirinci dalam gugatan tidak memenuhi syarat;
  3. Petitum yang bersifat negatif, Tidak dapat dikabulkan;
  4. Petitum tidak sejalan dengan dalil gugatan;
Hal lain yang perlu disinggung adalah terkait dengan penerapan petitum oleh Pengadilan: 1). Petitum primer dikaitkan dengan Ex-Aequo Et Bono, berarti hakim tidak boleh melebihi materi pokok perkara, dan tidak boleh merugikan tergugat. 2). Hakim berwenang mengurangi petitum, dalam arti hakim pengadilan tidak diwajibkan mengabulkan semua yang diminta dalam petitum. 3. Tidak dapat mengabulkan yang tidak diminta dalam Petitum, hal ini berarti hakim pengadilan hanya mengabulkan yang diminta dengan tegas saja, tidak di luar itu.

____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 63.
2. Ibid. Hal.: 63-64.
3. Ibid. Hal.: 64-66.

Minggu, 26 April 2020

Posita Gugatan/Fundamentum Petendi

(getty images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan sebelumnya terkait dengan "Formulasi Gugatan" telah dibahas mengenai: "Kemana Gugatan Ditujukan?", kemudian juga dibahas mengenai "Pemberian Tanggal Gugatan", dan "Gugatan Ditandatangani" serta "Identitas Para Pihak Dalam Gugatan". Sebagai kelanjutannya, pada kesempatan ini akan dibahas sesuai judul, yaitu mengenai posita gugatan.

Fundamentum petendi, berarti dasar gugatan atau dasar tuntutan. Dalam praktik peradilan terdapat beberapa istilah yang akrab digunakan, antara lain: a). Positum atau bentuk jamak disebut posita gugatan; b). Dalam bahasa Indonesia disebut sebagai dalil gugatan.[1]

Posita gugatan merupakan landasan pemeriksaan dan penyelesaian perkara. Pemeriksaan dan penyelesaian tidak boleh menyimpang dari dalil gugatan. Juga sekaligus memikulkan beban wajib bukti kepada Penggugat untuk membuktikan dalil gugatan sesuai dengan Pasal 1865 KUHPerdata dan Pasal 163 HIR, yang menegaskan bahwa setiap orang yang mendalilkan sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya maupun membantah hak orang lain, diwajibkan membuktikan hak atau peristiwa tersebut.[2]

Unsur posita gugatan/fundamentum petendi dijabarkan untuk menghindari terjadinya perumusan dalil gugatan yang kabur. Sehubungan dengan itu, posita gugatan dianggap lengkap jika memenuhi syarat, memuat dua unsur:[3]
  1. Dasar Hukum, yaitu memuat penegasan atau penjelasan mengenai hubungan hukum antara penggugat dengan materi atau objek yang disengketakan, dan antara Penggugat dengan Tergugat berkaitan dengan materi atau objek sengketa.
  2. Dasar Fakta, yaitu memuat penjelasan peristiwa yang berkaitan langsung dengan hukum yang terjadi antara Penggugat dengan materi objek perkara, dan penjelasan fakta-fakta yang berkaitan langsung dengan dasar hukum yang didalilkan Penggugat.
Praktiknya, menyusun sebuah posita gugatan yang baik bukanlah perkara mudah. Setidaknya sepengalaman penulis, memerlukan jam terbang cukup untuk sampai pada skill hukum yang baik dalam menyusun hal dimaksud.

Dalam uraian berikut ini, terdapat beberapa masalah dalil gugatan yang dianggap tidak memenuhi atau tidak memiliki landasan hukum:[4]
  1. Pembebasan Pemidanaan atas Laporan Tergugat, tidak dapat dijadikan Dasar Hukum Menuntut Ganti Rugi;
  2. Dalil gugatan berdasarkan Perjanjian Tidak Halal;
  3. Gugatan tuntutan ganti rugi atas Perbuatan Melawan Hukum berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata mengenai Kesalahan Hakim dalam Melaksanakan Fungsi Peradilan, Dianggap Tidak Mempunyai Dasar Hukum;
  4. Dalil gugatan yang tidak berdasarkan Sengketa, Dianggap tidak mempunyai dasar hukum;
  5. Tuntutan ganti rugi atas Sesuatu hasil tidak dirinci berdasarkan Fakta, Dianggap gugatan yang tidak mempunyai Dasar Hukum;
  6. Dalil Gugatan yang mengandung saling pertentangan;
  7. Hak Atas Objek Gugatan Tidak Jelas. 
Perhatikan benar angka 1 sampai dengan 7 di atas, jika gugatan anda masuk dalam salah satunya, maka perbuatan hukum anda sia-sia belaka karena termasuk dalam kualifikasi tidak mempunyai landasan hukum.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 57.
2. Ibid. Hal.: 57.
3. Ibid. Hal.: 58.
4. Ibid. Hal.: 58-63.

Identitas Para Pihak Dalam Gugatan

(getty images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan sebelumnya telah dibahas mengenai "Gugatan Ditandatangani" juga telah dibahas tentang "Pemberian Tanggal Gugatan", dan telah disinggung juga perihal "Kemana Gugatan Ditujukan?" sebagai bagian dari pembahasan mengenai topik "Formulasi Surat Gugatan".

Sebagai kelanjutan dari topik formulasi gugatan, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai identitas para pihak dalam sebuah surat gugatan. Penyebutan identitas dalam surat gugatan merupakan syarat formil keabsahan gugatan. Surat gugatan yang tidak menyebut identitas para pihak, apalagi tidak menyebut identitas Tergugat, menyebabkan gugatan tidak sah dan dianggap tidak ada.[1]


Identitas yang harus disebut dalam surat gugatan bertitik tolak dari ketentuan Pasal 118 ayat (1) H.I.R. Identitas yang harus dicantumkan cukup memadai sebagai dasar untuk: a). Menyampaikan panggilan; b). Menyampaikan pemberitahuan.[2] Sangat sederhana, cukup dua kriteria sebagaimana disebut di atas, maka cukup memenuhi kriteria dimaksud.

Dengan demikian, tujuan utama pencantuman identitas agar dapat disampaikan panggilan dan pemberitahuan, identitas yang wajib disebut, cukup meliputi:[3]
  1. Nama Lengkap, termasuk alias atau gelar jika memang ada. Dalam hal penulisan nama perseroan, harus lengkap dan jelas, sesuai dengan akta pendirian perusahaan dan perubahannya yang tercantum secara resmi.
  2. Alamat atau Tempat Tinggal, identitas lain yang mutlak dicantumkan adalah mengenai alamat atau tempat tinggal tergugat atau para pihak. Yang dimaksud dengan alamat meliputi: alamat kediaman pokok, bisa juga alamat kediaman tambahan atau tempat tinggal riil. Sedangkan bagi perseroan, dapat diambil dari NPWP, Anggaran Dasar, Izin Usaha atau Papan Nama. Perlu dipahami di sini, perubahan alamat setelah gugatan diajukan tidak mengakibatkan gugatan cacat formil, oleh karena itu tidak dapat dijadikan eksepsi atas hal dimaksud. Dan apabila alamat tergugat tidak diketahui, tidak menjadi hambatan bagi Penggugat untuk mengajukan Gugatan. Pasal 390 ayat (3) HIR telah mengantisipasi kemungkinan dimaksud dalam bentuk panggilan umum oleh Wali Kota atau Bupati.
  3. Penyebutan Identitas Lain Tidak Imperatif, adalah tidak dilarang mencantumkan identitas tergugat yang lengkap, meliputi umur, pekerjaan, agama, jenis kelamin, dan suku bangsa. Lebih lengkap tentunya lebih baik dan lebih pasti. Akan tetapi, hal itu jangan diterapkan secara sempit, yang menjadikan pencantuman identitas secara lengkap sebagai syarat formil. Karena tidak mudah mendapat identitas tergugat secara lengkap.

Guna membandingkannya pada tataran praktik, ada baiknya kita melihat contoh sebagaimana berikut:



Dari contoh di atas, pada dasarnya yang sangat penting dalam konteks identitas gugatan hanyalah nama dan tempat tinggal. Meskipun bisa dilakukan perubahan gugatan, dalam hal ini perubahan alamat, ada baiknya, alamat yang dicantumkan adalah lengkap, dimulai dari Nomor rumah, nama jalan, RT/RW, Kelurahan/Desa, Kecamatan, dan Kabupaten/Kota serta Provinsi. Hal ini tentunya untuk mempermudah proses pemanggilan. Jika setelah dilakukan pemanggilan oleh Juru Sita ternyata tempat keliru, maka dalam praktik akan diminta untuk dilakukan perbaikan gugatan. 

____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 53.
2. Ibid. Hal.: 54-56.
3. Ibid. Hal.: 54-57. 

Not Paying 3 Months' Rent, Man Allegedly Locked by Apartment Owner Until He Starved to Death

( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Expired Indonesia Driving License Can be E...