Tampilkan postingan dengan label Kuliah Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kuliah Hukum. Tampilkan semua postingan

Senin, 30 September 2019

Istilah Dan Pengertian Kesalahan (Schuld)

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah kita lalui kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Pengertian Perbuatan Pidana Dan Strafbaar Feit’, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Istilah dan Pengertian Kesalahan (Schuld).

Seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang bersifat melawan hukum, atau melakukan sesuatu perbuatan mencocoki dalam rumusan undang-undang hukum pidana sebagai perbuatan pidana, belumlah berarti bahwa dia langsung dipidana. Dia mungkin dipidana, yang tergantung kepada kesalahannya.[1]

Dapat dipidananya seseorang, terlebih dahulu harus ada dua syarat yang menjadi satu keadaan, yaitu perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana, dan perbuatan yang dilakukan itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai sendi kesalahan. Putusan untuk menjatuhkan pidana harus ditentukan adanya perbuatan pidana dan adanya kesalahan yang terbukti dari alat bukti dengan keyakinan Hakim terhadap seorang tertuduh yang dituntut di muka pengadilan.[2]

Vos menjelaskan bahwa tanpa sifat melawan hukumnya perbuatan tidaklah mungkin dipikirkan adanya kesalahan, namun sebaliknya sifat melawan hukumnya perbuatan mungkin ada tanpa adanya kesalahan. Prof. Moeljatno, S.H., menyatakan lebih baik dengan kalimat, bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana, tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana tidak selalu dia dapat dipidana.[3]

Istilah kesalahan berasal dari kata “schuld”, yang sampai saat sekarang belum resmi diakui sebagai istilah ilmiah yang mempunyai pengertian pasti, namun sudah sering dipergunakan di dalam penulisan-penulisan.[4]

Apakah pengertian kesalahan itu, menurut pandangan para ahli hukum pidana? Ternyata terdapat keanekaragaman pendapat mengenai apa yang dimaksud pengertian kesalahan.[5]

Menurut Jonkers di dalam keterangan tentang “schuldbegrip” membuat pembagian atas tiga bagian dalam pengertian kesalahan yaitu:[6]
  1. Selain kesengajaan atau kealpaan (opzet of schuld);
  2. Meliputi juga sifat melawan hukum (de wederrechtelijkheid);
  3. dan kemampuan bertanggung jawab (de toerekenbaarheid).
Pompe berpendapat bahwa pengertian kesalahan mempunyai tanda sebagai hal yang tercela (verwijtbaarheid) yang pada hakikatnya tidak mencegah (vermijdbaarheid) kelakuan yang bersifat melawan hukum (der wederrechtelijke gedraging). Kemudian dijelaskan pula tentang hakikat tidak mencegah kelakuan yang bersifat melawan hukum (vermijdbaarheid der wederrechtelijke gedraging) di dalam perumusan hukum positif, di situ berarti mempunyai kesengajaan dan kealpaan (opzet en onachtzaamheid) yang mengarah kepada sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan kemampuan bertanggungjawab (toerekenbaarheid).[7]

Kedua pengertian tentang kesalahan tersebut di atas tampak sekali di dalam bidang kesalahan terselip elemen melawan hukum. Pendapat ini sebenarnya bertentangan dengan pandangan mengenai elemen melawan hukum seharusnya terletak pada bidang perbuatan pidana. Kemudian untuk lebih menyesuaikan dengan pandangan tentang perbuatan pidana dipisahkan dari kesalahan dengan unsurnya masing-masing, berikut ini dikemukakan dari beberapa ahli hukum yang berpandangan lain daripada yang tersebut lebih dahulu. Vos memandang pengertian kesalahan mempunyai tiga tanda khusus yaitu:[8]
  1. Kemampuan bertanggungjawab dari orang yang melakukan perbuatan (toerekeningsvatbaarheid van de dader);
  2. Hubungan batin tertentu dari orang yang berbuat, yang perbuatannya itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan;
  3. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapus pertanggungjawaban bagi si pembuat atas perbuatannya.  
_________________________________
1. “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 135.
2.  Ibid. Hal.: 135.
3.  Ibid. Hal.: 135.
4.  Ibid. Hal.: 135.
5.  Ibid. Hal.: 136.
6.  Ibid. Hal.: 136.
7.  Ibid. Hal.: 136.
8.  Ibid. Hal.: 136-137.

Rabu, 18 September 2019

Pengertian Perbuatan Pidana Dan Strafbaar Feit

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah kita lalui kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Istilah dan Perbuatan Pidana’, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Pengertian Perbuatan Pidana dan Strafbaar Feit.

Perlu dijelaskan dahulu adanya penafsiran yang sama atau yang berbeda mengenai pengertian “perbuatan pidana” dan “tindak pidana”. Selain pengertian yang diajukan oleh Jonkers, juga telah dikembangkan pengertian perbuatan pidana yang terpisah dari pertanggungjawaban pidana, sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Moeljatno.[1]

Konsekuensi dari rumusan strafbaar feit menurut pandangan Pompe, Jonkers dan Vos telah tumbuh pemikiran baru yang membuat pemisahan antara "de strafbaarheit van het feit” dan “de strafbaarheid van de dader”. Dengan perkataan lain tumbuh pemikiran baru tentang pemisahan antara “perbuatan yang dilarang dengan ancaman pidana” dan “orang yang melanggar larangan yang dapat dipidana”, di satu pihak tentang perbuatan pidana dan di lain pihak tentang kesalahan.[2]

Prof. Moeljatno, S.H., adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang telah menganut dan memperkenalkan pengajaran hukum pidana Indonesia tentang perlunya susunan pemikiran yang memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana.[3]

Dasar pemikiran adanya perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana masih dapat dilengkapi dengan masalah yang ditimbulkan karena adanya perbandingan rumusan strafbaar feit di satu pihak oleh Simons dan Jonkers, sedangkan di lain pihak oleh Van Hamel dan Pompe. Simons dan Jonkers dengan rumusannya tentang strafbaar feit telah merumuskan adanya unsur “schuld (opzet of schuld)” dan “toerekeningsvatbaar”, dimana kedua unsur itu dicantumkan bersama-sama dalam rumusan strafbaar feit. Dari rumusan Simons dan Jonkers itu kiranya tidak akan mengalami kesulitan untuk memahami dasar pemikiran tentang pemisahan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Namun di dalam rumusan strafbaar feit yang klasik dari Van Hamel dan rumusan strafbaar feit yang teoritis dari Pompe di situ dijumpai unsur “schuld” saja, sehingga dasar pemikiran yang ada harus tersusun menjadi perbuatan pidana dan kesalahan dalam hukum pidana.[4]

Doktrin pemisahan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana, maupun pemisahan antara perbuatan pidana dan kesalahan dalam hukum pidana, kiranya tidak perlu dipandang sebagai perbedaan prinsip, apabila diikuti pandangan itu bahwa toerekeningsvatbaarheid adalah dasar yang penting untuk adanya schuld, jadi hanyalah letak penekanan saja yang menitikberatkan pada toerekeningsvatbaarheid (pertanggungan jawab) ataukah pada schuld (kesalahan).[5]

Prof. Moeljatno, S.H., memberikan arti “perbuatan pidana” mengandung pengertian bahwa: pertama, adalah kelakuan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan, dan yang kedua, adalah perbuatan pidana tidak dihubungkan dengan kesalahan yang merupakan pertanggungjawaban pidana pada orang yang melakukan perbuatan pidana. Apabila disimpulkan, maka perbuatan pidana itu hanyalah menunjukan sifatnya perbuatan yang terlarang dengan diancam pidana.[6] 

_________________________________
1. “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 125.
2.  Ibid. Hal.: 127.
3.  Ibid. Hal.: 127.
4.  Ibid. Hal.: 128-129.
5.  Ibid. Hal.: 129.
6.  Ibid. Hal.: 129-130.

Senin, 09 September 2019

Istilah Dan Perbuatan Pidana

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Telah kita lalui kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Tempus Delicti dan Locus Delicti, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Istilah dan Perbuatan Pidana.

Perbuatan pidana merupkan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Perbuatan pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkret dalam lapangan hukum pidana, sehingga perbuatan pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.[1]

Adakalanya istilah dalam pengertian hukum telah menjadi istilah dalam kehidupan masyarakat, atau sebaliknya istilah dalam kehidupan bermasyarakat yang dipergunakan sehari-hari dapat menjadi istilah dalam pengertian hukum, misalnya istilah percobaan, sengaja, dan lain sebagainya. Sebelum menjelaskan arti pentingnya istilah perbuatan pidana sebagai pengertian hukum, terlebih dahulu dibentangkan tentang pemakaian istilah perbuatan pidana yang beraneka ragam. Singkat kata, di dalam ilmu pengetahuan hukum secara universal dikenal dengan istilah “delik”. Demikian juga, para pengarang Belanda pada umumnya mempergunakan istilah yang sama “strafbaar feit”.[2]

Maksud diadakannya istilah perbuatan pidana, peristiwa pidana, tindak pidana, dan sebagainya itu adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing strafbaar feit. Namun belum jelas apakah di samping mengalihkan bahasa dari istilah strafbaar feit itu, dimaksudkan untuk mengalihkan makna dan pengertiannya juga. Oleh karena sebagian besar karangan ahli hukum belum dengan jelas dan terperinci menerangkan pengertian istilah, ataukah sekedar mengalihkan bahasanya. Hal ini yang merupakan pokok pangkal perbedaan pandangan.[3]

Di pandang dari sudut pengalihan pengertian inilah yang banyak menimbulkan persoalan, dimana masing-masing pihak seolah-olah mempunyai jarak perbedaan seperti antara bumi dan langit. Apakah terjadinya perbedaan istilah itu membawa akibat pula berbedanya pengertian hukum yang terkandung di dalamnya. Memang demikianlah pendapat pada umumnya, namun tidak mutlak bahwa istilah yang berbeda selamanya mesti berbeda pengertian, misalnya antara straf dan maatregel adalah berbeda, sedangkan antara beveiligingsmaatregel dan maatregel adalah sama, meskipun kesemuanya itu menyangkut sanksi hukum pidana.[4]

Selain itu, di tengah-tengah masyarakat juga dikenal istilah “kejahatan” yang menunjukan pengertian melanggar norma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui putusan hakim agar dijatuhi pidana, dan masih ada lagi istilah “kejahatan” menurut arti kriminologi, yang terakhir ini pengertiannya terlampau luas karena mencakup semua perbuatan tercela atau tidak susila. Kejahatan dalam arti hukum yang dipakai sehari-hari oleh masyarakat itu tidak lebih dari arti perbuatan pidana.[5]
_________________________________
1.  “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 124.
2.  Ibid. Hal.: 124-125.
3.  Ibid. Hal.: 125.
4.  Ibid. Hal.: 125.
5.  Ibid. Hal.: 125.

Kamis, 05 September 2019

Tempus Delicti Dan Locus Delicti

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah kita lalui kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Pertumbuhan dan Batasan Sifat Melawan Hukum Materiil’, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai tempat dan waktu terjadinya delik.

Di mana tempatnya dan kapan terjadinya delik itu dilakukan, dalam kenyataan tidak begitu mudah untuk menetapkan, mengingat undang-undang tidak memberikan ketentuan, yang berarti diserahkan kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan keputusan hakim dalam yurisprudensi. Sebagaimana lazimnya apabila tidak ada ketentuan yang tegas, hal itu akan menimbulkan berbagai pandangan di dalam doktrin. Dalam kepustakaan mengenai tempat dan waktu terjadinya delik dinamakan locus delicti dan tempus delicti.[1]

Ajaran tentang locus delicti dan tempus delicti, akan diselesaikan dengan cara yang sama, namun cara itu dapat berbeda karena berlainan tolak pangkal berpikirnya. Van Bemmelen memulai dengan sudut pandangan bahwa delik itu pada dasarnya terdiri atas kelakuan (gedraging), seperti halnya mengambil dalam kejahatan pencurian atau merampas nyawa dalam kejahatan pembunuhan, akan tetapi kelakuan itu kadang-kadang dibantu dengan sebuah alat (instrumen) agar orang yang berbuat itu dapat bekerja dengan baik, dan kadang-kadang juga kelakuan itu mempunyai akibat (gevolgen) yang terjadi di lain tempat (atau waktu) daripada tempat atau waktu kelakuan. Pada umumnya locus dan tempus delicti berpedoman dimana tempat dan waktu kelakuan secara materiele (materiele gedraging) terjadi sesuai dengan rumusan delik.[2]

Pada dasarnya locus dan tempus delicti berpedoman menurut kelakuan yang secara materiil terjadi, akan tetapi adakalanya terjadi keadaan yang menyertai untuk diperluas dengan “alat/instrumen” dan atau “akibat/gevolgen”, sehingga dapat disimpulkan hanya diakui tiga ajaran, yaitu:
  1. Yang mendasarkan di mana perbuatan terjadi yang dilakukan oleh seseorang;
  2. Yang mendasarkan di mana alat yang dipakai untuk melakukan perbuatan;
  3. Yang mendasarkan atas di mana akibat yang langsung menimbulkan kejadian dan di mana akibat itu ditentukan atau telah selesai oleh delik.

Namun dari ketiga ajaran itu, dapat digabungkan menjadi bersifat kompromi, yang dinamakan “theorie van de meervoudige plaats en tijds”.[3]

Kegunaan teori penentuan locus delicti dan tempus delicti adalah untuk memecahkan persoalan tentang berlakunya peraturan hukum pidana atau kewenangan instansi untuk menuntut dan mengadili. Locus delicti mempunyai arti penting bagi berlakunya KUHP berhubung dengan Pasal 2-8, dan kekuasaan instansi kejaksaan untuk menuntut maupun pengadilan yang mengadili. Tempus delicti mempunyai arti penting bagi lex temporis delicti maupun hukum transitor, dan mengenai keadaan jiwa atau umur dari terdakwa, serta berlakunya tenggang daluwarsa.[4]
_________________________________
1.“Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 121.
2.  Ibid. Hal.: 122.
3.  Ibid. Hal.: 122.
4.  Ibid. Hal.: 123.

Senin, 02 September 2019

Pertumbuhan dan Batasan Sifat Melawan Hukum Materiil

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Dalam kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Tentang Elemen Melawan Hukum’, telah dibahas sekilas perihal melawan hukum, pada kesempatan ini akan diperluas dengan kajian mengenai pertumbuhan dan batasan sifat melawan hukum materiil.

Pertumbuhan Sifat Melawan Hukum Materiil

Pengaruh yang datangnya dari luar yang berasal dari perkembangan ilmu kemasyarakatan, politik dan lain sebagainya memberikan corak aneka ragam terhadap sifat melawan hukum yang materiil. Diantaranya, sifat melawan hukum materiil diartikan bertentangan dengan norma kebudayaan, bertentangan dengan kewajiban orang, secara negatif diartikan sebagai orang berbuat tidak melawan hukum apabila orang dengan daya upaya betul-betul untuk tujuan yang berguna, diartikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan dasar pikiran faham nasional sosialis (Jerman pada masa pemerintahan Hitler), diartikan sebagai perbuatan yang membahayakan masyarakat (Uni Soviet).[1]

Dengan demikian terdapat perluasan artian daripada perbuatan melawan hukum materiil sedemikian rupa, sehingga memerlukan kewaspadaan untuk mengikuti ajaran sifat melawan hukum yang materiil itu, dan dengan sendirinya harus disesuaikan dengan dasar bangsa dan negara. Berpangkal dari batasan tersebut, diperlukan pemisahan yang membedakan antara pandangan perbuatan melawan hukum materiil terbatas murni dalam norma-norma hukum, dan pandangan melawan hukum materiil yang luas berdasarkan sendi-sendi budaya yang dihukumkan.[2]

Batasan Sifat Melawan Hukum Materiil

Kiranya tidak ada alasan untuk menolak diterimanya pandangan perbuatan melawan hukum materiil dalam pengertian terbatas sebagai “perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan undang-undang, asas-asas umum, dan norma-norma hukum tidak tertulis”. Hal mana pernah dianut di dalam putusan pengadilan HR 20 Februari 1933 NJ 1933 W. No.: 12600. Selain itu, diterimanya perbuatan melawan hukum secara materiil juga diperkuat dari pengaruh yang terdapat dalam praktik hukum, seperti: diterimanya penafsiran extensieve, dll.[3]

Simons dalam Bambang Poernomo adalah tergolong sarjana yang tidak dapat menerima pandangan perbuatan melawan hukum secara materiil, menurutnya apabila suatu perbuatan telah masuk ke dalam rumusan delik dan dalam undang-undang tidak ditentukan pengecualiannya, maka hakim harus menjalankan undang-undang, dan supaya apa yang ditetapkan dalam hukum positif oleh pembentuk undang-undang tidak lagi diuji oleh pribadi Hakim. Para pendukungnya adalah Jonkers, Vos, dan Hazewinkel Suringa.[4]

Vos menyatakan dengan tegas berhubung adanya Pasal 1 ayat (1) KUHP penerapannya harus dalam peranan yang negatif, yaitu secara formil memenuhi rumusan delik, akan tetapi secara materiil tidak melawan hukum sehingga perbuatan itu tidak dipidana. Sedangkan menurut Jonkers menyatakan bahwa berhubung dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP bagi suatu perbuatan yang dapat dipidana sedikit-dikitnya disyaratkan perbuatan itu formil melawan hukum dan selanjutnya apakah perbuatan itu materiil juga harus melawan hukum.[5]

Sebagai contoh, seorang dokter yang melakukan abortus karena alasan medis tidak terkena Pasal 348 KUHP, serombongan ekspedisi yang membunuh atas permintaan seorang anggotanya yang mengalami luka-luka parah tanpa pertolongan tidak dikenai Pasal 344 KUHP, dokter hewan yang menyakiti hewan ternak dengan vaccinasi tidak dikenal peraturan Veewet, seorang bapak yang memukul pemuda yang menggoda anak perempuannya tidak dikenai Pasal 352 KUHP, dan semua kejadian itu didasarkan atas asas-asas umum dalam hukum tidak tertulis, sehingga tidak dapat dijatuhkan pidana bagi orang yang melakukan perbuatan seperti contoh-contoh tersebut, karena perbuatan melawan hukum materiil.[6]

Perbuatan melawan hukum yang dinyatakan sebagai elemen delik biasanya disebut dengan perkataan “melawan hukum”, akan tetapi di dalam undang-undang kadangkala dipergunakan perkataan lain yang bersifat implisit seperti dengan tanpa izin, dll. Sebaliknya, di dalam pasal-pasal KUHP yang lain tidak ditentukan dalam rumusan, sehingga tidak dijumpai perkataan melawan hukum.[7]  
_________________________________
1.“Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 116.
2.  Ibid. Hal.: 116-117.
3.  Ibid. Hal.: 117.
4.  Ibid. Hal.: 118.
5.  Ibid. Hal.: 118.
6.  Ibid. Hal.: 118.
7.  Ibid. Hal.: 118-119.

Sabtu, 31 Agustus 2019

Tentang Elemen Melawan Hukum

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Dalam kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Masalah yang Terdapat dalam Elemen Kelakuan, Elemen Akibat, dan Elemen Melawan Hukum’, telah dibahas sekilas mengenai masalah yang terdapat dalam setiap elemen, pada kesempatan ini akan dikhususkan pada elemen melawan hukum.

Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, bahwa susunan elemen delik yang mempunyai peranan penting dan masalahnya juga luas adalah elemen melawan hukum (wederrechtelijke). Elemen melawan hukum ini lebih menonjol daripada elemen objektif yang lain, karena dari definisi yang manapun terhadap delik atau strafbaar feit kedudukan elemen melawan hukum selalu tidak berubah. Sebagaimana telah diuraikan di muka, pengertian strafbaarfeit terdapat pertentangan, di satu pihak ada yang mencakup kesalahan dan di lain pihak ada yang memisahkan kesalahan.[1]

A. Arti Melawan Hukum

Apa yang dimaksud melawan hukum? Elemen melawan hukum mempunyai istilah asing “onrechtmatigheid” atau “wederrechtelijkheid”. Mengenai maksud istilah “wederrechtelijk”, dalam kepustakaan mempunyai beberapa makna, antara lain yaitu melawan hukum (tegen het recht), tanpa hak sendiri (zonder eigen recht), bertentangan dengan hukum pada umumnya (in strijd met het recht in het algemeen), bertentangan dengan hak pribadi seseorang (in strijd met een anders subjective recht), dan lain sebagainya.[2]

Di dalam KUHP ternyata dijumpai beberapa ketentuan mengenai elemen melawan hukum, seperti Pasal 406 mengandung arti “zonder eigen recht”, Pasal 333 mengandung arti “tegen het objective recht”, Pasal 167, 378, 522 mengandung arti “strijdig met het recht”, kadang-kadang sesuatu pasal dapat mempunyai arti lebih dari satu, misalnya Pasal 167 dan 378 tergantung kepada interpretasi setiap kasus.[3]

B. Sifat Melawan Hukum Suatu Perbuatan

Kapan suatu perbuatan dikatakan melawan hukum? Sifat melawan hukumnya suatu perbuatan terdapat dua ukuran, yaitu sifat melawan hukum yang formel dan sifat melawan hukum yang materiel. Dijabarkan sebagai berikut.[4]
  • Sifat Melawan Hukum Formel (formeele wederrechtelijkheidbegrip)
Suatu perbuatan yang dinyatakan melawan hukum apabila persesuaian dengan rumusan delik dan sesuatu pengecualian seperti daya paksa, pembelaan terpaksa itu hanyalah karena ditentukan tertulis dalam undang-undang (Pasal 48, 49 KUHP). Melawan hukum diartikan melawan undang-undang, oleh karena itu pandangan ini disebut sifat melawan hukum formel.
  • Sifat Melawan Hukum Materiel (materiele wederrechtelijkheidbegrip)
Sebaliknya, tidak selamanya perbuatan melawan hukum itu selalu bertentangan dengan peraturan undang-undang, dan suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dapat dikecualikan sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum. Melawan hukum dapat diartikan baik melawan undang-undang maupun hukum di luar undang-undang, oleh karena itu pandangan ini disebut sifat melawan hukum yang materiel.

Vos dalam Bambang Poernomo memberikan penjelasan yang lebih sederhana sebagai berikut. Disebut formeele wederrechtelijkheid sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum positif (tertulis). Sedangkan materiele wederrechtelijkheid adalah perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas umum/norma hukum tidak tertulis.[5] Dengan demikian, dapat dipahami bahwa bertentangan dengan hukum dalam arti formil hanyalah kategori sifat melawan hukum yang terbatas pada konteks tertulis saja, sedangkan bertentangan dengan hukum dalam arti materiil adalah lebih daripada itu, mencakup norma-norma yang hidup dan dianut oleh masyarakat dalam arti luas.
_________________________________
1.  “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 113.
2.  Ibid. Hal.: 114-115.
3.  Ibid. Hal.: 115.
4.  Ibid. Hal.: 115.
5.  Ibid. Hal.: 115.

Rabu, 28 Agustus 2019

Problem Kausalitas dalam Perumusan Delik

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Dalam kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Masalah yang Terdapat dalam Elemen Kelakuan, Elemen Akibat, dan Elemen Melawan Hukum’, telah dibahas sekilas mengenai problem kausalitas, pada kesempatan ini akan diteruskan dan dilakukan pembahasan lebih lanjut.


Sebagaimana dipahami sebelumnya, di dalam merumuskan delik sebagai strafbaarfeit terdapat elemen akibat dari perbuatan, artinya suatu hubungan antara sebab dan akibat yang dapat menimbulkan kejadian yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Penentuan hubungan kausalitas yang beraneka ragam dapat dikelompokan menjadi beberapa teori dasar pertumbuhan yurisprudensi:[1]
  1. Teori Conditio Sine Qua Non;
  2. Kelompok teori yang mengindividualisasi;
  3. Kelompok teori yang menggeneralisasi;
  4. Teori Relevansi;
  5. Yurisprudensi mengenai penentuan kasusalitas.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, maka selanjutnya akan dibahas satu per satu sebagaimana berikut ini.

1. Teori Condition Sine Qua Non

Teori ini dikemukakan oleh Von Buri, seorang berkebangsaan Jerman. Menurut teori ini, semua syarat yang menyebabkan akibat dipandang sebagai musabab. Semua syarat dipandang sebagai musabab untuk terjadinya akibat, sehingga tidak dibedakan mana syarat yang dapat menjadi musabab dan mana yang hanya merupakan syarat belaka, maka ajaran teori ini (menjadi) terlalu luas.[2]

Perbuatan menempatkan pelayan tidur di dapur belakang kemudian ternyata digigit serangga berbisa dan meninggal, maka perbuatan menempatkan pelayan itu di dapur dianggap kausal kematian. Teori ini menyamakan antara syarat dan musabab, pada hakikatnya dapat menjadi dasar dari semua ajaran kausal dengan sedikit perbedaan pola berpikir. Di satu pihak mencari syarat mana yang terpenting untuk terjadinya akibat dan di lain pihak menghargai sama tiap-tiap syarat yang secara umum dapat menimbulkan akibat.[3]

2. Kelompok Teori yang Mengindividualisasi

Kelompok teori yang mengindividualisasi (individualiseerende theorien) menentukan syarat mana menurut kenyataan, dengan pertimbangan post factum setelah peristiwa terjadi, syarat mana yang mempunyai pengaruh terbesar untuk terjadinya akibat.[4]

Teori ini dapat dirangkum sebagai berikut:[5]
  • Teori “meist wirksame Bedigung” dari K. Birkmeyer, mengajarkan tentang faktor yang paling aktif dan elektif. Teori ini timbul kesulitan apabila ada dua menarik kereta, kuda manakah yang paling kuat menarik kereta yang bergerak itu.
  • Teori “Gleichgewicht” atau “Uebergewicht”, menyatakan bahwa musabab adalah syarat yang mendorong ke arah timbulnya akibat (positieve) jika dibandingkan dengan syarat yang mencegah (negatieve), atau dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa syarat adalah musabab jika syarat positif itu menentukan di atas syarat negatif.
  • Teori “die Art des Werdens” dari Kohler, mengajarkan dengan membandingkan syarat manakah yang menurut sifatnya dapan menjadi musabab yang menimbulkan akibat.

3. Kelompok Teori yang Menggeneralisasi

Kelompok teori yang menggeneralisasi (generaliseerende theorieen) menghargai pelbagai faktor, yang dapat ditujukan sebagai syarat untuk terjadinya akibat yang dipertimbangkan secara abstrak menurut sifat umum, dengan pertimbangan secara ante factum yang mengambil pendirian pada saat sebelum timbulnya akibat.[6]

Teori ini dapat dirangkum sebagai berikut:[7]
  • Teori “adequate” dari von Kries, mengajarkan teori tentang musabab, adalah sebagai serentetan syarat yang pada umumnya, menurut jalannya kejadian yang normal, dapat menimbulkan akibat. Yang dimaksud normal menurut keadaan sekitar terjadinya akibat dimana terdakwa mengetahui atau seharusnya mengetahui.
  • Teori “der adequate Verursachung vom Standpunkte objectivnachtraglicher Prognose” dari Rumelin, mengajarkan teori adequate atas peramalan objektif dengan mengingat keadaan-keadaan sesudah terjadi akibat.
  • Teori “adequate” dari Traeger, mengajarkan teori seimbang, dalam menentukan musabab harus dicari dari syarat yang manakah yang seimbang dengan akibat yang timbul.

4. Teori Relevansi

Teori “Relevantie” dari Mezger dalam karangannya tentang “Strafrecht” tahun 1931, mengajarkan bahwa dalam menentukan hubungan sebab-akibat tidak mengadakan perbedaan antara musabab dan syarat, melainkan dimulai dengan menafsirkan rumusan delik yang memuat akibat yang dilarang itu dicoba menemukan kelakuan yang manakah kiranya yang dimaksud pada waktu undang-undang itu dibuat. Jadi pemilihan dari syarat-syarat yang relevan itu didasarkan apa yang dirumuskan dalam undang-undang.[8]

Penentuan hubungan kausal antara kelakuan dan akibat sebagaimana disebutkan di atas, pada umumnya diterapkan terhadap jenis delik yang dirumuskan commissie delicten yang meliputi materiele delicten, geqwalificeerde delicten, dan formeele delicten.[9]

5. Yurisprudensi mengenai penentuan kausalitas

Yurisprudensi mengenai kausalitas berubah-ubah mengikuti ajaran yang berkembang, hal ini ternyata dalam putusan pengadilan dari negeri Belanda dan Hindia Belanda dahulu.[10]

Sebelum tahun 1911 dengan arrest HR 7 Juni 1911 W. 9209 memutuskan bahwa oleh karena undang-undang tidak menentukan tentang ajaran sebab akibat, maka menyerahkan kepada hakim dengan kebijaksanaannya untuk memilih ajaran kausalitas.[11]

Pada tahun 1929 dengan arrest HR 8 April 1920 W. 12004 telah memutuskan perkara dengan ajaran conditio sine qua non dari Von Buri.[12]

Kemudian dalam tahun 1933 dengan arrest HR 30 Oktober 1933 W. 12683 NJ telah memberikan putusan perkara dengan mengikuti ajaran adequate yang subjektif dari V. Kries. Dan ada pula putusan yang mengikuti ajaran adequate yang objektif dari Rumelin dalam putusan HR 11 April 1938 NJ 1938 No. 1020 dan HR 24 Januari 1950 NJ 1950 No. 293.[13]
_________________________________
1. “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 107-108.
2.  Ibid. Hal.: 109.
3.  Ibid. Hal.: 109.
4.  Ibid. Hal.: 109-110.
5.  Ibid. Hal.: 110.
6.  Ibid. Hal.: 110.
7.  Ibid. Hal.: 110.
8.  Ibid. Hal.: 111.
9.  Ibid. Hal.: 112.
10.        Ibid. Hal.: 112.
11.        Ibid. Hal.: 112.
12.        Ibid. Hal.: 112-113.
13.        Ibid. Hal.: 113.

Senin, 26 Agustus 2019

Masalah yang Terdapat dalam Elemen Kelakuan, Elemen Akibat, dan Elemen Melawan Hukum

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah kita lewati kuliah sebelumnya berjudul: ‘Elemen-elemen Delik’, dan selanjutnya dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai masalah-masalah yang terdapat di dalam elemen kelakuan, elemen akibat, dan elemen melawan hukum.

Menurut pandangan yang merumuskan delik sebagai strafbaarfeit dalam arti definisi pendek/hukum positif, maka elemen-elemennya cukup mengambil elemen yang objektif saja, yaitu:[1]
  1. Elemen kelakuan (doen of nalaten);
  2. Elemen akibat dari perbuatan, menurut rumusan delik;
  3. Elemen objektif yang menyertai keadaan delik, yang bersifat kualitas atau yang memberatkan atau meringankan;
  4. Elemen melawan hukum (wederrechtelijkeid).

Akan tetapi pada bagian selanjutnya, yang akan dibahas hanyalah tiga, yaitu elemen kelakuan, elemen akibat dari perbuatan, dan elemen melawan hukum.

A. Elemen Kelakuan

Elemen kelakuan yang dirumuskan dalam delik bentuknya berupa kelakuan dengan berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang seharusnya dilakukan. Di dalam hukum pidana sering disebut dengan kelakuan positif (doen) dan kelakuan negatif (nalaten).[2]

Menurut Vos dalam Bambang Poernomo, pertama menyebutkan suatu pengertian dari kelakuan sebagai gerakan otot yang dikehendaki, pengertian ini berarti tidak dimasukkan terhadap kelakuan negatif, sehingga kurang lengkap. Kedua, pengertian kelakuan sebagai suatu kejadian yang ditimbulkan oleh orang, yang nampak ke luar, dan yang ditujukan kepada suatu tujuan yang menjadi objek norma yang berlaku, pengertian inipun tidak memuaskan. Ketiga, pengertian kelakuan sebagai sikap jasmani yang disadari, tidak termasuk reflek. Pendapat inilah yang disetujui oleh Prof. Moeljatno, S.H., karena dapat mencakup kelakuan positif dan negatif.[3]

B. Elemen Akibat

Elemen akibat dari perbuatan, artinya suatu hubungan antara sebab dan akibat yang dapat menimbulkan kejadian yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Penentuan hubungan antara sebab dan akibat itu, di dalam undang-undang harus ditentukan apakah akibat yang terjadi yang dilarang oleh undang-undang itu disebabkan oleh kelakuan orang yang berbuat, atau dengan perkataan lain apakah disebabkan oleh kelakuan orang itu lalu timbul akibat yang dilarang oleh undang-undang, sehingga harus terbukti bahwa akibat itu disebabkan kelakuan yang bersangkutan atau kelakuan itu menyebabkan akibat yang bersangkutan.[4]

Penentuan hubungan kausalitas yang beraneka ragam dapat dikelompokan menjadi beberapa teori dasar pertumbuhan yurisprudensi:[5]
  1. Teori Conditio Sine Qua Non;
  2. Kelompok teori yang mengindividualisasi;
  3. Kelompok teori yang menggeneralisasi;
  4. Teori Relevansi;
  5. Yurisprudensi mengenai penentuan kasusalitas.

C. Elemen Melawan Hukum

Susunan elemen delik yang mempunyai peranan penting dan masalahnya juga luas adalah elemen melawan hukum (wederrechtelijke). Elemen melawan hukum ini lebih menonjol daripada elemen objektif yang lain, karena dari definisi yang manapun terhadap delik atau strafbaar feit kedudukan elemen melawan hukum selalu tidak berubah. Sebagaimana telah diuraikan di muka, pengertian strafbaarfeit terdapat pertentangan, di satu pihak ada yang mencakup kesalahan dan di lain pihak ada yang memisahkan kesalahan.[6]
_________________________________
1.  “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 106.
2.  Ibid. Hal.: 106.
3.  Ibid. Hal.: 106.
4.  Ibid. Hal.: 107-108.
5.  Ibid. Hal.: 108.
6.  Ibid. Hal.: 113.

Knowing Joint Venture Companies in FDI Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Basic Requirements for Foreign Direct I...